"Bukan ... bukan seperti itu. Tolong, biarkan aku selesai dulu. Setelah itu kamu mau marah silahkan."
Albin mendengus kasar.
"Albin, sesekali minum kurasa tidak masalah, tapi ... kalau setiap hari, buruk untuk kesehatan kamu. Hati dan ginjal kamu bisa rusak. Belum lagi kemungkinan kamu akan jadi alkoholik. Maaf aku mengatakan ini, bukan maksud apa pun, tapi aku ingin kamu pertimbangkan apa yang aku katakan. Seorang penderita Albino biasanya organ dalam mereka lebih lemah dan rentan, lebih mudah rusak daripada orang-orang pada umumnya. Sekali lagi maaf, tidak maksud apa pun. Tapi dengan memahami tubuh kamu sendiri, kamu bisa memilih menyayangi dengan menjaganya atau malah menghancurkannya.
Jovan meraih tangan Albin, "Albin, nggak ada sedikit pun niatan aku menyakiti kamu. Pikirkan kata-kataku. Kamu nggak perlu terburu-buru memutuskan. Dengan menjadi istriku, kamu nggak perlu mabuk lagi untuk cari uang. Kamu bisa tinggal di rumah yang nyaman. Uang yang aku tawarkan itu bukan untuk membeli kamu, tapi itu sebagai kompensasi karena meminta kamu berhenti dari pekerjaanmu dan berganti menjadi istriku. Bersikap selayaknya istri, tapi tanpa seks. Kenapa kamu harus marah? Kalau aku beli kamu, pasti aturan pertamanya kamu nggak boleh nolak ngeseks sama aku. Ya, kan?"
Albin menundukkan wajah dalam-dalam, "Jadi kamu cuma mau anakku?" Benar, kan, aku sapi? Di kampungku sapi betina dipinjami sapi jantan, untuk diambil anaknya."
"Albin, kamu bukan sapi!" Jovan mendesah kasar, dia kesal. Sedari tadi Albin terus menyebut sapi.
"Kenapa aku?" tanya Albin.
"Aku nggak tahu. Aku merasa nyaman sama kamu. Kalau kita nikah, kita bakalan tinggal sama-sama. Gimana aku bisa tinggal sama orang yang nggak buat aku nyaman? Seenggaknya walaupun kita nggak jadi suami istri beneran, kita bisa jadi teman. Sama-sama rawat anak kita."
"Jadi aku menjual anakku? Gitu?"
"Nggaklah. Kita, kan, menikah. Kamu tetap menjadi ibunya selamanya. Kita berdua tetap menjadi orang tuanya."
"Aku nggak tahu, Jo. Ini terlalu berat. Menikah, punya anak lalu berpisah," ucap Albin lirih. Dia tidak bisa membayangkan sesakit apa hatinya saat berpisah dengan Jovan setelah beberapa waktu bersama.
"Kamu nggak perlu jawab sekarang. Pikiran baik-baik. Tetap bekerja di sana lebih lama, badan kamu rusak. Sementara menikah sama aku, kupikir nggak ada ruginya sama sekali. Pikirkan lagi, Albin. Pikirkan lagi baik-baik."
"Pernikahan bukan untung dan rugi, Jo!" sahut Albin.
"Kamu salah, Albin. Justru dalam pernikahan kamu harus pikirkan untung dan rugi. Berapa banyak orang yang pasangannya membuat masalah? Itu, kan, rugi! Mendingan nggak usah nikah."
Albin melangkah pergi. Jovan memandangi punggung Albin yang menghilang di kejauhan dibawa driver ojek online.
...