"Hei," serunya riang.
Dia merangkul. Sayangnya bukan aku, tapi Dhea.
Ugh! Ternyata dia menyapa temannya, bukan aku. Dia bahkan tak melihat ke arahku sedikit pun. Aku berjalan melewati mereka berdua yang saling merangkul dan saling berbisik.
"Aku cari sendiri," ucapku pada Dhea.
"Jangan."
"Nggak papa." Aku meninggalkannya menjauh.
Sekilas aku sempat memperhatikan tempat Albin duduk. Di depannya tak ada gelas. Sepertinya Albin tidak menemani mereka minum.
Room 107 tadi dia bilang, kan? Aku sedikit ragu. Sepertinya iya, 107. Aku segera masuk dan duduk. Aku memilih duduk di sofa yang bisa melihat langsung ke arah Albin duduk.
Aku melihat Albin dan Dhea duduk kembali di meja itu dan mereka asyik berbincang. Tidak lama seorang wanita masuk ke dalam room yang sudah kupesan. 'Gina', aku membaca namanya.
"Selamat malam, sudah pesan minum?" tanya Gina sambil tersenyum menyurungkan tangan.
"Belum. Aku lagi nunggu teman," sahutku sambil menjabat tangannya. Dia memandangiku lekat-lekat. Sepertinya dia berusaha mengenaliku dalam minimnya pencahayaan. Aku tersenyum tipis, apa dia mengingatku?
"Dengan siapa, Mas?" tanyanya padaku.
"Albin masuk hari ini?" Aku mengalihkan perhatiannya.
"Oh temennya Albin?"
"Hem ..." Aku mengangguk, "Dia masuk kerja hari ini?"
"Ya, dia masuk. Mau saya panggilkan?"
"Ya tolong."
"Mau pesan minum dulu sambil menunggu Albin?" Gina menawarkanku. Aku ingat mereka harus mengeluarkan minuman sebanyak-banyaknya, kan? Jadi wajar saja Gina berusaha untuk menawariku.
"Martini dua."
"Oke." Gina menyalakan pemantik tinggi-tinggi. Hanya dalam hitungan menit seorang waiter memasuki room. Gina mengatakan pesananku di samping telinga waiter itu.
"Saya panggilkan Albin," ucap Gina di telingaku.
"Oke," jawabku sambil mengangguk pelan.
Gina keluar dari room dan tepat di saat yang sama Albin berdiri dari mejanya. Dia berjalan dari satu meja ke meja lain menyapa pelanggan. Aku segera mengejar Gina lalu menarik tangannya dengan kuat.
"Gina, nggak usah."
"Ya? Nggak usah? Apa yang nggak usah?" Gina menatapku heran.
"Albin. Nggak usah panggil dia."
"Jadi Mas mau Viar lain?"
"Nggak, aku nunggu teman. Nanti gampanglah kalau mau panggil"
"Oh, oke-oke." Gina mengangguk paham. Aku mengangguk padanya sambil tersenyum.
Aku kembali ke dalam room dan memperhatikan Albin dari kejauhan. Dia cantik. Senyuman selalu mengembang dari bibirnya. Sesekali Albin tertawa gelak. Tidak lama kemudian dia menyalakan pemantik, seorang waiter mendekat. Dia pasti memintakan pesanan mereka. Albin pasti berkeliling menyapa semua pelanggan dan dia juga pasti nanti sampai ke mejaku jika tidak ada viar yang menemani.
Setelah waiter itu pergi dia kembali berbincang dengan mereka. Ah, aku iri melihat keceriaan yang dibawakan Albin untuk orang-orang itu. Kesemuanya bahkan tertawa gelak sambil memandanginya. Aku tahu apa arti pandangan itu. Ya, mereka juga menyukainya.
Tidak lama kemudian Albin menadahkan tangan. Seorang lelaki merogoh saku untuk mengambil dompet. Dia meletakkan sesuatu ke tangan Albin.
Aku tertawa pelan melihatnya, "Albin ... Albin, kamu memang suka uang ternyata."
Ya, siapa yang tidak suka uang? Aku juga suka. Aku tertawa bersamaan dengan Albin saat dia tersenyum senang melihat uang tersebut. Albin mengucapkan terima kasih dengan wajah berbinar. Aku bisa membaca bibirnya saat mengucapkan itu. Dia lalu memasukkan uang itu ke dalam saku.
Albin kembali melangkah, dia berjalan ke arahku. Setiap langkahnya membuat jantungku berdebar lebih kencang. Dia semakin dekat dan aku semakin gugup.
Kuambil minumanku, memaksa cairan itu masuk melewati tenggorokan. Aku berusaha meminumnya hingga habis dalam sekali teguk.
"Hai, selamat malam." Albin bicara suara yang nyaring.