Dalam perjalan pulang Albin termenung, dia sama sekali tidak memperhatikan jalanan. Pikirannya hanya satu, Jovan.
"Haruskah aku menerimanya? Kalau aku menerimanya aku memang nggak perlu kerja lagi. Nggak perlu takut ketahuan Mama kalau aku kerja di kelab malam. Haruskah aku menerimanya? Mungkin Jovan satu-satunya orang yang mau menerima keadaanku." Pikiran Albin terus larut. Tanpa terasa dia sudah sampai di rumahnya.
Albin merebahkan tubuhnya yang lelah lalu tersenyum getir ketika mengenang kembali semua masa saat bersama dengan Jovan. Semuanya terasa indah bagi Albin.
...
Jovan mendesah kasar. Seminggu telah berlalu. Sudah ratusan pesan yang dia kirimkan ke Albin, semua tidak terkirim. Seperti ucapannya sebelumnya, Albin benar-benar memblokir nomornya. Beberapa kali Jovan datang ke Havana, tapi Albin tidak mau menemuinya.
Jovan berjalan di sisi Albin mencoba bicara dengannya, tapi gadis itu bersikap seakan tidak ada siapa-siapa di sana. Albin bersikap seakan tidak melihat Jovan. Laki-laki itu merasa sakit saat Albin tidak menganggapnya ada. Tidak mau menolehkan pandangan kepadanya sedikit pun.
Dia mencoba mengirim pesan dari nomor yang lain dan meneleponnya, tapi Albin tidak mau menjawab panggilan masuk. Saat Jovan mengirimkan pesan menggunakan nomor lain, Albin membacanya, tapi tidak membalas pesannya.
"Albin! Argh!" Jovan mendesah gusar. Dia benar-benar tak bisa berkonsentrasi bekerja. Pikirannya kalut. Senyuman gadis itu terus membayang di matanya. Dia merasa sangat sedih saat Albin menjauhinya seperti ini.
Pintu ruangnya tiba-tiba terbuka.
"Hey! Ketuk pin—" kata-kata Jovan tercekat. Dia melihat ayahnya memasuki ruangannya, "Papa ..."
"Apa kabar, Nak," ucap Adi, ayah kandung Jovan berjalan masuk dan duduk di sofa di dalam ruangan itu.
Jovan menggelengkan kepala kesal. Dia tahu benar kalimat 'Apa kabar' yang ditanya Ayahnya bukan menanyakan keadaanya, tapi, 'Apa kabar calon istri? Sudah ada?'.
"Baik. Papa?" Jovan melangkah mendekati sofa. Dia bersikap seakan tidak mengerti maksud ayahnya.
"Kesehatan Papa semakin memburuk. Tangisan seorang cucu bisa mengurangi rasa sakit Papa, Jo," ucap Adi tersenyum dan menatap lekat wajah putranya.
"Papa, kalau yang Papa mau hanya cucu. Aku akan mencari seorang wanita yang bersedia melahirkan anak untukku. Aku akan mencari ibu pengganti. Ada banyak wanita yang bersedia rahimnya disewa." Jovan berkata dengan nada datar.
"Tidak, Jovan. Papa mau kamu punya istri lalu punya anak. Bukan sewa rahim. Papa mau anak itu punya Ibu yang bisa sayangi dia, bukan pengasuh."
"Kalau yang Papa mau aku punya istri, aku belum ketemu orangnya." Jovan menatap tajam ayahnya.
"Tapi, yang Papa dengar, kamu deket sama seseorang?" Adi menatap Jovan penuh selidik.
"Dia menolak menikah sama aku, Pa." Jovan tersenyum tipis.
"Menolak? Siapa wanita yang menolak Jovan Jaya Sakti?" Adi tersenyum dan terkejut.
"Sudahlah, Pa. Nggak usah dibahas."
"Hum ... menarik. Papa akan cari tahu siapa gadis itu."
"Nggak usah, Pa. Sekarang terserah, Papa aja. Papa mau cucu? Aku akan cari ibu pengganti. Wanita luar lebih mudah. Kalau Papa mau aku punya istri, dia nolak aku. Kalau Papa mau paksa carikan perempuan lain? Aku nggak mau."
Adi tersenyum, "Jovan, peraturan tetap peraturan. Kamu bawa perempuan itu, atau kamu nikah sama pilihan Papa."
"Pa!" Jovan kesal.
"Papa kasih waktu lagi satu minggu. Bawa dia satu minggu lagi atau satu minggu lagi kamu ketemuan sama perempuan pilihan Papa. Nggak mau dua-duanya? Coba aja! Papa akan tarik semua fasilitas!" Adi berdiri dari kursinya dan melangkah pergi dari ruangan Jovan.
"Argh!" Jovan menendang kursi hingga terjungkal. "Aw! Sakit ... sakit!" Jovan meloncat-loncat memegangi kakinya yang sakit akibat menendang kursi.
...