Jovan memperhatikan presentasi dari direktur keuangan perusahaan. Mereka semua menatap ke LED screen besar di ruang meeting. Perusahaan kayu lapisnya kian mulai terancam karena kayu semakin sulit untuk didapat. Mereka bahkan memiliki rencana mengurangi pegawai demi menyesuaikan keuangan perusahaan yang semakin sulit.
Adi Jaya Sakti yang merupakan ayah Jovan dan beberapa investor mendengarkan rapat dengan saksama. Tidak lama kemudian, Jovan juga memberikan presentasi untuk mengambil proyek pembukaan lahan yang akan dilakukan perusahan sawit. Mereka bisa memberikan separuh harga untuk membuka lahan tersebut, tapi semua kayu yang ditebang menjadi milik PT. Adi Jaya Sakti. Para pemegang saham setuju dengan solusi itu. Rapat berlangsung lancar meski terjadi perdebatan ringan.
Jovan merapikan beberapa dokumen dibantu sekretarisnya. Hari yang sibuk dan melelahkan baginya. Ia hampir tidak tidur, kecuali beberapa jam saja. Dia baru sampai ke rumah jam 4:15 pagi setelah mengantarkan Albin pulang ke rumah.
Hari berlalu dan pekan berganti, Jovan pun menjadi sangat sibuk mengatur proyek baru yang perusahaannya kerjakan. Ia memastikan semua berjalan baik. Pegawai sudah dikirim ke lokasi, demikian pula dengan alat berat. Kesemuanya itu menyita waktu dan pikirannya. Dia selalu pulang di atas jam 9 malam, saat pulang pun dia masih bekerja di rumah.
Jovan sangat sibuk hingga dia lupa seorang gadis sudah menunggunya selama seminggu setiap malam. Sampai-sampai, gadis itu pun melupakannya dan tidak pernah lagi berharap akan kedatangannya.
Tiga pekan setelah pertemuan Albin dan Jovan ....
Jovan memperhatikan hamparan pepohonan lebat. Saat ini ia berada di tengah hutan belantara di luar pulau untuk meninjau langsung lahan yang akan mereka garap. Dia dan beberapa bawahannya termasuk personal asistennya harus berjalan kaki menuju camp terdekat karena medan tidak bisa lagi ditempuh mengendarai mobil. Meski begitu, ia senang semua berjalan baik. Rasa lelahnya belasan jam dalam perjalanan terbayarkan.
Jovan kembali ke hotel dengan kelas terbaik. Dia merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut kuat. Ia lelah dan juga bosan.
Ia mengambil ponsel dan melihat jam. Waktu pun sudah menunjukkan pukul 00.15. Jovan meletakkan kembali ponsel miliknya, berusaha untuk memejamkan kedua matanya. Rasa kantuk menyerangnya.
Drrtt ... Drrrtt!
Ponsel Jovan tak henti-hentinya bergetar. Meski malas, dia tetap berusaha membuka mata. 'Papa', nama itu tertera di layar ponselnya.
"Halo," jawab Jovan dengan malas dan suara parau.
"Gimana semua lancar?"
"Iya, Pa. Semuanya lancar. Kita harus pertimbangkan untuk beralih ke bisnis sawit, Pa."
"Iya, sepertinya juga begitu. Aku ingin mewariskan perkebunan sawit untuk cucuku nanti."
"Pa ..." Jovan mendesah gusar.
"Gimana, sudah ada? Kamu sudah menemukan calon menantuku?"