Jovan ....
Albin terlihat memperhatikanku sangat dalam.
"Ada yang aneh sama saya?" tanyaku. Aku tahu saat ini dia mengagumiku. Setidaknya dia terlihat begitu dan aku tersenyum sambil menyesap minumanku.
"Oh, nggak kok, Mas," ucapnya tersipu malu.
Aku melihatnya tersipu hingga membuatku tak bisa menahan senyuman. Dia ... manis. Albin kembali menanyakan namaku. Wajar saja jika dia lupa. Setiap hari dia bertemu banyak orang baru. Berbeda denganku yang bisa membaca namanya kapan saja. Apalagi dia punya nama yang unik, jadi gampang diingat.
Aku melihat ke sekeliling, teman-temannya duduk di meja lain dan minum bersama pelanggan mereka masing-masing. "Oke, berarti aku bisa mengajaknya minum bersamaku."
Aku menanyakan minuman kesukaannya. Kami minum dengan ceria, gelas kami berdenting beberapa kali.
"Albin, sudah berapa lama kamu kerja di sini?" tanyaku di telinganya.
"Sudah setahun," ucapnya merogoh saku lalu menyalakan rokok dan menyesapnya dalam-dalam. Aku menyentuh ujung rambutnya yang berwarna putih. Tentu saja dia tidak melihatnya. Aku yakin warna rambutnya asli saat aku melihat kulitnya seputih salju.
"Albin, kamu boleh dibawa pulang?" tanyaku padanya.
Aku memperhatikan matanya yang berwarna biru mengerjap beberapa kali saat mendengar pertanyaanku. "Gila dia cantik banget!"
Aku menikmati tiap inci wajahnya. Siapa pun yang melihat Albin pasti mengakui betapa cantiknya dia, tapi selain itu ada sesuatu yang menarik dari dalam dirinya.
"Aku bukan boneka," sahut Albin tertawa gelak, "Aku nggak boleh dibawa pulang," ucapnya dengan nada ceria.
Saat melihat Albin, sejenak aku bisa melupakan semua masalahku. Keceriaannya menular. Aku tahu dia sudah mulai mabuk. Itulah sebabnya dia jadi lebih sering tertawa gelak. Aku suka sekali melihatnya tertawa.
"Albin, mari main," aku kembali menyalakan pemantik memanggil waiter.
"Main apa?" tanya Albin sambil tersenyum. Aku kembali menyentuh rambutnya yang putih dan ikal. Dia unik dan lucu.
"Jankenpon."
"Apa itu?"
"Gunting, batu, kertas," ucapku. Seorang waiter datang, aku meminta minuman lagi satu botol beserta kentang goreng dan keripik kentang.
"Yang kalah minum, gimana?"
"Oke!" Albin mengangguk dengan cepat.
Permainan itu pun dimulai. Dia kalah beberapa kali, tapi Albin meminumnya dengan senang hati sambil tertawa. Setelah beberapa lama, dia meletakkan kepalanya di bahuku. Sepertinya dia mulai mabuk berat, tapi minuman kami masih tersisa. Aku tidak bisa menghabiskannya karena aku harus menyetir.
"Albin," panggilku sambil melepas tanganku dari lingkaran tangannya.
Albin mengangangkat wajah melihat ke arahku. Aku menuangkan minuman ke dalam gelas.
"Ayo minum sedikit lagi."
"Nggak bisa. Aku sudah nggak sanggup lagi," ucap Albin menggelengkan kepala.
"Albin, coba kamu lihat ini." Aku mengambil uang US$ 100 lalu meletakkan di atas bibir gelas, "Kalau kamu minum, kamu boleh ambil uang ini." Mata Albin terbuka lebar saat melihatnya dan aku tersenyum.
"Oke," sahut Albin cepat. Dia menarik napas panjang lalu mereguk isinya hingga habis.
Sayang uang US$ 100? Jika dihitung tentu saja uang itu lebih banyak nilainya daripada minuman sisa kami, tapi tidak masalah. Aku ingin membawa Albin pulang.
Aku melakukannya lagi dan lagi hingga USD $ 500 berada di dalam genggaman Albin. Saat gelas yang terakhir dia habiskan isinya, Albin tersedak. Beberapa detik setelahnya, dia hampir jatuh ke belakang. Beruntung aku menahannya, menariknya ke dalam pelukanku.