Albin ....
"Mau pesan minum lagi?" Aku bertanya pada sekumpulan lelaki di depanku.
"Udahlah cukup, Non. Ntar susah." seorang lelaki berseloroh padaku.
"Susah kenapa?" Kedua alisku berkerut. Mereka berempat sering kali datang ke Havana Club. Sepertinya mereka berempat anak orang kaya. Wajah mereka masih muda, tapi mereka tak pernah absen datang ke sini saat weekend, apalagi saat ada artis datang, mereka sering kali memesan meja VIP.
Susah, Al. Nanti habis duit nggak bisa kawinin kamu. Kamu mau mas kawin kamu bill doang?" Noval berseloroh padaku.
"Boleh, kok. Tapi, mempelainya wanitanya botol minuman. Mau?" ucapku.
"Ya, mana bisa. Kencing di botol aja aku nggak bisa apa lagi ngawinin botol, Al. Yang ada botolnya yang pecah." Noval tertawa lepas.
"Kasih liat dia, kasih liat." Alex mendorong tubuh Noval.
"Bener, Al? Mau liat?" Noval menatapku dengan tatapan mata yang sulit kuartikan.
"Apaan, sih? Ya enggaklah. Mataku masih suci, eh tapi ... boleh deh." Aku tersenyum licik.
"Beneran?" Novan menyapu bibirnya menggunakan lengan, "Jangan salahkan aku, kalau sampai khilaf, ya, Al?" Novan sangat bersemangat.
"Iya. Dia pasti suka banget, kok." Aku memalingkan wajah, menyembunyikan senyuman.
"Dia? Dia siapa?" Novan mulai curiga.
"Itu," tunjukku pada seorang pengunjung, mereka serentak melihat ke arahnya.
"Apa?! Banci itu? Gila lo, ya. Ogah gue. Amit-amit tujuh turunan. Astaga, kena cipok dia sekali auto kejang-kejang." Novan bergidik ngeri. Aku tertawa lepas saat mendengar celotehannya.
Bekerja di tempat ini sering kali memberikanku rasa bahagia. Di tempat ini aku tidak terlihat aneh. Aku justru terlihat modis dengan tampilanku. Aku juga tidak perlu merasakan sakit saat kulitku yang super sensitif terkena matahari. Mama dan bapakku tidak tahu aku bekerja di kelab malam.
"Maafkan Albin, Ma, Pa. Yang penting Albin sekarang nggak merepotkan Mama sama Bapak. Nggak jadi beban." Aku berkata di dalam hati.
Gina pun menyentuh lenganku dan aku memalingkan wajah ke arahnya.
"Al, ada yang nyariin lo," bisiknya di telingaku.
"Siapa?" tanyaku pada Gina.
"Nggak tahu." Gina mengangkat kedua pundaknya.
"Loh? Dia customer lo, kan?" Aku melihat ke arah meja yang dimaksud Gina.
"Udah, nggak papa. Dia maunya sama lo. Gue udah pesanin minum tadi." Gina tersenyum manis padaku.
"Eh, bentar, ya? Aku ke sana dulu," ucapku pada Noval dan teman-temannya.
Aku beranjak pergi menuju seseorang yang katanya sedang mencariku. Sementara Gina, dia memilih duduk di depan meja bartender.
"Hai, halo. Saya Albin," ucapku sambil tersenyum ramah, "Ya, Lord! Dia ganteng banget!" Aku berteriak di dalam hati. Tentu saja senyumanku menjadi semakin lebar.