Albin keluar dari kafe dan terus saja berjalan keluar tanpa memalingkan wajahnya untuk menoleh ke belakang. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia pun menyapunya dengan kasar menggunakan lengan.
Gadis itu duduk di taman kecil yang terdapat di halaman kafe, mengambil ponsel lalu memesan ojeg online. Layar ponselnya ikut basah terkena tetesan air mata. Setelah itu, dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan terisak kuat, menangkupkan kedua tangannya ke wajah.
"Aku cinta kamu, Jo. Aku cinta kamu," ucap Albin lirih di sela isak tangisnya.
Albin merasa sangat hancur. Tadinya dia berharap Jovan mengatakan cinta, karena itu mengajaknya menikah.
"Sudahlah!" Albin menyapu air mata, mengangkat dagu dan menegakkan kepalanya. "Hidup gue baik-baik aja kok sebelum dia datang. Jadi gue pasti baik-baik aja tanpa dia." Albin menarik napas panjang, lalu tersenyum getir.
"Albin!" Jovan berjalan mendekati Albin.
Albin menoleh, dia menatap Jovan yang berlari ke arahnya.
"Mau apa lagi? Gue udah bilang! Jangan pernah lagi lo samperin gue!"
"Aku mau ngomong sama kamu." Jovan memandangi Albin dengan perasaan sedih.
"Lo nggak usah ngomong lagi! Lo kalau ngomong nyakitin!" Albin berang.
Sebuah sepeda motor memasuki area pekarangan kafe, sang driver memperhatikan ke sekeliling, dia membuat panggilan telepon mencari pemesannya.
"Mbak Albin? Saya sudah ada di parkiran," ucap sang driver di telepon.
"Iya, Pak. Sebentar," sahut wanita di seberang sana tak jauh darinya, wanita itu melambaikan tangan.
Driver itu melihat seorang lelaki berdiri mendekatinya.
"Cancel aja, Pak." Dia menyerahkan uang 50 ribu.
Sang Driver menatap lelaki itu dengan bingung.
"Nggak papa, ambil aja buat Bapak. kasihan udah jemput. Biar nanti saya aja yang antar calon istri saya pulang," ucap Jovan dengan nada meyakinkan. Dia melihat ke arah wanita yang berdiri kesal sambil melipat kedua tangannya ke dada.
"Jangan, Pak. Tunggu sebentar aja," seru Albin.
Sang Driver memandangi lelaki di depannya dengan tatapan kebingungan.
"Ya udah tunggu aja. Ambil aja uangnya, ya, Pak? Nggak papa."
"Iya, Mas. Saya tungguin. Makasih, ya, Mas?" Driver itu pun mengangguk dan laki-laki di depannya kembali mendekati wanita yang disebutnya calon istri.
Jovan memandangi wajah Albin dengan lekat dan meraih tangannya, "Albin, dengarkan aku sebentar. Sekali ini aja. Kalau setelah ini kamu kamu nggak mau ketemu aku lagi, nggak masalah. Tolong dengarkan aku."
Sayangnya, Albin menghempaskan tangannya dengan kasar.
"Ya udah, buruan!" ucap Albin dengan nada tinggi.
"Albin, aku nggak ada niatan sedikit pun untuk merendahkan kamu. Aku meminta kamu menjadi istriku bukan hanya demi keuntunganku sendiri. Tolong kamu pikirkan baik-baik apa yang aku katakan. Kamu kerja di Havana demi uang, kan? Aku minta kamu berenti kerja di sana untuk jadi istriku. Kamu akan dapatkan segalanya. Terlalu lama bekerja di tempat itu bukan pilihan yang tepat."
"Jadi kamu menghina pekerjaanku sekarang?!" Albin semakin berang.