Tasya menarik napas panjang, "Jam 10 rapat kinerja dengan dewan direksi. Jam 12 makan siang bersama dengan CEO Sinar Wijaya. Jam 2 main golf bersama para pemegang saham. Jam 9 malam bertemu Albin."
"Albin ..." Jovan menghentikan langkahnya secara tiba-tiba.
"Ya, Pak. Bapak yang minta diaturkan jadwal ketemu Albin hari ini."
"Ya aku yang minta. Pesankan meja VIP di Havana Club."
"Baik, Pak," ucap Tasya mengangguk paham. Mereka pun berjalan beriringan menuju ruangan kerja Jovan.
...
Jovan memperhatikan layar komputernya dengan saksama, keningnya berkerut dalam, terlihat jelas dia sedang berpikir keras. Sesekali dia menggelengkan kepala sambil berdecak kesal. Terdengar bunyi telepon memecah kesunyian ruangan Jovan dan dia mengangkatnya.
"Pak, sudah jam 8. Bapak ada pertemuan dengan Albin di Havana." Tasya mengingatkan dari ujung telepon.
Jovan melihat ke arloji di pergelangan tangan, waktu memang sudah menunjukkan jam 8 malam, "Oke, terima kasih, Tasya."
Tasya sedikit terkejut, sebab biasanya Jovan tidak pernah mengucapkan kata terima kasih sebelumnya hanya karena dia mengingatkan agenda acara harian yang harus dikerjakannya.
"Sama-sama, Pak. Kita pergi sekarang?"
"Lo nggak ikut. Pulang aja." Jovan berdiri dari kursi.
"Baik, Pak. Selamat malam." Tasya bersorak di dalam hati. Biasanya dia selalu ikut Jovan ke mana pun dia pergi. Tasya yakin, kali ini pasti bukan masalah pekerjaan.
...
Jovan ....
Aku menuju Havana diantarkan sopir. Saat memasuki area parkiran dadaku berdebar tak beraturan. Sudah lewat sebulan yang lalu aku bertemu dengannya. Aku lupa karena saking padatnya pekerjaan. Ah, entah apa yang dia pikirkan tentang aku.
Sesampainya di Havana aku meminta sopirku agar pulang naik taksi online, setelah memintanya memarkir mobil di basement. Kulangkahkan kaki menuju lift, terbayang dalam ingatanku mengejarnya malam itu. Aku terkekeh pelan, teringat bagaimana cara dia tersenyum.
Kumasuki pintu Havana setelah membayar tiket. Segera saja aku disambut musik yang keras dan menghentak. Seorang wanita mendekatiku, aku sudah bisa membaca namanya dari jauh, nama yang menyala dalam gelap. 'Dhea', dia seseorang yang belum kukenal. Baguslah.
"Selamat malam, saya Dhea." Wanita itu menyurungkan tangan sambil tersenyum manis.
"Selamat malam." Aku menyambut uluran tangannya.
"Sudah ada meja?" tanya Dhea.
"Sudah."
"Atas nama siapa?"
"Jovan."
"Baik. Silahkan tunggu, saya cek dulu," ucap Dhea sambil tersenyum. Dia melangkah keluar. Sepertinya dia menuju meja loket. Entahlah, aku cuma menebak-nebak. Pintunya tertutup saat dia keluar.
Tidak lama kemudian dia kembali dan berjalan ke arahku, "Mas tadi beli tiket?"
"Iya."
"Sini tiketnya, saya minta uangnya balik. Harusnya Mas nggak perlu beli tiket. Soalnya sudah pesan meja, kan?" Dhea pun pergi keluar, lalu datang lagi dan memberikan sejumlah uang kepadaku.
"Mari, Mas. Room 107." Dhea membuka tangan.
Kami melangkah ke sayap kiri kelab. Berjejer meja dan kursi yang hanya disekat separuhnya agar bisa melihat penampilan para pemain band di atas panggung.
Aku berjalan di belakang Dhea. Dadaku berdebar lebih cepat saat dari tempatku berjalan, aku melihat seorang gadis berambut putih. Dia benar-benar terlihat berbeda dan bersinar di antara teman-temannya. Kulit dan rambutnya sangat kontras dengan keremangan cahaya di dalam sini. Dia seperti setitik cahaya terang dalam kegelapan.
Sampai juga langkah kakiku mendekati mejanya. Dia sedang asyik tertawa dan tersenyum bersama dua orang lelaki. Aku menahan napas, sesaat jantungku berdebar lebih cepat. Sial! perasaan apa ini? Saat aku rapat dengan calon investor pun rasanya tidak seperti ini. Aku menatapnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan, Albin mengarahkan pandangannya padaku.
Aku menelan ludah gugup. Dia tersenyum lebar, cantik sekali. Aku tersenyum lebih lebar. Dia berdiri. Aku mempercepat langkah saat melihat dia berdiri menyambutku.
"Hei," serunya riang.