"Seberapa penting seks buat lo?"
Aku sangat terkejut dengan pertanyaanya, kupikir aku salah dengar atau dia salah ucap? Mungkin maksudnya seberapa penting pekerjaan untukku. Begitu, kan?
"Buka, Tasya." Dia mendekatiku. Aku terdiam membeku, tak bergerak.
"Apanya yang dibuka, Pak?" Aku pun semakin gugup. Apa maunya kini? Aku tidak berani menduga-duga. Setelah menanyakan masalah seks dia tiba-tiba menyuruhku membuka yang entah apa.
Dia mendekat. Aku semakin gugup. Aroma sabun maskulin menguar lembut dari tubuhnya, aku yakin dia pun baru mandi sama sepertiku.
Aku masih terdiam. Dia berdiri tepat di depanku dan tidak ada jarak di antara kami. Aku menundukkan wajah, tidak berani menatapnya. Dadanya kini tepat di depan wajahku, aroma wangi tubuhnya semakin tercium dan semakin menggetarkan tubuhku.
Irama jantungku berubah rancu tidak beraturan. Jovan mengangkat lengan. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dia mau memelukku. Aku yakin itu. Pasti! Aku bisa merasa sentuhan di belakang kepalaku. Dadaku bertalu semakin cepat. Napasku terasa sesak. Aku hampir blackout, karena jantungku terlalu cepat memompa. Tubuhku lemas dan gemetar.
"Lo cantik," puji Pak Jovan tiba-tiba.
Aku terkejut dan penasaran. Apa yang terjadi? Kubuka mata pelan-pelan. Ternyata dia melepaskan penjepit rambutku, hingga rambutku yang basah dan panjang jatuh tergerai menutupi sebagian dadaku.
"A-apa, Pak? Hem ... maksud saya, terima kasih." Aku memandanginya dengan gugup. Dia tersenyum manis sekali.
"Tasya, lo belum jawab. Seberapa penting seks buat lo?"
Sial! Pertanyaan apa itu?! Tentu saja aku bingung mau menjawab apa, "Maksudnya, Pak?"
"Sorry, pertanyaan gue pasti bikin lo nggak nyaman, tapi kita sudah kenal lama, kan? Gue harap lo nggak salah paham."
"Gimana nggak salah paham coba? Ujug-ujug ditanya masalah seks. Di dalam kamar hotel, tengah malam, berduaan pula! Ini apa maksudnya?! Perempuan mana yang nggak salah paham kalau kayak begini?" Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku yang tiba-tiba menguap karena pertanyaan anehnya.
"Maaf, Pak. Saya kurang paham dengan maksud pertanyaan bapak tadi."
Pak Jovan berdecak kesal sambil membuang wajah. Terlihat dari raut wajahnya, jelas sekali dia tidak suka harus memperjelas maksud dari pertanyaan anehnya.
"Penting, Pak," jawabku segera saat melihat ketidaksukaan di wajahnya. Sepertinya nanti gajiku benar-benar dipotong kalau begini kejadiannya, "Gimana saya mau punya anak kalau nggak berhubungan seks?"
"Lo mau punya anak?"
"Ya maulah, Pak. Tapi nanti kalau udah nikah."
"Lo mau nikah?"
"Ya, maulah! Siapa yang nggak mau nikah?" Mungkin elo Bos yang nggak mau. Gerutuku di dalam hati.
"Sudah ada calon?"
"Udah, Pak." Kenapa, sih? Aneh banget nih, Bos. Apa kesambet di hutan waktu ke lokasi tadi, ya? Aku terus bertanya-tanya akan sikap anehnya.
"Siapa?" Dia mendelik kepadaku.
"Nanti kalau saya kawinan, Bapak datang, ya? Nanti bisa kenalan sama suami saya. Memangnya kenapa, Pak?"
"Nggak papa, tanya aja." Dia memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Bapak nggak mau menikah?"
"Mau."
"Udah ada calon?"
"Dia udah punya calon suami."
"Heh?! Siapa, Pak?"
"Elo, Tas!"
"A-apa Pak?!"
"Iya, Elo," ucapnya tanpa ragu.
Aku menelan ludah beberapa kali sambil mengerjapkan mata berulang kali. Aku terdiam membisu.
Ogah gue! Nggak mau! Amit-amit! Ntar yang ada disuruh kerja full dua puluh empat jam dan tujuh hari seminggu.
"Saya sudah punya calon suami, Pak," ucapku susah payah.
Pak Jovan pun tertawa gelak, sepertinya ketakutan di wajahku terlihat jelas. Dia tertawa hingga terpingkal-pingkal.
"Ya, udah balik ke kamar sana. Besok pagi-pagi kita balik, kan?" katanya sambil menatapku sangat dalam. Senyuman Rumit bin Aneh tersemat di bibirnya.
"Iya, Pak." Aku segera pergi dari kejadian horor itu. Tidak tahu apa maksud pertanyaannya, apakah dia bercanda atau serius? Saat bercanda sekali pun, dia bahkan sudah sangat menakutkan bagiku.
...
Jovan duduk di lounge hotel sambil menikmati alunan musik lembut. Dia menyesap wine perlahan. Rasa manisnya memberikan ketenangan tersendiri baginya. Ia ingin tidur nyenyak setelah ini. Jadi, sedikit wine Jovan pikir bisa mengantarkan tidurnya jadi lebih cepat.
Jovan berdiri dari kursi. Waktu sudah menunjukkan pukul 1:45 dini hari. Dia bermaksud kembali ke kamarnya. Saat dia melewati lobi hotel, ketika itu juga siluet tubuh seseorang menarik perhatiannya.
Seorang wanita berambut putih dan panjang terlihat sedang memasuki lorong menuju ke toilet wanita. Jovan mengejarnya.
"Albin!" Jovan memanggilnya dengan keras. Wanita itu tetap tidak menoleh.
Jovan berlari semakin kencang, dia menarik pergelangan tangan wanita itu,
"Albin!" panggilnya dengan napas terengah-engah.
Wanita itu memalingkan wajah.
"Maaf saya salah orang," ucap Jovan sambil tersenyum malu. Wanita itu mengangguk dan meninggalkannya. Jovan memandangi punggung wanita itu hingga menghilang dari balik pintu toilet.
Jovan mengambil ponselnya yang retak, dia mengirim pesan pada Tasya dan sekretarisnya untuk mengingatkannya menemui Albin besok malam jam 9.