Jovan ....
Aku semakin terdesak. waktuku hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku merasa nyaman saat bersama Albin. Jika kami menikah kami tinggal serumah, kan? Tentu saja kami harus merasa nyaman satu sama lain. Aku akan coba mengatakannya hari ini. Mengajaknya menikah. Ini bukanlah pernyataan cinta. Ini ajakan menikah paksa seperti dalam komik CEO arogan.
Aku terbiasa menekan dan memaksa, tapi entah kenapa saat dengan Albin aku merasa gugup. Harusnya tak sesulit ini. Ini lebih mirip kerja sama, partner kerja. Film yang kutonton, makanan yang kusantap, aku sama sekali tidak bisa menikmatinya. Aku menarik napas dalam. Kujatuhkan pilihan, Albin yang akan menjadi istriku setelah tiga bulan terakhir aku memperhatikan beberapa wanita termasuk asistenku sendiri.
"Kamu kenapa, Jo?" tanya Albin saat aku menatapnya lekat-lekat.
"Aku mau ngomong sesuatu," jawabku gugup.
Aku meraih air lalu meminumnya hingga habis tak bersisa bahkan setetes pun. Aku melihat dari sudut mata, Albin menatapku heran. Kuletakkan kembali gelas lalu menatapnya lekat-lekat.
"Apa? Kalau mau ngomong, ya udah ngomong. Bilang mau ngomong kok malah minum?" Albin memperhatikan wajahku semakin dalam dan aku jadi semakin gugup.
"Albin aku tahu ini mendadak." Aku menarik napas panjang. Terlihat jelas raut tidak sabar dari di wajah Albin. Dia bahkan memandangiku tanpa berkedip.
"Apa, sih? Cepetan! Kamu kayak orang keselek biji salak. Sampai keringat dingin begitu." Albin menatapku cemas.
Argh, Albin. Di saat seperti ini pun sempat-sempatnya dia ngomong begitu. Aku memijat pelipisku yang terasa berdenyut.
"Apa, sih, Jo! Lelet amat. Apanya yang mendadak? Kaya komputer core 1 kamu. Udahlah WA aja nanti kalau susah ngomongnya." Albin merengut.
Aku meraih tangannya. Terasa dingin, sedingin tanganku sendiri. Aku tahu sekarang, dia tidak sabar karena sama gugupnya sepertiku.
"Albin, ayo nikah sama aku. Aku harus punya anak," ucapku dengan suara yang begitu bergetar.
Sial! Aku gugup. Sangat gugup.
"A-apa? Ta-tapi," kata-kata Albin tertahan.
Seperti dugaanku, dia terkejut. Siapa yang tidak begitu? Kami tidak sedang menjalin hubungan dan tiba-tiba aku mengajaknya menikah. Tentu saja dia terkejut seperti itu.
"Jangan khawatir, aku cuma pengen punya anak. No seks," ucapku mantap. Aku tidak mau dia merasa takut dan tidak nyaman denganku.
Wajah Albin terlihat memucat, meski wajahnya memang pada dasarnya terlihat pucat, tapi aku bisa melihat dari raut wajahnya dia sangat terkejut. Seperti dugaanku dia takut. Atau itu raut wajah sedih? Aku tidak yakin sebenarnya apa yang dia rasakan saat ini. Aku tidak tahu, hanya bisa meraba-raba.
"Tapi, Jo. Gimana mau punya anak tanpa seks? Kamu pikir aku sapi? Disuntik doang bisa punya anak?"
Aku tertawa keras ketika mendengar kata-katanya. Andai bisa semudah itu. Cukup dengan inseminasi saja. Aku menarik napas dalam-dalam.
"Mau nikah sama aku, kan? Kita nikah sampai anak kita lahir." Aku bertanya dan meminta sambil menggenggam tangan Albin lebih erat, tapi dia menghempaskan tanganku dengan kasar.
"Parah kamu, Jo. Beneran aku mau kamu jadiin sapi. Sekalian aja, perah susu gue!" Albin memandangku penuh amarah.
"Susu kamu buat anak kita nanti," jawabku santai. Memang begitu, kan? Anakku harus diberi ASI.
Aku membuka dompet untuk mengambil cek yang sudah kupersiapkan sejak beberapa hari yang lalu.
"Segini cukup?" Tertera nominal Satu Juta US dollar di atas cek itu. Kusodorkan cek itu mendekati Albin.
"Cek ini bisa dicairkan kalau kamu setuju nikah sama aku," ucapku menatap dalam ke wajah Albin.
Albin memperhatikan cek yang kuletakkan di atas meja. Dia menatapku lekat-lekat.
"Kamu ..." Mata Albin mulai berkaca-kaca. Dia memalingkan wajah.
"Albin." Aku memegang tangannya.
Albin menolehkan wajahnya padaku, dia menarik tangan dari genggamanku. Air mata mengalir di kedua pipinya. Perasaanku sangat tidak nyaman ketika melihatnya seperti itu. Aku tidak mengerti dia kenapa? Dia sangat suka uang, kan? Aku melihatnya tersenyum manis sekali saat seseorang memberikannya tip di Havana.
"Lo anggap gue apa?!" Air mata Albin semakin deras.
"Nggak anggap kamu apa-apa."
"Oke, jadi jelas sudah. Gue memang bukan apa-apa buat lo!" Wajah Albin semakin sedih.
"Albin, anggap aja ini pekerjaan. Ini lebih baik daripada kamu kerja di Havana. Ini hanya uang muka dari gajimu. Biaya hidup kamu nggak usah pikirin. Saat kita berpisah nanti kamu aku kasih lebih banyak lagi."
Albin menangkupkan kedua tangan ke wajah. Dia semakin keras menangis.
"Kurang, ya? Aku bisa tambah. Kamu mau berapa?" Aku terus mendesaknya dan berharap dia tersenyum seperti biasa saat melihat uang.
Albin menatap tajam ke arahku. Dia mengambil cek itu. Oh, syukurlah dia setuju. Namun ... No ... No! Albin merobek cek itu tepat di depan wajahku.
"A-pa? Albin, astaga! Selembar cek kayak gitu harganya ratusan ribu!" ucapku menatap Albin dengan tatapan nelangsa.
"Bodo amat! Mau jutaan kek, gue nggak peduli!" Dia merobeknya menjadi bagian kecil-kecil.
"Sayang, kan?" Kutatap matanya yang basah.
"Udah nggak bisa dipake!" sahut Albin dengan nada tinggi.
"Tapi kalau kamu setuju, kan, bisa dipake."
"Gua nggak akan setuju sampai kapan pun. Satu lagi! Lo denger baik-baik. Jangan pernah lagi lo nyamperin gue! Anggap aja kita nggak pernah saling kenal! Nggak usah hubungi gue lagi. Nomor lo pasti gue blokir! Andai gue bisa, jalan hidup lo juga bakalan gue blokir! Seenaknya aja masuk ke hidup gue terus bikin huru hara!" Albin berdiri dari kursi dan pergi meninggalkanku.
Aku menggosok wajah dan kepala menggunakan telapak tangan dan mendesah kasar, lalu kutopang kening menggunakan tangan. Aku tak ingin dia pergi dan aku juga tidak ingin dia terluka seperti itu.