"Argh!" Jovan dan Albin mendesah keras bersama. Keduanya sama-sama menjauhkan tubuh mereka dan secara bersamaan pula menyentuh bibir mereka masing-masing.
Albin menatap Jovan penuh murka. Bibir dalamnya terasa sangat sakit dan membengkak karena terbentur gigi seri dengan keras. Giginya juga terasa sakit karena merespon benturan.
"Apa-apaan, sih?" Albin berang.
Jovan menyapu bibirnya sendiri yang juga terasa sakit. Dia maju beberapa langkah mendekati Albin.
"Maaf aku nggak sengaja. Abisnya kamu mau pergi gitu aja. Aku udah nungguin kamu dari tadi," ucap Jovan menyentuh perlahan bibir Albin yang terlihat sedikit membengkak. "Masih sakit?" tanyanya sambil menatap lekat mata Albin, menyapu bibir itu dengan ujung jemarinya.
Albin terdiam. Dia merasa gugup dan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Napas Jovan terasa hangat menyentuh pori-pori kulit wajahnya.
"Masih sakit?" ulang Jovan.
"Modus! Albin, jangan mau dimodusin. Masih sore, main sosor aja! Kek soang lo, Jo!" Kei berkomentar sambil terkekeh pelan dan berdecak kesal.
"Hm ..." Albin menoleh ke wajah Kei. Perkataan teman laki-laki Jovan itu mengembalikan kesadaran Albin di mana dia berada saat ini. Pesona Jovan mengaburkan kesadarannya antara mimpi dan realita. Wajahnya memerah karena malu.
Jovan dan Albin saling tersenyum canggung. Alhasil, Jovan memanggil waiter dia memesan cemilan dan minuman.
"Mau main?" Jovan memberikan stik pada Albin.
"Aku nggak mahir juga. Kalian aja deh, aku temani. Sebentar lagi juga aku masuk kerja," tolak Albin dengan lembut.
"Nggak papa. Ayo kita main," ucap Jovan sambil menarik pergelangan tangan Albin.
Meski enggan, Albin tetap mengikuti keinginan Jovan. Dia mengambil stik yang diberikan Jovan. Ia membungkukkan tubuh. Gadis itu meletakkan tangan kirinya di atas meja bilyard, menjadikan jemarinya penyangga stik. Albin menaikkan tangan kanan lalu menumpukan stik itu di tangan kirinya dan bersiap membidik.
"Dibuka kaki kamu, Al." Jovan menggeser kaki Albin menggunakan kakinya. Albin membuka kakinya lebih lebar.
Jovan merendahkan tubuhnya. Dadanya yang bidang itu pun menyentuh punggung Albin.
"Turunin lagi badan kamu." Jovan menekan punggung Albin menggunakan tangannya, lalu dia menempelkan tubuh mereka hingga melekat satu sama lain.
Jovan memegang kuat-kuat ujung stik yang digenggam Albin. Jantung Albin berdegup kencang, ketika dada bidang Jovan terasa hangat di punggungnya. Albin juga menghirup harum parfum membaur dengan aroma tubuh Jovan. Membuat aroma seksi dan maskulin menguar lembut dari tubuhnya.
"Yang kuat. Gunakan otot lengan kamu." Jovan memukulkan stik ke bola bilyard yang berwarna putih.
Albin tidak melihat ke bola itu, dia justru memperhatikan wajah Jovan yang sangat dekat dengan wajahnya. Bibir Albin hanya berjarak 5 sentimeter dari leher Jovan. Perasaan Albin porak poranda bagai dihantam badai dahsyat. Tangan dan kakinya gemetar. Napasnya tersengal. Seluruh bulu halus di tubuhnya meremang.
"Bisa, kan?" tanya Jovan memalingkan wajahnya untuk melihat ke arah Albin. Mereka masih dengan posisinya yang sama.
Tatapan mereka saling bertaut dalam. Jovan menyapukan pandangannya ke seluruh wajah Albin dan berhenti tepat di bibirnya.