"Terima kasih, Pak Jovan. Kami merasa tersanjung Bapak meluangkan waktu untuk mampir ke tempat kami," ucap Irwan.
"Hm ... tuh, kan? Gaya bicaranya jadi berubah," batinku tersenyum.
"Tapi maaf, kami tetap tidak bisa mengizinkannya," ucapnya lagi. Membuat senyuman di bibirku langsung memudar.
Aku berdecak kesal dan merogoh dompet di saku belakang celana. Kumasukkan kembali kartu identitasku.
"Ini ..." ucapku sambil menyurungkan uang US$ 100 di atas meja, "Sebaiknya kamu simpan sebelum teman-teman Albin datang," tambahku dengan nada cuek.
Irwan menatapku lekat-lekat lalu memperhatikan Albin yang terlihat begitu nyaman menyandarkan kepalanya di dadaku.
"Terima kasih," ucapnya sambil mengambil uang itu lalu memasukkan ke dalam saku bajunya.
Kenapa aku berikan uang dollar bukan rupiah? Jujur saja aku tidak banyak pegang uang rupiah. Hanya tiga ratus hingga empat ratus ribu saja di dompetku, tapi aku selalu memiliki beberapa puluh lembar uang dollar. Saat aku harus membayar tagihan, aku tinggal menyerahkan kartu saja. Jadi aku tak terlalu membutuhkan uang cash, tapi ... dollar sepertinya bahkan lebih tak terpakai, kan?
Dalam lingkungan sosialku bersama teman-teman, kami menggunakan dollar, baik itu pinjam uang atau saat harus melakukan sesuatu yang diperlukan menggunakan uang cash. Contohnya saat harus memberikan uang pada Irwan. Kenapa? Semua itu karena dollar lebih sedikit lembarannya tapi jauh lebih besar nilainya, sehingga dompetku tidak kepenuhan dengan uang
Gina dan satu orang wanita mendekati kami, aku membaca tulisan di dadanya, "Rosi".
"Ada apa, Pak?" tanya Rosi.
"Albin, dia mau pulang sama pelanggan kita," ucap Irwan sambil memandangi kedua pegawai wanitanya.
"Tapi, dia terlalu mabuk," ucap Rosi dengan nada keberatan setelah melihat keadaan Albin.
"Iya, tapi Albin yang memaksanya," ucap Irwan lagi. Aku tersenyum miring melihat dia.
"Albin, pulang sama kita, yuk." Gina menarik lengan Albin, berusaha melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Albin menyentakkan tangan Gina. "Nggak mau," ucap Albin, dia justru semakin mengeratkan pelukannya. Gina, Rosi dan Irwan saling pandang beberapa saat.
"Biarkan dia," ucap Irwan dengan nada pasrah.
Tidak berselang lama, waiter datang mengembalikan kartuku dan menyerahkan nota pembayaran. Aku memasukkan kembali ke dalam dompet. Irwan, Gina dan Rosi masih memperhatikan kami.
"Albin, ayo pulang," ucapku di telinganya.
Lampu kelab malam semuanya dinyalakan, keadaan menjadi terang benderang, musik menghentak dimatikan, berganti dengan musik slow, itu artinya Havana Club sudah tutup.
Para pengunjung mulai berjalan ke arah pintu keluar, para waiter pun berbondong-bondong ke tengah ruangan, mereka membersihkan semua meja dan sebagian lainnya menyapu lantai.
"Albin," panggilku sambil menggoyangkan lengannya.
Albin menarik kepalanya dari dadaku. Dia membuka mata menatap lekat ke arahku dengan matanya yang sayu.
"Hum," ucapnya dengan gumaman yang terdengar parau.