"Selipin?" Jovan mengambil dompet lalu mengambil uang, "Coba tunjukin gue harus selipin di mana?" Jovan memandangi dada Albin sangat lekat saat mengatakannya.
"Ehem." Albin memundurkan langkah sambil menyilangkan tangan menutupi bagian dada. Ia merasa sangat tidak nyaman saat Jovan memandangi gunung kembar miliknya.
"Ayo, mau ditaruh mana?" Jovan menekan lebih kuat saat melihat perubahan sikap Albin, "Di sini?" tanya Jovan sambil mengarahkan uang itu ke dada Albin, "Atau ... di sini?" tambahnya menurunkan uang itu tepat sejengkal di bawah pusar Albin tanpa menyentuhkan uang itu ke pakaiannya sama sekali.
"Eh, pelecehan!" seru Albin, dia mengambil uang itu dari tangan Jovan sedikit kasar lalu memasukkan uang ke saku blazer yang ia kenakan dan Jovan tertawa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Pelecehan ..." Jovan berdecak kesal, "Gue yang dilecehkan! Enak aja bilang gue penipu!"
"Eh, Cumi! Gue mau survei cewek seluruh dunia, ya. Di Facebook gue mau bikin status polling, kira-kira orang bakalan bilang lo nipu nggak? Ngakunya simpankan uang, kok besoknya nggak balik-balik?"
"Sana bikin polling! Nggak penting banget! Gue sibuk, nggak cuma ngurusin lo!"
"Kesian banget gue, ya? Tiap hari gue sibuk nungguin lo, padahal lo sibuk ngelupain gue!"
"Nggak gitu juga sebenarnya. Gue mesti cek pegawai gue, nih. Jangan-jangan gue punya pegawai kayak lo gini. Waduh! Bisa turun omset penjualan. Gue yakin kelab ini juga bisa turun omsetnya kalau punya pegawai macam lo. Nggak bisa dibiarin." Jovan menyalakan pemantik tinggi-tinggi dan Albin menarik lengan laki-laki itu.
"Jangan, Mas. Saya masih mau terima gaji," ucap Albin sambil tersenyum geram.
Jovan pun ikut tersenyum, "Nggak usah pakai Mas."
"Iya, Mas, Cumi, kampret, kang tipu ... Huft!" Albin menarik napas, "Jo."
"Lo sengaja ngata-ngatain gue barusan, kan?"
"Nggak kok. Saya Cuma gugup, Mas, eh ... lo," Albin menarik napas panjang, "Jo, room ini ada paket minumannya, kok belum diambil?" tanya Albin sambil tersenyum manis sekali.
Jovan tersenyum lebar, dia tahu Albin masih kesal. Sorot matanya terlihat seperti itu, meski bibirnya tersenyum manis.
"Good actress," ucap Jovan di dalam hati, karena Albin sengaja melakukan hal itu. Tersenyum manis dengan sorot mata kesal.
Jovan merasa senang sudah membuatnya kesal.
"Saat marah pun kamu manis," ucap Jovan masih di dalam hati sambil tersenyum sambil menyentuh ujung rambut Albin yang ikal dan berwarna putih, "Maaf ya, Al. Aku lupa. Aku cuma mau simpankan uang itu. Aku takut hilang. Sayangnya pas besoknya aku lupa. Aku sibuk banget. Maaf, ya. Aku nggak mau nipu, kok. Kalau aku mau nipu aku nggak akan balik ke sini. Aku ke sini memang mau balikin uang kamu." Jovan menatap lekat mata Albin.
Albin pun tersenyum manis dan mengangguk pelan ketika mendengarnya.
"Kamu cantik, Albin," batin Jovan seraya tersenyum lebar sambil menatap dalam wajah gadis itu
"Kamu nggak ambil minumannya? Kenapa pesan minum lagi?" tanya Albin sambil memalingkan wajah. Dia melihat segelas minuman di meja itu masih utuh dan satu gelas lagi sudah kosong. Albin merasa gugup saat dipandangi Jovan terlalu lekat.
"Nanti aku ambil, sebentar lagi teman-temanku datang."
"Mau ditemenin?" Albin menawarkan.
"Nggak usah cowok-cowok semua. Nanti kamu dikerjain sama mereka."
"Kayak kamu ngerjain aku?" Albin membalikkan tubuhnya dan bersandar ke pagar room itu. Dia menyapukan pandangannya ke seisi Havana.
Jovan menyandarkan pinggul ke pagar room, sehingga mereka saling berhadapan, "Gaklah. Aku nggak ngerjain kamu kok. Aku emang seneng ditemenin kamu."
"Bisa aja kamu." Albin tersipu dan tersenyum lebar. Dia sangat senang mendengarnya.
"Bentar, ya," ucap Jovan mengambil ponsel dan terlihat fokus melihat ke layar.
Albin memperhatikan Jovan lekat-lekat. Wajahnya terkena cahaya ponsel di genggamannya. Sesekali dia tersenyum.
"Genteng banget, sih ..." Albin mengagumi Jovan dalam hati sambil tersenyum.
"Temen-temenku udah datang." Jovan memandangi Albin, "Nomor kamu berapa?"
"Sini." Albin menadahkan tangan. Jovan memberikan ponselnya.
Albin memasukan nomor ponselnya, lalu menyerahkan kembali ke Jovan. Tidak lama kemudian datang tiga orang lelaki diantarkan waiter.
Albin menyalami mereka satu per satu sambil tersenyum manis, tapi salah seorang dari mereka menarik perhatiannya, dia lelaki berambut panjang diikat dengan style Man Bun. Lelaki itu memperhatikan Albin sangat dalam.
"Kei," ucapnya sambil tersenyum manis.
"Albin," kata Albin sambil mengangguk. Albin memesan minuman untuk mereka. Dia minum satu sloki kecil kemudian pergi. Jovan memintanya begitu.
Albin berkeliling menyapa pelanggan lain. Seperti biasa, sesekali dia tersenyum manis, tertawa dan bercanda. Namun, matanya sering kali memandangi di tempat di mana Jovan berada. Albin menggeleng kuat sambil tersenyum. Dia menolak musim semi yang tiba-tiba hadir di hatinya.