"Ah, itu." Albin tersipu malu. Dia membuka kantung tasnya mencari kunci rumah, "Ada kok kuncinya," ucap Albin sambil mengacungkan kunci.
"Ini kunci motor kamu. Tadi malam aku lupa kembalikan." Jovan merogoh sakunya dan memberikan kunci itu pada Albin. "Oke, kita berangkat," tambahnya mendekatkan dirinya ke tubuh Albin. Dadanya yang bidang menyentuh lengan Albin.
"Kamu mau apa?!" Albin beringsut lebih dalam ke sandaran kursi.
"Tenang aja. Aku nggak mau apa-apain kamu, kok. Kalau aku mau, pasti kulakukan pas malam kamu mabuk itu," jawab Jovan cuek. Dia menjulurkan tubuhnya lebih jauh. Dadanya berada di kedua paha Albin.
Jovan merasakan getaran menyusup lembut melalui pori-pori kulitnya saat dadanya berada di atas kedua paha Albin. Dia bisa menghirup aroma bunga bercampur vanila yang manis dari tubuh gadis itu.
Jovan pun berusaha menenangkan debaran jantungnya yang berpacu cepat sambil memasangkan sabuk pengaman untuk Albin. Sementara Albin, dia terdiam membeku. Mematung, bahkan tanpa sadar menahan napas ketika dada Jovan berada tepat di pangkuannya. Albin menghirup aroma citrus maskulin dari tubuh Jovan. Dia menelan ludah karena gugup.
"Oke, sudah." Jovan bangkit dari posisinya yang sudah memporak-porandakan perasaanya dan juga perasaan Albin sambil tersenyum canggung
"Bilang aja pasang sabuk pengaman! Aku bisa pakai sendiri, kok," ucap Albin sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas.
"Nggak, papa. Aku takut belum terpasang sempurna. Aku takut nanti disalahkan orang tua kamu karena mencelakakan anak mereka," kata Jovan cuek sambil menyalakan musik dengan volume pelan menemani perjalanan mereka. Sesekali dia mengalihkan pandangannya dari jalanan untuk melihat ke arah Albin sekilas. "Albin, ceritakan tentang kamu," pinta Jovan santai memecah kesunyian dan kecanggungan di antara mereka.
"A-pa? Udah tahu semua, kan? Rumahku, tempat kerjaku. Nomor teleponku. Apalagi? Nggak ada yang menarik. Semua biasa aja," seloroh Albin santai.
"Oke." Jovan mengangguk pelan. Dia paham mungkin Albin belum nyaman bercerita banyak tentangnya pada seseorang yang baru dikenal.
"Kalau kamu? Ceritakan tentang kamu," tuntut Albin.
"Aku bekerja di perusahaan yang cukup besar. Aku tinggal sendiri. Nggak punya saudara alias anak tunggal." Jovan tersenyum manis.
Albin memperhatikan Jovan, bahkan di setiap inci wajahnya. Dia terlihat semakin memukau saat tersenyum manis. Ketika Jovan sedang menjahili dirinya dengan raut wajah tanpa dosa dan sangat menyebalkan, pun sama sekali tidak mengurangi ketampanannya.
Gadis itu meneliti setiap lekuk Jovan. Dia terlihat luar biasa dengan kemeja ungu pucat berlapis rompi jas berwarna abu-abu gelap. Melekat pas dan sangat bagus di tubuhnya. Jovan masih mengenakan pakaian kerja.
"Kamu kerja di mana? Pasti gajinya banyak banget bisa beli mobil sekeren ini." Albin mengangkat kedua bahu.
"Ini fasilitas kantor. Sebulan lagi diambil, bahkan mungkin aku dipecat dari tempat kerja."
"Loh? Kok bisa? Dipecat?" Albin terkejut.
"Iya. Kalau nggak dipecat, kerja tanpa digaji. Siapa yang mau? Albin, kalau aku dipecat boleh aku kerja di Havana?"
"A-pa? Di Havana?" Albin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Jovan tertawa melihat Albin kebingungan.
"Kenapa kamu bakalan dipecat bulan depan?" Albin segera mengalihkan pembicaraan yang membuatnya tidak nyaman.
"Bos minta aku melakukan sesuatu yang berat banget. Kalau nggak bisa, dipecat. Gitulah. Namanya kerja sama orang." Jovan mengangkat kedua bahunya.
"Jahat banget bos kamu. Kok gitu?" Albin sangat tidak suka mendengarnya.
"Iya. Jahat banget Pak Adi. Gitu banget sama aku." Jovan mengangguk dengan muka kesal.
"Nggak papalah. Kamu bisa cari kerja di tempat lain. Kamu udah coba selesaikan apa yang dia minta? Dia suruh apa, sih?" Albin penasaran.
"Udah kucoba. Aku dikasih waktu tiga bulan. Ini udah mau dua bulan. Belum ada bayangan tugas itu bisa diselesaikan."
"Tugasnya apa, sih?"
"Cariin istri buat anaknya!" Jovan menggelengkan kepalanya.
"A-pa?!" Albin terperanjat.
"Iya. Ngeselin, kan?"
"Itu mah gampang. Cewek kan banyak banget. Nggak mungkin cewek-cewek nggak suka. Pasti ada aja yang mau. Sultan gitu. Tinggal tunjuk cewek, mah."
"Masalahnya, dia nggak mudah suka sama cewek. Susah pokok-ya. Eh, tapi ... kalau sama kamu mungkin dia mau. Kamu mau aku kenalkan? Jadi istri dia mau?"