Jovan terus bicara selama dalam perjalanan, tapi sayangnya Albin sama sekali tidak menyimak apa yang dibicarakan lelaki itu. Di dalam benaknya berlarian jumlah tagihan yang harus dibayarkan.
"Albin! Kok melamun?" tanya Jovan.
"Hahahaha," Albin tertawa miris, "Pusing nih."
"Kenapa? Nggak biasa naik mobil?" tanya Jovan.
"Mungkin." Albin tersenyum hambar.
Jovan memasuki area parkiran kafe mewah. Kedua kaki Albin semakin melemah melihat tampilan tempat itu.
"Ayo, turun." Jovan tertawa melihat wajah pucat Albin.
"Di sini?" tanya Albin.
"Iya." Jovan membuka pintu mobil, dia berdiri di sisi pintu, "Albin. Ayo. Nggak iklas banget kayaknya traktir aku. Slow motion mulu dari tadi." Jovan berdecak sambil menggelengkan kepalanya.
"Emang nggak ikhlas! Kamu itu malak! Mana ada orang ikhlas dipalak!" Albin merengut. Dengan terpaksa dia keluar dari mobil dan Jovan tertawa gelak mendengar kata-kata Albin.
"Bodo amat. Yang penting ditraktir." Dia mengunci pintu dan mereka berjalan beriringan.
Jovan meraih tangan Albin berusaha menggandengnya.
"Apa, sih?" Albin melepaskan tangan Jovan dengan kasar.
"Aku pegangin," kilah Jovan sambil kembali meraih tangan Albin.
"Aku bukan anak kecil. Nggak usah dipegangin. Emangnya layangan? Dijagain terus." Albin menggerutu.
"Ya, siapa tahu kamu kabur. Padahal janji traktir." Jovan kembali tertawa. Deretan giginya terlihat, membuat Albin merengut mendengar celotehan Jovan.
Mereka pun masuk ke dalam kafe. Albin mengedarkan pandangan. Dia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
"Duduk." Jovan menarik kursi untuk Albin.
"Ah, biarlah. Sekali ini," ucap Albin dalam hati.
Jovan lalu memanggil waiter. Seorang lelaki mendekat dan menyerahkan buku menu.
"Huft!" Albin menyeka keringat dingin di kening saat melihat tampilan eksklusif buku menu itu dilapisi kulit asli.
Albin membolak-balik buku menu. Keningnya kian banyak memproduksi keringat dingin saat dia melihat harga yang tertera di bawah gambar makanan itu. Dia terus balik membalik halaman mencari makanan dengan harga termurah.
"Buset, air mineral doang sama dengan gaji gue sehari. Di warung cuma 3000 perak." Albin meletakkan dagu di meja dan menyembunyikan wajahnya di balik buku menu, "Dosa apa gue dikasih hukuman ketemu si kunyuk ini." Dia hampir menangis.
Jovan tersenyum melihat Albin frustasi, "Kamu bingung ya mau pilih makanan yang mana? Semuanya keliatan enak, kan? Sini aku yang pilihkan."
Jovan menyebutkan pesanan kepada waiter. Dia memesan makanan pembuka, menu utama, hingga makan penutup tidak lupa minuman untuk mereka berdua. Albin membalik lembar demi lembar apa yang dipesan Jovan. Dia melihat harganya.
"Mati gue ... mati ... kali ini beneran mati!" Albin menghitung cepat. Wajahnya semakin pucat.
Tidak lama kemudian menu pembuka dan minuman datang. Mata Albin tidak henti-hentinya berkedip cemas melihat begitu banyak makanan terhidang di meja.
"Mari makan." ucap Jovan tersenyum lebar dengan wajah bahagia.
Albin menyantap apa yang ssudah dipesan oleh Jovan. Ia memakannya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak tahu harus bagaimana. Semua makanan memang sangat enak, tapi dia yakin pasti menghabiskan dua minggu gajinya untuk membayar tagihan.
Jovan tersenyum lebih lebar melihat Albin uring-uringan. Wajahnya yang merengut terlihat kotak-kotak dan begitu menggemaskan baginya.
Albin melahap semua makanan itu bagai orang kesetanan. Dia melampiaskan kekesalan dengan menjejalkan semua makanan ke dalam mulutnya.
"Eh, kok nggak dihabisin?" tanya Albin dengan pandangan mengenaskan saat melihat semua makanan milik Jovan masih banyak bersisa.
"Aku sudah kenyang," jawab Jovan cuek.
"Tadi katanya lapar banget!"
"Iya, tapi sekarang sudah kenyang." Jovan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Sini aku yang abisin!"
"Eh, kamu belum kenyang?" Jovan terkejut. Semua makanan Albin bersih, bahkan piring makannya terlihat licin dan mengkilap seperti piring baru. Entah bagaimana cara Albin bisa membuat piringnya selicin itu. Jovan tidak melihatnya tadi.
Albin tidak menjawabnya. Dia mengambil gelas Jovan dan menghabiskan minumannya. Perutnya sangat kekenyangan, tapi dia tidak bisa merelakan uangnya dibuang begitu saja dengan membuang makanan. Albin mengangkat tangan memanggil waiter.
"Albin kamu mau pesan apa?" Jovan bingung. Albin tidak menjawab pertanyaannya.
"Mas, tolong bungkus makanannya," pinta Albin dengan nada cuek.
"A-apa?" Jovan terkejut, "kalau kamu mau bawa pulang pesan lagi aja." Lelaki itu merasa malu. Makanannya sudah dimakan separuh, sudah acak-acakan tidak cantik lagi seperti saat baru dihidangkan. Tidak mungkin baginya dibawa pulang.
"Nggak usah," Albin mengibaskan tangannya, "Itu aja, bungkus," ucap Albin dengan dramatis menunjuk makanan sisa Jovan dan lelaki tampan itu yang menepuk keningnya.
"Jadi gimana? Jadi dibungkus?'" tanya waiter itu.
"Iya, Mas. Bungkus." Albin bicara dengan hidung kembang kempis menahan malu. Dia pun malu, tapi dia merasa akan sangat kerampokan. Setiap tetes air dan setiap suapan makanan yang mereka pesan di kafe itu sangat berharga menurutnya.
"Nggak usah!" sahut Jovan tegas. "Minta tagihannya, Mas," perintah Jovan tegas.
Akhirnya Albin mengalah. Mereka pergi dari kafe itu dan kembali melanjutkan perjalanan.
"Kita ke mana sekarang?" tanya Albin.
"Anterin kamu pulang."
"Motorku gimana?"
"Besok aja diambil. Albin, aku lihat di sisi kanan Havana ada bilyard, ya?" tanya Jovan.
"Iya, lounge. Ada bilyard."
"Besok sore kujemput, ya? Kita ke sana." Jovan memandangi wajah Albin sekilas.
"Aku nggak kerja di sana."
"Nggak papa. Kamu bisa main bilyard?" tanya Jovan lagi.
"Bisa sedikit-sedikit."
"Oke. Kita ke sana besok sore," pinta Jovan. Ajakan yang dilontarkannya lebih mirip kata perintah.
"Aku, kan, kerja. Kamu nggak kerja?"
"Kerja. Iya, makanya sore-sore kujemput. Nanti kamu sekalian kerja. Aku juga mau ketemu rekan kerja."
"Oh, oke," jawab Albin pendek. Dia menghela napas panjang dengan perasaan bingung kenapa tidak bisa menolak permintaan Jovan yang tak lama kemudian sudah menghentikan mobil di depan rumahnya.
"Sampai besok sore." Jovan tersenyum.
"Mana tagihannya?" tanya Albin menadahkan tangan.
"Tagihan apa?" Jovan bingung.
"Katanya kamu bayarin dulu nanti aku ganti." Albin menelan ludah.
"Oh. Hahahaha." Jovan tertawa gelak. Dia mengusap rambut Albin dengan lembut, "Udah masuk sana. Kamu pasti capek."
Mata Albin mengerjap beberapa kali merasakan sentuhan hangat dari Jovan di kepalanya. Dia merasa nyaman dan salah tingkah di saat yang sama. Jovan memandangi mata biru Albin semakin dalam.
"Kamu cantik sekali," ucap Jovan dalam hati sambil tersenyum. "Ayo masuk! Aku juga mau istirahat." Jovan mengingatkan Albin.
"Hem ..." Albin pun mengangguk. Keduanya lantas saling melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.