"Hai, halo. Saya Albin," ucapku sambil tersenyum ramah, "Ya, Lord! Dia ganteng banget!" Aku berteriak di dalam hati. Tentu saja senyumanku menjadi semakin lebar.
"Hai, Jovan." Dia menyambut uluran tanganku. Eh, tunggu. Ini kenapa kok tanganku jadi dingin gini, ya?
"Mas, ada yang bisa saya bantu? Kata teman saya, Mas cari saya," tanyaku padanya yang hanya terdiam membisu, bahkan masih menggenggam erat tanganku. Dia memperhatikanku sangat dalam. Pipiku terasa panas. Argh aku malu sekaligus senang.
"Mas, saya nggak bertelinga runcing kok. Jadi tenang aja, ya? Saya bukan peri dari negeri dongeng, and I don't have any magic at all (Aku tak punya sihir sama sekali)," ucapku sambil tertawa. Dia tertawa mendengar perkataanku. Saat dia tertawa kedua matanya hilang.
"Duduk, Albin!" Jovan pun tersenyum lebar padaku dan aku mengangguk pelan sambil memperhatikannya dalam keremangan cahaya.
Dia memiliki kontur wajah yang tegas, seakan menyiratkan dia seorang pekerja keras. Rambut style terbaru, dengan potongan klimis di bagian bawahnya, mengesplor tengkuk dan lehernya dengan sempurna.
Hidung yang mancung dan lancip di ujungnya membuat ketampanannya semakin terlihat sempurna. Alisnya cukup tebal dan melengkung, dia juga memiliki bibir yang indah, terlihat hangat dan bersahabat saat dia tersenyum.
Pandanganku turun dari leher ke bagian dadanya. Kemeja biru pucat yang dia kenakan terlihat ketat dilapisi jas rompi slim fit berwarna abu-abu membentuk dada bidangnya dengan indah, celana dengan warna senada, sangat pas dan terlihat bagus di tubuhnya.
Aroma woody bercampur citrus menguar lembut dari tubuh Jovan, ikut menyapa indra penciumanku. Menggodaku untuk menghirup napas panjang lagi dan lagi, membuatku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Dadaku berdebar cepat tak beraturan.
"Ada yang aneh sama saya?" Dia mengangkat kedua alis saat mendapatiku memperhatikannya terlalu dalam sambil menyesap minuman yang tersedia di meja.
"Oh, nggak kok." Aku tersenyum malu, "Saya lupa. Siapa tadi namanya, Mas?" Aku bertanya ulang.
"Jovan," jawabnya pendek.
"Oke, Mas Jovan. Ada apa Mas manggil saya?" tanyaku sopan.
"Santai aja, nggak usah terlalu kaku. Nggak usah panggil Mas juga, Jovan aja."
"Oke, Mas Jo."
"Nggak usah pakai Mas," ucapnya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Oke, Jo. Ada yang bisa kubantu?"
"Albin, apa minuman terenak di sini?" Jovan memandangku dengan lekat, "Kamu sukanya apa?"
"Banyak. Bartender kami menciptakan banyak menu cocktail terbaru." Aku bicara sambil tersenyum manis lalu menarik napas panjang. Siap-siap menyebutkan rentetan menu minuman yang tersedia
"Apa yang kamu suka?" Aku yakin kamu sudah mencoba banyak minuman, kan? Tolong pesankan untukku juga," ucapnya membuatku terkejut.
"Well, aku suka minuman triple sec," sahutku.
"Kamu suka yang manis dan ada rasa rasa jeruknya, ya?" tanya Jovan.
"Ya." Aku mengangguk.
Jovan menaikkan tangannya tinggi-tinggi dan menyalakan pemantik. Beberapa saat kemudian seorang waiter datang. Aku memesan minuman. Jovan juga memesan minumannya, tapi dia lebih memilih whiskey.
Tak lama kemudian minuman kami datang, aku meminumnya perlahan sambil berbincang bersamanya. Saat habis, dia kembali memesannya lagi dan lagi. Aku lupa sudah berapa banyak yang kuminum. Tiap gelas minuman yang dibeli oleh Jovan adalah penghasilan tambahan untukku, sepuluh persen dari harga minuman adalah milikku, jadi ... kenapa tidak?
Jovan terus menawariku minum meski aku berkata sudah tak sanggup lagi. Dia hanya tersenyum sambil menuangkan minuman ke dalam gelas, hingga berbuat sesuatu yang menarik minatku.