Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Meski terpaksa, Albin berjalan mengikuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian ke sana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata."Albin, makan, yuk? Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya? Harus beneran kali ini." Jovan terus melangkah cepat membelah kerumunan manusia. "Albin?!"
Jovan memalingkan wajah melihat ke Albin.
"Kamu nggak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!" Jovan menghentikan langkah lalu merangkul pundak Albin, "Kamu kenapa?" tanyanya sambil menatap dalam wajah Albin.
"Hum ... Nggak papa," Albin mengangguk, "Kamu nggak papa?" tanyanya gugup. Ritme debaran jantungnya berpacu kian cepat.
"Kamu lihat sendiri aku nggak papa, kan?" ucap Jovan tersenyum bangga. Mata cokelatnya berbinar.
Albin mengangguk pelan sambil tersenyum canggung. Dia masih syok dengan apa yang terjadi. Tak banyak kata yang bisa ia ucapkan. Mata Albin berkedip berkali-kali saat tatapannya bertaut dalam dengan Jovan.
"Jadi kamu mau traktir aku makan di mana?" tanya Jovan tersenyum manis. Deretan giginya terlihat indah.
"Ada tempat favoritku." Albin tersenyum tipis sejuta makna.
"Tempat favorit? Oke." Jovan jadi bersemangat.
Mereka mengendrai mobil membelah jalanan kota di malam hari. Lampu-lampu jalanan membias di wajah Albin. Lagu country mengalun lembut di mobil. Keduanya diam membisu tanpa bicara sepatah kata apa pun. Mereka sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Keduanya sama-sama bingung untuk memulai pembicaraan dari mana. Pada akhirnya mereka memilih saling curi pandang, lalu tersenyum satu sama lain karena salah tingkah saat saling tertangkap basah.
"Kamu bisa bela diri?" tanya Albin memecah kecanggungan mereka.
"Iya. Aku sekolah sampai sore. Ada ekskul di sekolah. Aku ambil renang dan taekwondo."
"Oh, gitu. Pantesan sok jago!" Albin memalingkan wajah melihat ke luar jendela sambil tersenyum tipis.
"Ya, Lord! Di mana rasa terima kasihmu?" Jovan mendengus kasar.
"Kamu itu nekat banget. Kalau kamu tadi kenapa-napa gimana?" Albin menatap khawatir.
Jovan terkekeh pelan, "Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku."
"Aku bukan khawatir sama kamu. Salah kamu sendiri kenapa nekat. Aku tuh mikirin papa kamu. Gimana perasaanya kalau tahu anaknya nekat?"
"Kamu, ya? Aku jadi pusing, deh." Jovan menggeleng kesal, "Apa susahnya bilang terima kasih?"
"Untuk apa terima kasih. Itu bodoh. Kalau kamu kenapa-napa gimana? Kalau mereka tusuk kamu sama senjata tajam gimana?" Albin terus mengoceh.
"Udahlah, Al. Lupain aja!" Jovan mendengus kesal. Dia menatap jalanan dengan rasa dongkol dan Albin menolehkan wajah menatap dalam ke wajah laki-laki itu.
"Terima kasih. Tolong jangan lakukan itu lagi. Aku nggak mau kamu kenapa-napa." Albin meletakkan tangannya di pipi Jovan.
Jovan menoleh sejenak. Dia tersenyum lalu mengangguk pelan kemudian kembali melihat ke jalanan.