"Tasya, seberapa penting seks buat lo?" tanyaku tiba-tiba.
"A-apa, Pak?" Tasya pun tergagap. Aku memperhatikannya semakin dalam. Wajahnya merona. Aku melangkah mendekatinya, aroma harum sabun dan shampo menguar lembut dari tubuh Tasya.
"Buka, Tasya!"
"Apa yang dibuka, Pak?"
...
Tasya ....
"Argh!" Aku mendesah puas saat air hangat mengaliri tubuhku yang terasa lengket dan lelah. Perjalanan meninjau lokasi ini sangat melelahkan, karena dari bandara ibu kota memerlukan waktu 13 jam.
Ya Tuhan, aku sangat lelah. Kami baru tiba di hotel sejam yang lalu. Setelah merebahkan diri beberapa saat di kasur baru aku mandi. Pinggangku, rasanya sakit sekali. Jalanan menuju lokasi hampir mirip track offroad. Setelah ini aku pun bisa tidur dengan nyenyak. Semoga saja bos gila kerja itu tidak meneleponku, tapi ... rasanya itu mustahil. Dia selalu punya alasan menghubungiku, bahkan saat lebaran sekalipun.
Dia memang keterlaluan! Sudah tengah malam pun sering kali aku dihubunginya. Kesal? Tentu saja, tapi mau bagaimana lagi.? Menjadi asisten pribadinya sama artinya menjual separuh jiwaku padanya dengan imbalan gaji per bulan yang kuterima. Doaku panjang sekali, meminta dia pingsan saja karena kelelahan.
Aku memijat kulit kepala. Ugh! Enak sekali. Mandi air hangat saja, rasanya sudah membahagiakan bagiku saking jarangnya aku menerima kesenangan semenjak aku melangkahkan kaki ke gedung kantor PT. Adi Jaya Sakti Group dua belas tahun yang lalu.
Tanteku bekerja sebagai asisten bos besar, ayahnya Jovan. Dia mengatakan Pak Adi mencari dua orang asisten baru. Saat itu aku baru lulus kuliah. Ada juga teman kerjaku masuk di hari yang sama dan dia juga asisten Pak Adi, namanya Ririn. Tanteku membimbing kami berdua. Dia berpesan padaku agar aku selalu menggunakan pakaian tertutup, sementara Ririn, dia berpakaian sesuai keinginannya, dia cantik dan seksi. Sembilan bulan setelah kami bekerja, Pak Adi menikahinya.
Awalnya aku bingung. Kenapa? Kenapa aku tidak boleh berpakaian seperti yang kumau? Kenapa aku harus seperti emak-emak yang tidak mengerti fashion, padahal aku masih muda dan selera berpakaianku bagus. Lama-kelamaan, aku mengerti. Tanteku menyayangiku, hingga saat aku bekerja bersama Pak Adi, banyak hal yang kulihat dan kudengar. Namun, apa pun itu, apabila tidak menyangkut pekerjaan, kami harus bersikap seolah-olah bagai dinding tembok. Tidak mendengar dan tidak melihat.
Lalu bagaimana ketika aku bekerja bersama anaknya si Jovan? Ya, itu terasa sedikit lebih baik. Setidaknya dia tidak bersikap sadis pada wanita, karena dia tidak pernah terlihat bersama wanita mana pun, bisa dikatakan dia terlalu cuek. Sesekali saat melihat wajah tampannya, rasanya sedikit menguraikan ketegangan.
Aku masih ingin berlama-lama di bawah pancuran air, tapi samar-samar aku mendengar ponselku berdering. Nada dering itu sangat spesial, hanya untuknya nada dering dengan bunyi seperti itu. Aku segera keluar kamar mandi melilitkan handuk sekedarnya di dada lalu mengambil ponsel.
"Hm, tuh bener, kan? Ada aja alasannya meneleponku, tapi aku bisa apa? Aku hanya mampu berdecak kesal.
"Halo, Pak."
"...."
"Iya, Pak saya ke sana."
Aku mengenakan pakaian seadanya di atas kasur yang sudah kusiapkan tadi sebelum mandi. Kurapikan rambutku yang basah sekedarnya dengan penjepit rambut. Semua harus dilakukan dengan cepat. Setengah berlari kususuri koridor hotel menuju kamar Pak Jovan di ujung sana.
Ketika aku masuk, dia menyodorkan ponselnya yang retak padaku. Dia bilang karena terjatuh. Aku tahu sebenarnya dia pasti mau mendapatkan ponsel baru saat ini juga, tapi dia pasti juga tahu, tidak mungkin membeli ponsel di jam begini. Aku berniat melangkah ke luar kamar saat dia berkata tidak memerlukan hal lain.
"Tasya ..." Dia memanggil dan langkahku terhenti. Aku membalikkan tubuh dan melihat ke arahnya. Dia memandangiku sangat dalam. Kurasa baru kali ini dia melihatku sebagai manusia.
"Seberapa penting seks buat lo?"