"Astaga, Papa ..."
"Ini sudah hampir enam minggu, Jovan."
"Pa, kenapa aku cari istri dikejar deadline seperti ini?"
"Biar kamu berusaha lebih keras!"
"Haruskah aku juga kerja lembur mencari istri?" Dada Jovan terasa sesak, "Aku lembur terus, kerja terus, kapan mau cari istri, Pa?"
"Papa yang carikan."
"Pa, aku capek. Boleh aku istirahat?"
"Enam minggu lagi, Jovan."
"Astaga, Papa! Nggak anak, nggak karyawan Papa tekan."
"Kadang orang lebih kreatif saat di bawah tekanan."
"Papa, cari istri itu bukan dengan kreatifitas."
"Kamu nggak niat, sih. Coba kalau niat? Pasti bisa."
"Ya ampun!" Jovan ingin menangis rasanya.
"Ya, udah. Kamu istirahat dulu. Ingat! Enam minggu lagi, Jovan!"
"Iya, Pa. Iya! Nggak usah diingetin terus. Itu namanya Papa bukan nyuruh istirahat, tapi nyuruh cepat mati. Ampun deh."
"Ya udah." Adi memutuskan panggilannya.
"Iiiiihhhh," Jovan menggenggam ponselnya kuat-kuat dengan perasaan gemas dan kesal.
Brak!
Jovan melemparkan ponsel ke dinding sekuat tenaga saking kesalnya.Setelah beberapa saat, dia mengambil ponsel itu. Seluruh layarnya retak. Jovan pun mendesah kasar. Untung saja ponselnya masih berfungsi dengan baik. Ingin rasanya dia kembali melemparkannya puluhan kali, tapi dia ingat satu hal. Dia butuh ponsel itu, setidaknya sebelum dirinya membeli yang baru.
Jovan menekan menu kontak di ponselnya, lalu membuat panggilan.
"Tasya, lo ke kamar gue bentar." Dia bicara pada asistennya.
"Oke," ucap seorang wanita di ujung sana.
Jovan menunggu beberapa menit, tidak lama setelahnya dia mendengar denting bel pintu ditekan. Ia membuka pintu, lalu mempersilahkan Tasya masuk.
"Ada apa, Pak?" tanya Tasya.
"Ponsel gue rusak." Jovan menyodorkan ponselnya.
"Kenapa ini, Pak?"
"Jatuh. Besok beliin gue ponsel baru. Salinkan semua datanya."
"Tipe yang sama, Pak?"
"Iya."
"Siap, Pak. Ada lagi?"
"Nggak ada."
"Saya balik ke kamar, Pak," ucap Tasya. Jovan mengangguk pelan.
"Tasya," panggil Jovan pelan.
"Ya, Pak." Tasya menghentikan langkah. Dia membalikkan tubuh lalu memandangi Jovan sambil menanti apa yang akan dikatakan bosnya.
"Tasya, umur lo berapa?" tanya Jovan sambil memperhatikan Tasya lekat-lekat. Dia mengernyitkan kening, merasa ada yang lain dari asistennya.
"Saya sensitif kalau ditanya umur. Emangnya kenapa, Pak?" Tasya tersenyum konyol.
"Sensitif mana sama kalau kita ngomongin soal gaji lo dipotong karena lo jawab pertanyaan gue berbelit-belit?"
"Tiga puluh tiga, Pak." jawab Tasya cepat, "Kenapa, Pak?" Bos rese!" Tasya menjerit dalam hati.
"Seberapa pentingnya seks buat lo?"
"A-apa, Pak?" Tasya sangat terkejut. Hampir dia tersedak air liurnya sendiri.