"Oh begitu, jadi aku boleh membawanya pulang dan nggak kena charge."
"Maaf, Mas. Nggak boleh. Kami nggak bisa izinkan pegawai kami dibawa pulang."
"Nggak kok, aku cuma mau mengantarkan dia pulang. Masa nggak boleh?"
"Saat keadaan Albin mabuk parah seperti ini, kami tidak mengizinkan. Sudah peraturannya seperti itu, Mas. Semua demi menjaga keselamatan pegawai kami."
"Kata kamu tadi dia free. Berarti dia bebas dong mau pulang sama siapa aja?"
"Betul, tapi mengenai hal itu dia yang memutuskan, bukan dari pelanggan atau dari kami."
Aku menghela napas panjang saat mendengar dia bicara. Tak lama kemudian seorang waiter datang membawa nampan berisi tagihan yang terselip di sampul buku terbuat dari kulit berwarna hitam pekat.
Aku membaca rincian yang harus kubayar serta jumlah totalnya, ada tulisan 'PR, Albin' lalu ada tulisan 10% dan rincian sejumlah uang.
Aku paham sekarang. Jadi Albin mendapatkan 10% dari setiap harga minuman yang dibayarkan. Pantas saja dia minum dengan senang. Aku mengangguk pelan. Berarti misi Albin dan teman-temannya mengeluarkan minuman sebanyak-banyaknya. Apa aku terlihat seperti yang orang pelit dan juga perhitungan? Memperhatikan begitu rupa padahal banyak uang?
Aku harus melakukannya, karena tidak sedikit kelab malam yang nakal, sebenarnya itu oknum, tidak mungkin management club malam yang berbuat seperti itu, karena hal tersebut adalah kebodohan yang berlipat-lipat. Jika melakukannya, nama baik mereka dipertaruhkan. Jadi pasti oknumnya yang berbuat.
Mereka membuat tagihan lebih dari yang seharusnya saat melihat pelanggan terlalu mabuk untuk memeriksa tagihan. Jadi pastikan jangan sampai terlalu mabuk saat sendirian. Tidak sedikit teman dan kenalanku yang terkena kasus semacam itu. Aku menyerahkan kartu di atas nota tagihan untuk melakukan pembayaran.
"Albin, mau kuantar pulang?" tanyaku di telinganya.
Albin tak merespon. Jadi, aku bertanya berulang kali sambil mengguncang tubuhnya. Tak lama, Albin pun membuka mata, dia memandangiku lekat-lekat.
"Albin, mau kuantar pulang?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk dengan cepat sambil melingkarkan kedua tangannya di tubuhku. Albin memelukku semakin erat.
"Pak Irwan, Albin mau kuantarkan pulang. Kurasa tidak ada masalah sekarang." Aku kembali menghirup aroma harum dari rambut Albin.
"Maaf, Mas. Nggak bisa. Albin sepertinya terlalu mabuk. Dia tak bisa memutuskan dengan baik. Kami punya mobil operasional untuk mengantarkan pekerja kami pulang saat mereka terlalu mabuk seperti ini."
Irwan lalu menyalakan senter kecil berwarna merah dan mengarahkannya ke langit-langit mematikan dan menyalakannya berulang kali. sepertinya dia memanggil seseorang. Benar saja, beberapa saat kemudian waiter mendekat, dia mendekatkan wajah.
"Panggil Gina dan Rosi, suruh mereka bawa Albin ke ruang istirahat." Irwan bicara dengan nada nyaring sehingga aku bisa mendengarnya. Waiter itu mengangguk lalu pergi.
Aku menggelengkan kepala kesal.
"Ini kartu identitasku. Kamu bisa cek di internet siapa aku. Aku nggak akan macam-macam. Kamu bisa tanya Albin besok kalau dia kerja. Kalau terjadi sesuatu kamu bisa menuntutku."
Irwan mengambil kartu identitasku, dia mencariku di Internet dan terlihat fokus memperhatikan layar ponselnya. Dia lalu mengembalikan kartu identitasku.
"Terima kasih, Pak Jovan. Kami merasa tersanjung Bapak meluangkan waktu untuk mampir ke tempat kami," ucap Irwan.
"Hm ... tuh, kan? Gaya bicaranya jadi berubah," batinku tersenyum.