"Masalahnya, dia nggak mudah suka sama cewek. Susah pokok-ya. Eh, tapi ... kalau sama kamu mungkin dia mau. Kamu mau aku kenalkan? Jadi istri dia mau?"
"Apaan, sih?" Albin mendesah kesal.
"Iya, kalau sama kamu, aku yakin dia mau. Aku kenal baik sama anaknya Pak Adi," tawar Jovan semangat.
"Siapa? Si Kei?" tanya Albin secara tiba-tiba dan Jovan pun memicingkan matanya.
"Kenapa langsung Kei? Kamu suka sama dia?" Suara Jovan terdengar berat dan tidak suka.
"A-pa? Hahahaha ... Nggak kok. Bukan gitu. Abisnya katanya kenal baik. Kamu sama Kei kayaknya deket baget."
"Kalau beneran si Kei anaknya Pak Adi, kamu mau?" Jovan memicingkan matanya penuh selidik.
"Apa, sih? Ngaco deh kamu!" Albin memalingkan wajah. Dia mengalihkan pandangannya ke sisi kiri luar jendela.
"Call Kei." Jovan membuat panggilan dengan perintah suara.
"Calling Kei." Suara wanita dalam aplikasi pun terdengar.
"Eh! mau apa?" tanya Albin terkejut.
Jovan tidak menjawab pertanyaan Albin.
"Halo," jawab Kei di panggilan itu.
"Kei , kita nggak jadi ke Havana main bilyard," ucap Jovan.
"Loh, kenapa? Aku udah siap-siap nih."
"Aku ada meeting mendadak. Nanti aja lain kali." Jovan melihat ke arah Albin sekilas. Dia tidak suka Albin tiba-tiba menyebut nama Kei.
"Oh gitu. Ya udah kalau gitu." Kei berbesar hati. Mereka mengakhiri pembicaraan. Jovan kemudian menghubungi Tasya untuk menjadwal ulang pertemuan bersama rekan kerjanya besok pagi dan Albin memandangi wajah Jovan dengan bingung.
"Kita nggak jadi? Terus mau ke mana?" Albin heran.
"Kita ke fun fair aja," jawab Jovan santai.
"Aku kerja."
"Nggak usah masuk hari ini," ucap Jovan enteng, "Bilang aja sakit."
"Nggak bisa. Harus ada dari surat dokter."
"Aku punya dokter keluarga. Nanti aku bisa mintakan surat."
Albin menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. Jovan terus melaju membelah jalanan kota menuju fun fair. Sementara Albin memainkan ponsel berusaha mengusir kecanggungan saat kesunyian hadir di antara mereka. Sesekali dia bernyanyi saat lagu favoritnya diputar.
"Albin, kamu tinggal sendiri, kan? Orang tua kamu di mana?"
"Ada. Mereka tinggal di luar kota. Kenapa?"
"Di mana? Aku mau main-main ke sana?" ucap Jovan sambil tersenyum.
'"Mau apa?!" Albin terkejut.
"Mau ucapin terima kasih."
"Heh? Terima kasih untuk apa?" Albin terpekik.
"Sudah melahirkan gadis secantik kamu. Meski kamu bar-bar banget." Jovan terkekeh pelan. Dia melihat ke arah Albin sambil tersenyum.
Pandangan mereka bertemu. Albin memandangi Jovan lekat-lekat lalu menundukkan wajah dalam-dalam. Ada rasa sedih menyusup di hatinya.
"Ada apa?" tanya Jovan terkejut melihat perubahan raut wajah Albin.
"Maaf soal bar-bar. Tapi kamu memang begitu, Albin. Kamu bar-bar sama aku, tapi nggak begitu sama orang lain." Jovan melontarkan candaan. Dia menggoda Albin, mencoba membuat gadis itu emosi seperti biasanya.
Albin tidak mengatakan apa pun. Dia memandang jauh ke depan. Sinar matanya menunjukkan kesedihan. Jovan menangkap hal itu. Sebagai seseorang yang juga punya permasalahan dalam keluarga, Jovan juga sedih saat seseorang membicarakan keluarga. Dia yakin Albin pasti memiliki permasalahan sendiri dengan keluarganya. Meskipun dia tidak tahu apa permasalahannya.
Jovan memarkir mobilnya saat mereka sampai di area fun fair. Bianglala besar terlihat bagus dengan lampu-lampu warna-warni di tiap sisinya. Carousel*) berputar cepat membawa penumpangnya yang menaiki berbagai macam patung binatang.
"Ayo ...." Jovan memandangi Albin lekat-lekat. Albin terlihat sangat menarik di matanya.
Gadis cantik itu tersenyum dan mengangguk. Langit mulai berwarna kemerahan, pertanda petang akan segera menjelang. Mereka saling mengagumi satu sama lain di bawah langit yang mulai menggelap.
"Kamu sering main ke fun fair?" tanya Albin dengan wajah berbinar. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat itu. Dia terlihat sangat senang.
"Sering sama Papa. Kamu?" tanya Jovan. Dia menatap lekat wajah Albin yang terlihat bahagia, "Cantiknya," gumam Jovan di dalam hati, mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Ini pertama kalinya. Oh, bukan. Pernah satu kali pergi aku sama Mama. Begitu nyampe kami pulang. Aku nangis. Soalnya, anak-anak lain mengejekku hantu." Albin tersenyum hambar saat dia mengatakannya.
"Kalau hantunya secantik kamu, aku nggak masalah, kok" ucap Jovan cuek, "Ayo kita naik." Dia menarik lengan Albin, memaksanya untuk terus berjalan.
Albin memperhatikan tangan Jovan yang menggenggam erat pergelangan tangannya. Perasaannya menghangat. Namun, juga ada perasaan takut menyusup di hatinya. Albin takut semua ini hanya mimpi. Bunga-bunga di dalam hatinya bermekaran indah tanpa mampu ditahan lagi.
"Ayo, Albin. Lari ..." Jovan berlari kecil sambil menarik pergelangan tangan Albin. Senyumnya mengembang indah. Mata cokelat terangnya bersinar.
Albin pun tertawa sambil berlari kecil. Semuanya seperti melambat baginya. Setiap senyuman dan raut kebahagiaan di wajah Jovan terekam jelas di dalam ingatanya.
"Pak, tunggu!" Jovan berteriak pada penjaga bianglala agar tidak menjalankannya.
"Iya," sahut sang penjaga bianglala.
Jovan melepaskan tangan Albin saat mereka sudah tiba di depan bianglala. Dia berlari menuju loket untuk membeli tiket dan kembali dengan napas terengah-engah. Putra semata wayang Adi itu pun menyerahkan tiketnya kemudian menaiki bianglala.
Albin duduk berseberangan dengan Jovan, bersama perasaan gugupnya. Ini kali pertama dia menaiki bianglala.
"Kamu gugup?" tanya Jovan melihat raut ketegangan di wajah Albin.
"Nggak gugup, tapi takut banget," terang Albin sambil berpegangan erat di gantungan kursi. Dia sering melihat di TV bianglala tiba-tiba rusak saat sedang beroperasi. Perlahan bianglala itu bergerak naik.