Albin ....
Tertegun aku memperhatikan wajah di cermin. Aku harus tiba di tempat kerja dalam waktu satu jam lagi. Dengan gerakan cepat kusempurnakan tampilan riasan.
Alisku yang berwarna putih kuberi warna cokelat, bulu mataku yang juga putih kuberi maskara cokelat gelap. Tidak lupa sedikit sapuan perona pipi berwarna pink peach, tak ketinggalan lipstik berwarna senada. Aku puas dengan tampilan akhirku.
"Aku cantik," ucapku pelan sambil tersenyum meyakinkan diri sendiri.
Kubuka lilitan handuk di rambutku yang basah. Rambutku yang putih tergerai indah. Aku tersenyum melihatnya, aku bangga dengan warna rambutku. Berapa banyak artis yang mewarnai rambutnya agar terlihat sepertiku? Berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan? Besarnya sama seperti gajiku pokokku selama dua bulan. Sedangkan aku? Ini warna asli rambutku.
"Ini anugerah." Aku mensyukuri semua yang ada pada diriku.
Kata Mama, aku ini adalah anugerah dari Tuhan. Mama bersyukur memiliki aku dan aku juga bersyukur memiliki mereka. Semua yang ada di tubuhku adalah anugerah, meski aku berbeda. Meski sering kali dikucilkan.
"Aku berbeda, karena memang aku istimewa," ucapku pada diriku sendiri sambil menyisir rambut ikalku yang sudah sebatas pinggang. Aku harus mencintai dan menghargai diriku sendiri.
Kutatap irisku dengan selaput pelangi indah berwarna biru. Aku mengerjapkan mata berkali-kali.
"Aku indah, aku cantik sekali." Aku tersenyum puas.
Berapa banyak orang yang ingin memiliki iris berwarna biru sepertiku? Mereka melakukan operasi atau memakai softlens, beruntungnya aku memiliki semua ini apa adanya.
Aku sombong? Tidak! Aku mensyukuri apa yang ada pada diriku. Ini tidak mudah. Aku melewati masa sulit sepanjang hidup. Tidak punya teman karena aku diejek sebagai hantu. Alis putih, bulu mata putih, mata biru, kulit putih pucat seputih kapas. Beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidup karena aku menolak keadaanku berbeda dengan orang lain. Untunglah, Tuhan sayang padaku, hingga percobaan bunuh diri itu selalu gagal. Saat aku sekolah SMP aku tahu, aku mengalami kelainan genetik. Aku Albino, aku penderita Albines.
Saat aku tahu, aku tidak mau namaku Albin, karena itu semakin mengingatkan kelainan yang kumiliki, tetapi belakangan aku tahu, Albin artinya putih. Orang tuaku memberikan nama Albin pasti karena mereka menyukaiku yang berwarna putih. mamaku bilang begitu.
Semua orang tua pasti mencintai anaknya, tapi kenapa aku dibuang? Air mataku selalu menggenang saat mengingat hal ini. Mamaku cerita, dulu masih banyak orang yang menganggap penderita Albines itu setan dan harus dibunuh, jadi dia bilang, kemungkinan orang tua kandungku berusaha menyelamatkanku sehingga aku 'diselundupkan'. Apa yang dikatakan mamaku membuat perasaanku menghangat. Aku sangat sayang mama dan bapak, semoga aku bisa membalas jasa mereka.
Aku bergegas memakai pakaian kerja, pakaian yang terlihat sama seperti para wanita yang bekerja di perkantoran, kami diwajibkan seperti itu. Kukenakan stocking hitam dan sepasang hi-heels sambil setengah berlari. Tempat kerjaku itu sangat kejam. Terlambat dua menit saja, gajiku bisa dipotong 30%. Sungguh menyeramkan, kan?
***
Jovan ....
Aku menyetir mobil sambil sedikit melamun, pikiranku melambung jauh. Dua minggu sudah berlalu sejak papa memerintahkan wajib menikah, terdengar seperti wajib militer di telingaku.
Layar yang terdapat di dashboard mobil menunjukkan waktu pukul 21:30. Aku mendesah kasar. Aku baru saja pulang dari kantor, jika CEO dalam novel banyak waktu luang, tidak denganku. Aku harus terus bekerja, kadang berada di kantor hingga jam 1 atau jam 2 malam.
Sambil menghela napas panjang kulonggarkan dasi yang terasa menjerat leher. Bukan! Bukan dasi sebenarnya yang membuatku kesulitan bernapas. Aku terus terpikirkan kata-kata papa, "Bawakan seorang gadis."
Papa keterlaluan, bagaimana bisa aku mencari seseorang untuk dijadikan istri dalam waktu tiga bulan? Sekarang saja sudah dua minggu berlalu. Hasilnya? Masih nihil!
Papa membuatku hampir gila rasanya. Setiap kali aku melihat perempuan, aku terus saja memperhatikan mereka seperti kucing memperhatikan mangsa. Aku tidak melepaskan pandangan dari mereka.
Reaksi yang mereka tunjukan?
Kebanyakan dari mereka salah tingkah. Mungkin mereka berpikir aku berpikiran mesum. Entahlah sepertinya begitu, para pekerja wanita di kantorku menurunkan rok saat kupandangi seperti itu. Sial! Itu melukai harga diriku! Tapi, aku tidak bisa apa-apa, hanya bisa memijat kepalaku yang tiba-tiba berdenyut kuat.
"Argh!" Kupukul setir mobil berkali-kali, menumpahkan kekesalan. Saat bekerja pun sangat sulit untuk konsentrasi.
Aku memikirkan papa. Bagaimana jika dalam tiga bulan tidak ada gadis yang bisa kubawa? Bagaimana jika ternyata papa pergi dengan rasa kecewa?
Lampu akrilik berwarna biru bertulisan 'Havana Club' menarik perhatianku. Tanpa sadar mobilku masuk ke sebuah area parkiran kelab malam. Setelah memarkir mobil kutarik tuas rem tangan. Tidak sengaja pandanganku terarah lurus ke depan. Aku melihat ada seorang wanita berambut putih ikal panjang sepinggang melambaikan tangan sambil tersenyum pada mobil yang perlahan pergi dari parkiran.
Aku terpaku, terdiam beberapa saat. Dia mirip wanita cantik versi anime. Kulit dan rambutnya yang putih terlihat kontras dengan kegelapan malam, meski tempatnya berdiri saat ini tidak gelap. Wanita itu masuk ke dalam, aku bergegas menutup pintu mobil dan berlari mengejarnya. Dia memasuki lift dan menghilang.
Aku berlari ke depan lift yang dimasukinya. Lampu di atas pintu lift menunjukkan angka empat. Aku pun menghela napas panjang lalu menekan tombol lift di sebelahnya. Beberapa saat menunggu, lift turun dan pintunya terbuka untukku. Aku menekan tombol angka empat pula
Saat aku tiba di sana, aku melihat tulisan akrilik 'Havana Club'. Aku masuk ke dalam setelah membayar tiket masuk. Kupikir dia pasti bekerja di sini, mengingat pakaiannya seperti seseorang yang bekerja di kantor. Saat memasuki memasuki kelab itu aku disuguhi pemandangan yang mengesankan. Interior dan furniture Havana sangat cantik dan bagus. Pemain band bermain di atas panggung. Lampu sorot berwarna warni tak henti-hentinya diarahkan pada mereka. Kuedarkan pandangan, coba mengenali seluruh tempat ini. Tak lama kemudian, seorang wanita mendekatiku, dia berpakaian seperti wanita yang kulihat di bawah tadi, tapi jelas wanita ini bukan dia.
"Selamat malam, Mas." Wanita itu mengulurkan tangan.
"Malam." Aku pun menyambut tangannya sambil tersenyum. Wanita ini terlihat manis, aku membaca name tag di dadanya menyala di dalam gelap. 'Gina' keningku pun berkerut. Bagaimana bisa menyala dalam gelap? Terlihat bagus dan menarik.
"Sudah ada meja?" Gina bertanya padaku.
"Belum," sahutku cepat. Kami bicara dengan nada nyaring supaya tidak tenggelam dalam suara musik yang keras.
"Mari silahkan." Gina membuka tangan mengajakku berjalan menuju meja kosong.
Aku melewati sebuah meja. Napasku terasa berhenti. Wanita itu ada di sana ... Ya, dia! Si wanita berambut putih. Dia terlihat semakin bersinar dalam keremangan cahaya seperti ini.
Aku melihat nama di dadanya. 'Albin' itu yang terbaca olehku. Albin asyik mengobrol dengan beberapa lelaki di meja itu, dia bicara sambil tersenyum, kadang tertawa. Aku masing bingung, apa yang dikerjakan para wanita ini? Apa mereka menemani para lelaki yang datang ke sini?
"Mari, Mas. Silahkan duduk." Gina tersenyum. Aku menarik kursi lalu duduk di atasnya.
"Mas mau apa?" Gina tersenyum ramah, dia duduk di sisiku. Aku merasa sedikit tidak nyaman. Kursi kami berdempetan. Dia meraih papan menu yang terselip di atas meja.
"Aku mau dia," jawabku menunjuk Albin yang terlihat begitu akrab dengan para lelaki di meja itu.
"Albin?! Oh, Albin sedang melayani customer lain," jawab Gina sambil tersenyum hambar.
"Tidak masalah. Aku akan menunggunya," jawabku cepat.
"Hum. Oke, saya akan sampaikan. Mas mau pesan minum dulu sambil menunggu Albin?" tawar Gina masih dengan senyum yang manis.
"Boleh, whiskey double," ucapku cepat. Gina menyalakan pemantik, seorang waiter datang mendekat. Dia membisikkan sesuatu di telinganya, sepertinya pesananku. Si Waiter mengangguk lalu pergi.
"Saya beri tahu Albin, ya," ucap Gina di telingaku.
"Hum...um. Oke," ucapku sambil mengangguk.
Gina menjauh dan berjalan ke meja Albin kemudian berbisik padanya. Albin melihat ke arahku. Tidak lama kemudian dia bicara beberapa patah kata kepada empat pria di meja itu. Beberapa saat kemudian dia berjalan mendekatiku, sementara Gina kembali duduk di depan meja bartender.
"Hai, halo. Saya Albin." Albin tersenyum dan mengulurkan tangan. Irisnya yang biru terlihat indah saat terkena biasan lampu sorot.
"Hai, Jovan," ucapku menyambut tangannya. Aku pun memperhatikannya lekat-lekat. Mataku mengerjap beberapa kali, dia sangat cantik. Secantik peri dalam dongeng.
"Ada yang bisa saya bantu? Kata teman saya, Mas cari saya," Albin tersenyum manis sekali dan aku masih saja terdiam, memperhatikan dia inci demi inci. "Mas, saya nggak bertelinga runcing kok. Jadi tenang aja, ya? Saya bukan peri dari negeri dongeng, and I don't have any magic at all (Aku tak punya sihir sama sekali)." Albin tertawa renyah dan aku ikut terkekeh saat mendengarnya. Albin orang yang punya keceriaan sepertinya.
"Duduk, Albin." Aku tersenyum lebar padanya.