Jovan ....
"Kamu harus menikah!" Papa menatap mataku dengan tajam, sarat penekanan dan perintah.
"Aku belum mau nikah, Pa!" jawabku dengan gusar. Entah sudah berapa puluh kali Papa terus saja mengatakan hal ini. Aku sudah bosan mendengarnya.
"Kamu harus punya keturunan, Jovan. Perusahaan harus ada pewarisnya. Kamu mau tiba-tiba paman atau sepupu kamu yang mendapatkannya, hah?! Kamu mau?!" Papa terus bicara dengan sengit.
"Argh!" Aku mendesah gusar, "Ya nggak mungkinlah, Pa. Gimana bisa paman dan sepupu yang ambil. Mereka baik gitu. Gak mungkinlah," kilahku cepat.
"Jovan! Persaudaraan bisa hancur karena harta. Bukannya berprasangka buruk. Papa sudah tua, Jo. Nggak tahu besok masih hidup atau nggak. Kalau papa mati, kamu nggak punya saudara, nggak ada anak, nggak punya istri. Kamu ditabrak mobil, mati. Perusahaan jadi milik paman dan sepupu kamu!" Suara Papa terus meninggi. Gendang telingaku terasa hampir pecah.
"Biarin! Harta emang nggak dibawa mati." Aku memalingkan wajah saat mengatakannya. Aku bosan! Aku muak! Pembicaraan ini terus berulang. Papa terus memaksaku menikah.
Brak! Prang!
Tubuhku terlonjak dengan kuat. Nyawaku seakan keluar dan melayang dari tubuhku selama beberapa detik. Papa membanting meja makan kaca berbentuk lingkaran di depanku ke lantai sekuat tenaga.
Kepingan kaca berserakan. Makanan berhamburan di lantai. Tentu saja piring dan gelas di atas meja itu juga mengalami nasib yang sama. Pecah berkeping-keping.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan, takut serpihan kaca yang memantul di lantai mengenai wajah. Kuintip wajah Papa yang merah padam. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar, rahangnya terlihat mengeras. Matanya membulat.
"Aku membangun perusahaan ini dengan darah dan air mata! Supaya keturunanku bisa hidup layak dan kalian nggak dihina sepertiku. Supaya kalian jangan sampai merasakan kelaparan sepertiku! Beraninya kamu bicara seperti itu, Jovan!"
Suara Papa bergetar hebat. Matanya merah dan berair. Papa mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Kamu!" Papa menunjuk wajahku penuh kemurkaan, "Kamu bisa ngomong seperti ini, karena kamu hidup layak! Kalau kamu merasakan bagaimana susahnya mencari sesuap nasi, kamu nggak akan ngomong seenaknya!"
Dadaku berdebar kencang, belum pernah kulihat Papa sampai semarah ini. Kuakui, kata-kataku memang keterlaluan. Aku masih shock dengan apa yang kulihat sehingga aku hanya bisa terdiam sambil menelan ludah, membasahi tenggorokan tercekat.
"Jovan! Kamu menikah dengan perempuan pilihanmu atau pilihanku! Tiga bulan, Jovan! Bawa seorang gadis paling lama tiga bulan lagi. Jika sampai tiga bulan kamu belum ada pilihan, kamu harus menikah dengan gadis pilihanku. Kalau kamu menolak, uang tunjangan dan gajimu distop! Kurasa, uang di rekeningmu saat ini cukup hingga tiga bulan ke depan!" Papa menatap wajahku penuh kemarahan.
"Pa, ini tuh nggak adil. Aku juga bekerja di perusahaan, kok nggak digaji?" Aku menolak keras keputusannya.
"Gajimu selama tiga bulan ke depan dibayar hari ini. Setelah itu nggak akan ada aliran dana yang masuk ke rekeningmu hingga kamu menikah!" Papa berlalu pergi. Dia memanggil pekerja untuk membersihkan kekacauan yang dibuatnya.
Napasku sangat panjang serta berat, aku termenung dan terdiam beberapa saat. Tidak lama kemudian aku berdiri lalu berjalan hati-hati agar tidak menginjak serpihan kaca. Sarapan pagi bersama Papa hari ini menjadi bencana. Aku sadari semua karena kesalahanku. Aku sudah berkata seperti itu, tentu saja sangat melukai perasaannya.
Papa sering kali bercerita, Papa membangun perusahaan kami dengan darah dan air mata. Kata-kata itu tidak berlebihan, justru benar adanya. Papa terlahir dari keluarga miskin. Ya, nenek dan kakek kami miskin. Hampir setiap hari mereka makan bubur nasi demi menghemat beras, bahkan tak jarang pula mereka tidak makan karena tidak ada makanan yang bisa dimakan.
Papa sering cerita, sewaktu dia kecil dan meminta makan pada nenek, ibunya itu malah menyuruhnya kembali bermain karena makanan belum masak. Papa melihat nenek memang terlihat sedang memasak, ada penanak nasi yang mengepul di atas tungku. Belakangan ketika papa sudah mulai besar, papa tahu penanak nasi itu hanya berisi air. Tidak ada nasi, tidak apa-apa di dalamnya. Hal itu dilakukan hanya untuk menenangkan papa dan saudaranya yang kelaparan. Tiap detik yang berlalu tak henti-hentinya nenek memanjatkan doa agar kakek datang membawa beras.
Ketika berusia tiga belas tahun, papa menarik gerobak mengambil sisa potongan-potongan besi bekas proyek yang dibuang. Dulu potongan besi dibuang begitu saja, jadi papa memungutnya, mengumpulkannya lalu menjualnya.
Saat papa bekerja sebagai pengepul bekas potongan besi, kehidupan nenek sekeluarga mulai membaik. Mereka bisa makan nasi, bukan lagi bubur yang jika beras dimasak segelas, menjadi bubur penuh sepanci, sehingga cukup untuk seluruh anggota keluarga.
Lauk telur ceplok pun sudah sangat nikmat bagi mereka. Papa memakan telur itu hanya bagian putihnya lebih dulu, ketika putihnya sudah habis barulah papa memakai kuningnya.
Menurut papa, seperti itulah filosofi kehidupan. Masa bahagia akan datang setelah masa sulit berlalu.
Papa anak tertua dari tiga bersaudara. Papa bekerja keras agar keluarganya bahagia. Uang hasil penjualan besi papa kumpulkan. Pelan-pelan ikut berbisnis membeli kayu gelondongan.
Perlahan usaha papa semakin membesar sehingga dia bisa membangun CV dan memproduksi kayu lapis. Dengan beberapa investor, usaha papa kian maju menjadi perusahaan besar eksportir kayu lapis.
Kata papa, dia perlu waktu 22 tahun untuk membangun semua dari awal hingga perusahaan bisa sebesar ini. Di usia 35 tahun papa menikahi mama, saat itu dia yakin anak dan istrinya tidak akan kelaparan seperti halnya dirinya. Papa tidak melupakan keluarganya, semua hidup sejahtera. Saudara papa pun masing-masing diberi modal untuk usaha mereka.
Namun, saat ini kayu sulit didapat, perusahaan tidak sebesar dulu, tapi masih beroperasi dengan baik. PT Adi Jaya Sakti Group masih memiliki ribuan karyawan. Beberapa tower perkantoran pun kami miliki di kota besar dan disewakan. Aku Jovan Jaya Sakti, anak satu-satunya dari Adi Jaya Sakti, di usiaku 34 tahun, aku masih belum memiliki seorang wanita sebagai istriku. Aku tidak menganggap penting memiliki seorang wanita di sisiku. Aku juga tidak terlalu menikmati harta yang kumiliki.
Tahu kenapa?
Sebab dengan banyaknya harta yang dimiliki papa, mama bisa membuat restoran mewah di Singapore, mereka sibuk mengurus bisnis, sehingga jarang bertemu.
Mama suka lelaki muda yang mungkin berusia di bawahku untuk bersenang-senang. Sejak aku berusia 9 tahun, sering kali aku melihat mereka bertengkar. Jika bertemu mereka pasti ribut. Keduanya tidak saling bertemu selama enam bulan hingga setahun, ketika bertemu bertengkar dan mama selalu berteriak meminta cerai.
Aku bosan dan muak dengan semua ini. Aku jarang bertemu mama, aku tidak mendapatkan kasih sayangnya selayaknya seorang ibu kepada anaknya. Saat aku SMA, aku sudah tidak tahan lagi, aku meminta papa bercerai saja dari mama. Lebih baik mama tidak ada dan tidak datang lagi daripada saat datang dia hanya menyakiti papa, tapi papa tidak mau menceraikan mama. Papa bilang, jika mereka bercerai, mama yang untung. Dia akan mendapatkan harta gono-gini dan menikmatinya dengan pria-pria muda simpanannya.
Akhirnya hanya aku dan papa di rumah besar ini, aku hanya memiliki papa dan begitu pula sebaliknya. Belakangan saat aku kuliah, aku tahu papa mempunyai istri simpanan, maaf jika aku berkata begitu. Perempuan itu tidak sah menikah dengan papa, karena papa masih terikat pernikahan dengan mama.
Aku mengerti keadaan papa, tapi bukan berarti juga aku menerima gadis seumuran denganku dijadikan papa istri. Aku tak pernah bicara dengannya, tapi aku juga tidak marah padanya. Aku mencoba mengerti, papa juga butuh kasih sayang dari pendamping hidup. Papa butuh wanita untuk 'kebutuhannya', tapi kenapa harus dengan gadis yang seumuran denganku? Gadis itu berusia 22 tahun saat itu, dia lebih cocok menjadi pacarku daripada istri papa. Waktu itu papa sudah berusia 59 tahun. Apa yang diharapkan seorang gadis 22 tahun pada lelaki seumuran papa? Tapi ... ya sudahlah, yang penting papa bahagia.
Sejak papa memiliki wanita itu, dia jarang pulang ke rumah, dia memiliki rumah sendiri bersama istri mudanya. Aku sendirian di rumah besarku. Sesekali papa datang menjengukku, seperti hari ini, dia datang pagi-pagi sekali untuk menikmati sarapan bersamaku lalu memaksaku menikah. Hal ini sudah terjadi puluhan kali. Papa selalu memaksaku menikah, tapi hanya pada hari ini terjadi keributan besar seperti ini. Mungkin karena kami sama-sama bosan. Papa bosan memaksaku menikah, dan aku bosan dipaksa papa menikah.
Hari ini kuputuskan, aku akan menikah demi papa. Ya, papa sangat menyayangiku dan juga perusahaan yang dibangunnya dengan susah payah. Aku akan menikahi seorang gadis demi membahagiakannya. Aku tiba di kantor dan memperhatikan semua orang, terutama para wanita.
Argh!
Aku merasa hampir gila sekarang. Setiap wanita yang kutemui selalu aku analisa, apakah dia mampu kujadikan istri? Mampukah perempuan itu mengerti diriku dengan segala kekuranganku?