"Traktir makan. Lapar nih!" Jovan tiba-tiba merangkul pundak Albin lalu memaksanya berjalan.
Albin terkejut dan melepaskan rangkulan tangan Jovan, "Aku nggak ada uang buat traktir kamu makan."
"Loh, itu tadi uang. 500 dolar. Jangan pelitlah, Al."
"Astaga!" Albin mengurut dada, "Emangnya bisa bayar pakai dolar? Kamu aneh banget, ya? Kasih uang tip nggak ikhlas banget. Udah uang ditahan lama sampai sebulan. Malak pula!"
"Nanti aku bayarin dulu. Setelah kamu tukar uangnya, bayar balik, ya?" Jovan tersenyum konyol sambil mengangkat kedua alisnya.
"Gini banget nasib gue, ya?" Albin meratapi nasib di dalam hati.
"Iya, deh. Tapi makannya di pinggir jalan aja. Kita makan nasi kucing." Albin menelan ludah.
"Nggak mau ah. Aku tahu tempat makan yang enak." Jovan tersenyum manis.
"Di mana?"
"Ada deh. Tempat favorit aku." Jovan menarik pergelangan tangan Albin memaksanya berjalan, sedangkan gadis itu masih terdiam dan langkahnya pun tertahan.
"Tempat favorit?" Albin memperhatikan penampilan Jovan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jovan sangat tampan dan stylish. Sangat terlihat pakaian yang dikenakannya mahal. Tidak mungkin tempat favorit yang dimaksud Jovan itu warung kaki lima.
"Nggak usah dibalikin kuncinya. Aku pulang naik ojeg aja." Albin mengambil ponsel lalu membuka aplikasi ojek online.
"Kok gitu? Kenapa?" Jovan kecewa.
"Aku panggil tukang kunci aja besok. Ambil aja kuncinya buat kamu."
"Ya udah, panggil besok." Jovan kembali menarik tangan Albin. Memaksanya berjalan.
"Eh, ini mau ke mana?" Albin kebingungan.
"Makan! Aku lapar."
"Ya kamu makan sendiri sana." Albin mendesah gusar.
"Kamu bilang tadi mau traktir, kan?"
"Kamu itu malak."
"Bodo amat. Aku lapar. Pelit banget, sih?"
"Jo! Oke-oke. Motorku gimana?" Albin akhirnya menyerah. Sebenarnya dia lebih memilih memanggil tukang kunci pasti lebih murah daripada harus membayar makanan Jovan di tempat favoritnya.
"Nanti ambil besok. Katanya mau panggil tukang kunci." Jovan terus menarik pergelangan tangan Albin.
"Aku besok kerjanya gimana?" Gadis itu dengan terpaksa mengikutinya menuju parkiran mobil.
"Naik ojeg. Tadi kamu mau panggil ojeg, kan?" Jovan bicara dengan nada cuek.
Jovan memasuki mobil sementara Albin masih terpaku berdiri di sisi kiri mobil.
"Albin, Ayo naik. Kenapa malah bengong di situ?" Jovan membuka kaca mobil.
Albin terpana melihat mobil Mercedes-Benz yang dikendarai Jovan.
"Mati gue. Bukannya untung malah buntung ini." Albin menggerutu. Dia ketakutan membayangkan menu makanan yang dipesan Jovan.
"Naik!" Jovan bicara lebih keras.
"Eh iya, iya." Albin tergagap. Dia segera naik ke dalam mobil Jovan.
Jovan terus bicara selama dalam perjalanan, tapi sayangnya Albin sama sekali tidak menyimak apa yang dibicarakan lelaki itu. Di dalam benaknya berlarian jumlah tagihan yang harus dibayarkan.