Tiga hari kemudian ....
Albin duduk melayani pelanggan. Dia tersenyum manis dan bercanda seperti biasa.
"Albin, kamu pulang ke mana?" tanya seorang lelaki sambil memandanginya dengan tatapan rumit.
"Ke rumah, Mas." jawab Albin sambil tersenyum manis.
"Pulang sama kita aja yuk," tambahnya sambil menyelipkan tangannya ke paha Albin.
Albin tersenyum dan segera menahan tangan lelaki itu agar tidak semakin bertindak kurang ajar.
"Nggak, Mas. Kami hanya membantu di sini aja," jawab Albin sambil menurunkan tangan lelaki itu dari pahanya.
Betapa geramnya Albin menerima perlakukan itu. Meski begitu, dia dan teman-temannya wajib untuk tetap bersikap baik dan ramah.
"Mas, ada lagi yang perlu saya bantu? Kalau nggak ada saya harus melayani pelanggan lain," ucap Albin sambil berdiri.
"Kamu temani di sini, nggak bisa?"
"Nggak bisa, Mas. Saya harus keliling. Soalnya pengujung lagi penuh," tolak Albin sambil tersenyum. Dia melangkah pergi dengan perasaan marah. Dia meninggalkan meja itu dan tidak pernah kembali hingga waktunya dia pulang kerja.
Albin membereskan semua barangnya yang ada di loker. Teman-temannya sudah pulang duluan, sementara Albin kembali ribut mencari kunci motornya.
"Argh, aku capek kayak gini," gerutu Albin mencari kunci di semua saku pakainya hingga ke sudut loker dan dia masih belum menemukannya. "Di mana? Di mana?!" Albin pun tampak gusar, mengeluarkan semua isi tasnya. Sayangnya dia masih tidak menemukannya.
Albin menjelajahi setiap kantong di tasnya. Tanpa sengaja jarinya masuk menembus kain pelapis kantong tasnya.
"Oh, tasnya bolong!" lirih Albin meraba-raba. Akhirnya dia menemukan kunci terselip di dalamnya. Kunci motornya terjebak di tengah-tengah antara lapisan luar dan lapisan dalam tas.
Albin menarik lubang itu dan membuat rongga lebih besar agar dia bisa mengambilnya.
"Syukurlah." Albin menghela napas lega.
Albin segera berlari keluar Havana. Teman-teman viar sudah pulang semua. Dia menyusuri parkiran dan terlihat sepi. Tidak ada seorang pun di sana. Teman-teman waiter belum turun. Mereka biasanya turun bersama-sama dengan para waiter lainnya. Albin berjalan menuju motornya yang terparkir.
"Albin! Ayo pulang ikut kita." Seorang laki-laki menarik tangan Albin dengan kuat.
Albin terkejut. Dia lelaki yang tadi menjadi pelanggannya. Seseorang yang tadi melecehkannya.
"Apa-apaan ini!" Albin terkejut.
Seorang lelaki lain juga ikut memegangi tangannya. Mereka berdua menggamit erat lengan Albin dengan kuat.
"Tolong!" teriaknya.
"Diam!" ancam lelaki itu sambil meletakkan sebuah belati di perut Albin, membuatnya terkejut. Tubuhnya seketika lemas.
"Kalian mau apa? Banyak cewek cantik yang mau tidur sama kalian. Kalian punya banyak uang, kenapa aku? Kenapa maksa aku?" kata Albin memelas. Dia berusaha menyadarkan mereka. "Mas, uang kalian banyak. Mas bisa pilih cewek mana aja. Lepasin saya, Mas! Saya mohon!" Albin menangis.
"Darah Albino mahal. Mereka butuh buat persembahan!" ucap salah seorang dari mereka.
Kedua lelaki itu terus menyeret Albin.
"Tidak! Tidak!" gumam Albin lirih. Ujung belati itu terasa perih menembus bajunya dan menusuk kulitnya.
Albin semakin ketakutan, dia tidak berani berteriak ataupun memberontak.
"Lepaskan calon bini gue!" seru seorang laki-laki memecah kesunyian.
Kedua laki-laki itu dan juga Albin sontak saja mengarahkan pandangannya pada sang pemilik suara.
"Jovan!" Albin menangis.
"Gue bilang lepasin!" pekik Jovan semakin nyaring mengintimidasi.
Seorang laki-laki yang tadi memegang belati menyurungkan tangannya sekuat tenaga, menghujamkan belati ke perut Jovan, tetapi tangan si brengsek itu bisa di tangkapnya. Jovan megangnya erat-erat, lalu menghantamkan lulutnya dengan sangat keras tepat ke siku lelaki itu.
Krak!
"Argh!" erangnya nyaring penuh rasa sakit. Sendi sikunya patah. Dia terkapar di lantai merasakan kesakitan yang luar biasa.
Laki-laki yang satunya maju dan melayangkan tinjunya ke wajah Jovan. Tentu saja, Jovan mengelak dengan cepat, bahkan memukulkan tinju tepat ke ulu hati laki-laki itu, hingga terpukul mundur, terdorong ke belakang.
Jovan mundur beberapa langkah ke belakang lalu berlari dan menerjangkan kakinya tepat di perut laki-laki itu. Punggungnya membentur dinding lalu jatuh merosot terduduk ke lantai.
"Uhuk!"
Dari mulut laki-laki itu keluar darah segar. Beberapa saat kemudian dia pun tak sadarkan diri masih dalam keadaan duduk. Sepertinya dia mengalami pendarahan dinding perut dan usus. Pada Akhirnya, Jovan berlari mendekati Albin.
"Kamu nggak papa?" tanyanya dengan napas terengah-engah. Peluh membanjiri kening dan tubuhnya.
Albin mengangguk sambil menangis. Jovan merentangkan kedua tangan. Gadis itu berlari berhambur ke dalam pelukan Jovan dan menangis semakin keras.
"Sudah, nggak apa-apa. Kamu aman sekarang." Jovan mengelus punggung Albin dengan hangat.
"Terima kasih, Jo," ucap Albin di sela tangisnya.
"Aku nggak terima ucapan terima kasih." Jovan tersenyum manis sambil melepaskan pelukan Albin, "Traktir makan, tapi bukan mie seduh."
Albin mengangguk sambil menyapu air matanya, "Seneng banget kamu minta traktir makan sama aku. Uang kamu, kan, banyak."
"Aku mau ditraktir sama kamu. Boleh, kan?"
"Iya ... iya." Albin mengangguk pelan.
Tempat itu segera ramai saat teman-teman waiter Albin turun. Mereka mau mengambil motor karena sudah waktunya pulang. Albin dan Jovan menceritakan yang terjadi.
Mereka pun memanggil polisi. Albin dan Jovan dimintai keterangan. Dua orang laki-laki itu dibawa polisi ke rumah sakit untuk diobati. Jika sudah sembuh, keduanya akan dibawa ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Jovan juga menelepon pengacaranya. Dia ingin kedua orang itu dihukum berat karena percobaan penculikan.
Dua jam berlalu. Albin dan Jovan berjanji akan datang besok ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Mereka semua pulang. Sekarang, Jovan mengantarkan Albin pulang.
"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Albin.
"Baru aja. Aku emang mau temuin kamu di parkiran. Tadi aku ketemu Gina katanya kamu masih di dalam jadi aku tungguin deh."
"Mau apa ketemu aku?"
"Mau ajak kamu nikah," jawab Jovan santai. "Hal seperti ini mungkin akan sering terjadi, Al. Cowok mabuk, paksa cewek. Itulah kenapa aku bilang, sebaiknya kamu berenti dari pekerjaan itu," Jovan mendesah kasar.
Albin menundukkan wajah dalam-dalam mendengar kata-kata Jovan.
"Aku janji nggak akan nyakitin kamu. Aku juga nggak akan berbuat kurang ajar sama kamu. Keselamatan kamu terjamin. Mau, kan, nikah sama aku?"