"Jo! Giliran gue!" seru Kei saat melihat Jovan dan Albin masih sangat nyaman dengan posisi mereka. Saling melekat satu sama lain.
Jovan tersenyum, dia segera bangun dari posisinya.
"Aku masuk kerja dulu, ya?" Albin susah payah menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Ia merasa susah bernapas karena jantungnya berpacu sangat cepat.
"Loh, kok tiba-tiba aku ditinggal?" tanya Jovan.
"Nggak kok. Emang udah waktunya masuk. Aku tinggal, ya?" Albin melangkah pergi.
"Kei, aku kerja dulu." Albin menyapa Kei.
"Wah, ini gara-gara lo, Jo. Albin jadi cabut. Lo nyosor mulu, sih!" Kei berdecak dan menggelengkan kepala. Dia menumpukan pangkal stik bilyard di lantai.
Albin memandangi wajah tampan Kei. Separuh darah Jepang di dalam tubuhnya membuat dia terlihat berbeda dan sangat menarik. Rahang tegas yang dimilikinya ditumbuhi misai tipis hingga ke bawah dagu menambah kesan 'lelaki' dalam dirinya.
Alisnya lebat berwarna hitam gelap. Mata sedikit kecil khas orang negara Matahari Terbit membuat tatapan matanya terlihat setajam samurai. Senyumannya hangat dan ramah.
"Nggak kok. Emang mau masuk. Aku tinggal, ya?" Albin tersenyum sambil mengangguk pelan.
Albin menoleh melihat ke arah Jovan, kemudian melambaikan tangan. Dia melangkah pergi dan menghilang di balik pintu.
"Dia itu calon istri lo?" tanya Kei sambil memukul bola menggunakan stik.
Jovan hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahu.
"Lo yakin?" tanya Kei.
"Kenapa? Karena dia Albino?" tanya Jovan dengan kening yang mengkerut.
"Bukan, tapi ..." kata-kata Kei tertahan.
"Bokap gue maksa, Kei." Jovan sambil membidik bola.
"Tapi kayaknya lo beneran suka sama dia," ucap Kei datar.
"Kenapa? Lo cemburu?" Jovan terkekeh pelan.
Kei menatap lekat-lekat wajah Jovan. Dia menghela napas panjang dan berat. Mereka membicarakan hal lain. Sambil tertawa dan bercanda. Albin memperhatikan mereka dari balik pintu kaca. Dia bisa menangkap jelas kedekatan mereka.
...
Sebulan kemudian ....
Jovan dan Albin semakin dekat dari hari ke hari. Jovan tidak setiap hari datang menemui Albin, tetapi mereka sesekali pergi keluar sekedar makan bersama atau menonton film di bioskop. Jovan semakin gelisah dari hari ke hari. Tenggat waktu yang diberikan ayahnya sudah semakin dekat. Hanya tinggal hitungan hari.
Malam ini Jovan dan Albin nonton film di bioskop, tapi tidak sedikit pun laki-laki itu bisa fokus menonton. Dia lebih sering memandangi wajah Albin daripada layar besar di depan. Akhirnya, 90 menit berlalu, film pun berakhir.
"Kita makan dulu, yuk." Jovan merangkul pundak Albin.
"Oke," jawab Albin pendek. Dia tidak bisa banyak bicara jika terlalu dekat dengan Jovan. Albin selalu merasa gugup.
Mereka pergi ke kafe waktu itu, malam ketika Jovan mengerjai Albin. Saat ini pengunjung lebih ramai dari pada malam itu. Jovan dan Albin memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan. Namun, Jovan makan dengan gelisah. Wajahnya terlihat cemas.
"Kamu kenapa, Jo?" tanya Albin. Dia yakin Jovan ingin mengatakan sesuatu.
...