Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana Club. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.
Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati. Dia tetap di tempatnya. Menyimak lebih saksama siapa tahu namanya pun ikut disebut. Namun, hingga mereka saling mengucapkan salam perpisahan namanya tidak pernah keluar dari bibir para wanita itu.
"Aduh, mana kunci motor gue?" Jovan melihat Albin panik membuka setiap katong di dalam tasnya.
"Cari dulu, Al! Lo kebiasaan deh. Panik duluan." Gina menggeleng.
"Duh ada di mana, ya?" Albin cemas dan berjongkok, mengeluarkan semua isi tasnya di lantai. Ia memperhatikan semua barangnya yang berserakan.
"Kok nggak ada, ya?" Albin semakin gusar.
"Coba cari dalam saku. Ada nggak?" Rosi mendekati Albin. Dia ikut berjongkok memeriksa tas dan barang-barang temannya itu.
"Gue capek liat lo gini terus. Lo nggak capek? Tiap hari ribut mulu cari kunci motor." Gina memutar bola matanya.
"Berisik! Lo diam dulu. Gue lagi pusing." Albin menggaruk rambut dengan gerakan kasar. Dia merogoh semua sakunya. Dari saku blazer, saku rok hingga saku kemeja.
Albin tiba-tiba menyingkap roknya.
"Lo mau apa, Al?" Gina heran melihat Albin.
"Mau kencing!"
"A-apa?!" Rosi dan Gina terpekik dengan mata terbelalak. Albin belum masuk kategori mabuk meski dalam pengaruh alkohol.
"Cari kuncilah! Apa lagi?!" Albin gusar.
"Tuhan!" seru Gina dan Rosi bersamaan, "Lo nyimpen kunci di celana dalam?" tanya mereka keheranan.
Albin tidak menjawab. Dia menyingkap rok lebih tinggi lalu merogoh kantong celana hot pants yang dikenakannya lalu menjulurkan kantongnya keluar.
"Nggak ada juga. Gue pulang gimana?" keluh Albin nelangsa dan Jovan melangkah mendekat.
"Albin," panggilnya.
Albin dan teman-temannya memalingkan wajah. Mencari asal suara.
"Hah?!" Albin tiba-tiba terkejut. Dia segera menurunkan roknya, "Ngapain lo di situ? Mau ngintip gue?" berangnya dengan wajah merah karena malu.
"Albin!" Gina memandangi wajah Albin dengan mata yang membulat. Dia heran kenapa temannya bersikap tidak wajar. Biasanya Albin selalu bersikap manis.
"Apa?! Ngintip?! Amit-amit. Kurang kerjaan banget gue. Lagian kalau gue mau ngintip yang pasti bukan lo orangnya. Kayak nggak ada cewek lain aja di dunia ini!" Jovan menggelengkan kepala sambil berdecak kesal.
"Ya abis lo ngapain diem ngumpet di situ?" Albin semakin berang.
"Mau balikin kunci!" Jovan memutar matanya malas.
"Kok bisa ada di elo, sih?"
"Ada di lantai room. Gue mau tanya, kunci ini punya lo bukan?!" Jovan mengacungkan kunci.
"Iya! Balikin!" Albin menadahkan tangan.
"Gue lihat lo nggak kayak gini sama orang lain." Jovan mengeluhkan sikap Albin.
"Orang lain nggak iseng kaya lo!"
"Lo masih marah masalah uang? Ini coba lihat. Lo itu ceroboh. Kalau gue kasih uang itu pasti gini judulnya. Kunci aja lo nyari tiap hari."
"Kalian silahkan ngobrol. Kami duluan, ya?" Gina dan Rosi merasa tidak nyaman berada di antara Jovan dan Albin. Mereka berdua merasa berada di tengah-tengah perang saudara antara Irak dan Iran.
"Eh, mau ke mana? Tungguin!" Albin merasa canggung.
"Mendingan kalian selesain dulu aja. Kami duluan." Rosi dan Gina sesegera mungkin pergi dari tempat itu. Mereka tertawa di jalanan, karena berhasil kabur dari situasi tidak nyaman. Mereka juga tidak mau menjadi sasaran amukan Albin yang secara tidak sengaja membongkar kecerobohannya.
"Balikin kuncinya." Albin memaksa.
"Santai dikit kenapa, sih? Ngomong baik-baik. Lo cewek teraneh yang pernah gue temui." Jovan kembali menggelengkan kepala.
"Terima kasih, Jo. Untung kamu temukan kuncinya." Albin tersenyum manis sambil mengerjapkan mata.
"Sama-sama. Eh, tapi, ini nggak gratis. Aku nggak terima kalau hanya ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih nggak mendatangkan keuntungan. Aku sudah berdiri di sini. Nungguin kamu. Digigit nyamuk lagi. Masa ucapan terima kasih doang?"
"Apa yang bisa aku lakukan sebagai ucapan terima kasih?" Albin mulai gemas.
"Traktir makan. Lapar nih!" Jovan tiba-tiba merangkul pundak Albin lalu memaksanya berjalan.