"Nggak gugup, tapi takut banget," terang Albin sambil berpegangan erat di gantungan kursi. Dia sering melihat di TV bianglala tiba-tiba rusak saat sedang beroperasi. Perlahan bianglala itu bergerak naik.
Jovan berdiri dari tempatnya. Dia bermaksud duduk di sebelah Albin. Seketika itu juga kursi bianglala itu oleng karena berat sebelah.
"Jangan!" Albin berteriak nyaring sambil berpegangan erat saat kursinya tidak seimbang. Dia menutup mata rapat-rapat, tapi Jovan tidak peduli tetap saja lelaki itu duduk di sisinya.
"Aku mau temani kamu," ucap Jovan. "Kamu nggak perlu takut. Kamu nggak sendirian. Jika terjadi sesuatu, aku pasti jadi orang pertama yang akan selamatkan kamu."
Jovan pun menyentuh pipi Albin dengan hangat.
"Buka mata kamu, Albin. Kadang, keindahan memang harus dinikmati dengan cara yang menakutkan."
Albin membuka matanya perlahan. Wajah tampan Jovan-lah yang pertama kali dilihatnya. Gadis itu semakin gugup, dia menelan ludah dengan susah payah. Mata mereka saling bertaut dalam beberapa saat. Jantung keduanya berdebar lebih cepat dengan ritme yang sama. Jovan segera mengalihkan matanya untuk melihat jauh ke ke sekelilingnya.
"Bagus, kan?" ucap Jovan.
Mereka berdua memperhatikan belantara kota yang terlihat indah.
"Iya, bagus banget." Albin mengangguk pelan meski masih merasa takut saat melihat ke bawah.
"Aku sering pergi ke fun fair sama Papa. Mama jarang di rumah. Dia selalu sibuk dengan bisnisnya. Enam bulan sekali aku bertemu Mama itu sudah bagus." Jovan menarik napas panjang. Dia memandangi lekat wajah Albin.
"Mama kamu ke mana?"
"Di Singapur," jawab Jovan cuek.
"Kamu masih beruntung." Albin tersenyum, "Aku malah nggak tahu di mana orang tuaku. Aku dibuang. Aku Dimasukkan ke dalam kardus dan diletakkan di bak mobil pick up." Albin tersenyum getir.
"A-apa? Kenapa?" Jovan terkejut.
"Karena aku Albino." Albin menundukkan wajahnya. Tanpa dia bisa tahan air mata menetes dari kedua matanya.
"Hei ..." Jovan pun mengangkat dagu Albin, "Jangan bilang begitu. Kamu adalah ciptaan terindah yang pernah aku temui." Jovan menatap dalam mata biru Albin. "Apalagi kalau kamu senyum. Jangan merusak keindahan kamu dengan menangis dan sedih, ya?" tambahnya dan Albin tersenyum mendengarnya.
"Terima kasih." Albin tersenyum manis.
Jovan berusaha membicarakan hal lain sambil bercanda. Dia tidak mau Albin jadi sedih karena mengingat orang tuanya. Sesekali gelak tawa mereka terdengar lepas. Tanpa terasa bianglala itu berhenti. Sudah waktunya mereka untuk turun. Jovan memberikan tangannya membantu Albin.
"Aku mau ke toilet dulu," ucap Albin.
"Mau kuantar?" tawar Jovan.
"Nggak usah," ucap Albin sambil berlalu pergi.
Jovan menunggu Albin datang sambil berdiri. Dia gelisah. Albin terlalu lama dan masih belum kembali. Akhirnya ia pun mencarinya. Setelah menunggu cukup lama di depan area toilet, gadis itu masih belum juga datang. Ia sudah menelponnya beberapa kali. Sayangnya, Albin tidak menjawab.
Jovan menjelajahi tempat itu mencari-cari di mana Albin. Ia tertegun ketika melihat gadis itu duduk di rerumputan sambil menangis.
"Albin, kamu kenapa?" tanya Jovan.
"Nggak papa."
"Jawab, Albin! Kamu kenapa?" Jovan merasa gusar. Dia merasa tidak berguna saat Albin menolak bicara padanya.
"Mereka ... me-mereka bilang aku mayat hidup." Albin bicara tersendat-sendat karena tersedu-sedu.
"Apa?! Siapa yang bilang kamu begitu?!" tanya Jovan. Matanya berkilat tajam karena amarah.
"Orang."
"Siapa?!" tanya Jovan. Dia menarik lengan Albin, "Tunjukin yang mana orangnya!" ucapnya tegas.
"Nggak usah." Albin menolak dengan keras.
"Albin, orang seperti itu nggak bisa dibiarkan!"
"Kalau seluruh kota bilang gitu. Apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan menuntut seluruh kota untuk kamu. Seseorang yang sudah membuatku merasa bahagia nggak boleh disakiti siapa pun!" Jovan menarik lengan Albin lebih keras.
"Tunjukkin, yang mana orangnya!" perintah Jovan.
Mau tidak mau Albin pun menurutinya. Dia menunjukkan sekelompok lelaki yang berkumpul sambil tertawa. Jovan tadi melewati mereka saat mencari Albin ke toilet, dia yakin Albin juga melewati mereka.
Jovan mengambil ponsel lalu mengambil foto mereka. Dia mengirimnya pada pengacara pribadinya.
{Berjaga-jaga jika terjadi sesuatu} Jovan mengirim pesan bersama foto itu.
"Hei, lo semua!" ucap Jovan nyaring, "Lo bilang apa tadi ke tunangan gue, hah?!" Jovan memandangi keempat laki-laki yang berpenampilan berantakan itu dengan kemarahan.
Sontak saja keempat lelaki itu melihat ke arah Jovan. Begitu pula Albin. Dia sangat terkejut dengan kata-kata yang baru saja Jovan lontarkan.
Mereka tersenyum sinis memperhatikan Jovan dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Semua yang dikenakannya terlihat mahal, "Eh, Borju! Kalo lo mau belagak, bukan di mari tempatnya. Mau mati lo?"
"Lo semua dengerin, ya? Foto lo semua udah gue kirim ke pengacara gue. Siap-siap aja kalian pindah rumah ke penjara. Nih, foto kalian semua!" Jovan terkekeh pelan dan mengacungkan ponselnya.
Mereka mendekat bersama-sama. Mencoba merebut ponsel mahal Jovan yang terlihat berkilau. Ponsel itu terjatuh ke tanah. Jovan tersenyum rumit. Dia menendang perut salah seorang dari mereka dengan kuat. Lelaki itu tersungkur di tanah menahan rasa sakit yang hebat.
"Bangsat!" teriak laki-laki yang lain sambil berlari ke arah Jovan.
Jovan memutar tubuhnya di udara sambil menendang laki-laki itu tepat mengenai rahangnya. Dia pun terhuyung, jatuh ke tanah dan langsung pingsan.
"Cepat minta maaf!" ancam Jovan dengan napas tersengal. Dia bicara kepada tiga lelaki lainnya.
Dua lelaki yang masih segar bugar segera sadar bahaya yang menimpanya. Para pengunjung fun fair mulai berdatangan ke arah mereka. Nyawa mereka semua pasti dalam bahaya jika Jovan berkata mereka semua mencoba merampas ponselnya.
Mereka berdua mendekati Albin. Satu orang lagi mendatangi dengan sudah payah sambil memegangi perutnya.
"Maaf, Neng," ucap mereka gemetar.
Albin pun terlihat syok. Tak ada jawaban dari mulutnya, dia memundur beberapa langkah.
"Minggat lo semua sana! Bawa sekalian noh!" ucap Jovan menunjuk laki-laki yang sudah ia buat pingsan menggunakan kaki.
Mereka menggotong temannya itu dan segera menjauh dari keramaian. Sebelum orang-orang sampai di tempat itu.
"Kenapa?" tanya beberapa orang.
"Nggak papa, Pak. Salah paham aja." Jovan mengambil ponselnya di tanah lalu menarik tangan Albin, "Nggak boleh ada yang menyakiti sumber kebahagiaanku." Jovan tersenyum pada Albin.
Mata Albin pun mengerjap beberapa kali. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
***
Holaaaa cenow di sini ... cerita ini di up tiap hari ya ... jangan lupa tinggalkan komentar dan riview biar aku lebih semangat. Terima kasih semuanya ... love y'all