Albin ....
Kupandangi cermin lekat-lekat, wajah pucat dan kusut. Irisku yang berwarna biru muda meredup. Kantung mata terlihat jelas. Rambut putihku yang memiliki panjang sepinggang, berantakan dan kusut masai.
Tubuhku masih dibalut pakaian kerja tadi malam. Kemeja putih, rok hitam span selutut dan blazer warna senada. Pakaian kerjaku mirip seperti sekretaris CEO tampan dalam novel. Stocking hitam melekat di kedua kaki dan sepasang hi-heels teronggok di sisi kasur.
Aku sangat kelelahan dan juga mengantuk. Entah siapa tadi malam yang mengantar pulang, ketika bangun, aku sudah berada di dalam kamar. Perutku benar-benar mual.
Seingatku, semalam aku beberapa kali terbangun dan muntah. Resiko pekerjaan. Huft! Aku tidak tahu sampai kapan terus bekerja seperti ini, tapi hanya pekerjaan inilah saat bisa kudapatkan.
Aku tidak bisa bekerja seperti orang pada umumnya, mataku sangat sakit saat terkena matahari langsung. Kulitku perih dan merah lalu terasa terbakar saat terkena matahari lebih dari sepuluh menit.
Kadang aku tertawa miris. Aku mirip vampire dalam serial di TV. Berkulit pucat, tidak bisa terkena sinar matahari. Bedanya, aku tidak tiba-tiba terbakar lalu menjadi debu. Sebisa mungkin aku harus menghindari paparan sinar matahari langsung. Jadilah aku bekerja di malam hari dan bisa kukatakan, aku 'Albines Bat Woman'.
Kurebahkan diri di kasur. Melihat dalam ke langit-langit kamar kost. Kamar yang kutempati sejak setahun yang lalu. Kucoba mengingat semuanya lebih keras lagi.
"Argh!"
Aku frustasi karena sama sekali tidak mampu mengingat apa yang terjadi. Langit-langit kamar berputar cepat. Aku mencoba kembali tidur dan berusaha memejamkan mata. Namun, rasa penasaran menghalangiku masuk ke alam mimpi. Pembelokan memori yang terjadi di otak semakin membuatku penasaran.
{Gengs .... Siapa tadi malam yang anterin gue pulang?}
Aku pun mengirim pesan ke grup WhatsApp karyawan perempuan di tempatku bekerja.
{Gina: Pelanggan lo. Lo lupa?}
{Aku : Heh? Pelanggan?Pelanggan siapa? Kok diizinin, sih?Kalo gue diapa-apain gimana?Jahat banget, sih?}
Aku mulai khawatir dan meraba dadaku. Oke, semua masih lengkap. Aku masih berpakaian lengkap, lalu menyingkap rok.
"Thanks, God."
Aku bersyukur celana dalamku masih di tempatnya. Ini artinya kemungkinan aku baik-baik saja kemudian kusentuh bagian sensitif si tubuhku.
Aman! Tak terasa apa pun yang berbeda. Aku merasa tenang, kemungkinan besar memang tidak terjadi apa-apa.
{Rosi :Lo yang mau, Al. Ih, aneh deh. Bisa-bisanya nyalahin orang lain.}
Setelah Gina,kini giliran Rosi yang membalas pesanku, bahkan mereka berdua mulai menggerutu.
{Gina :Tahu nih si Al.}
{Rosi : Kalau tahu gini, gue bikin video tadi malam. Lo nempel banget ama tuh cowok! Udah kayak kukang tahu nggak?Gue takut, ntar yang ada lo mati.Kukang gitu, kan? Dipisahin sama pasanganya mati.}
{Aku :Kalian aja yang mati. Siapa, sih? Cowok mana?}
Aku tertawa, sekaligus penasaran.
{Ya mana kita tahu. Dia sama lo, kan?
Lo beneran nggak ingat sama sekali?} Gina kembali menjawab pertanyaanku.
{Aku :Kalau gue ingat nggak akan tanya Kepalaku semakin pusing.
{Rosi : Ya ... kali Lo pura-pura. Mau pamer abis jalan sama cogan.}
Aku : Apaan, sih? Beneran gue lupa. Mesti dikenyot nih ubun-ubun gue.Biar nggak amnesia gini
Aku mengirim emoticon sakit kepala.
{Lo juga kebanyakan minum, sih.} Gina membalas pesanku.
{Aku : Iya nih salah gue emang. Abisnya itu gelas ditutup sama uang 100$ US dollar. Gimana nggak ijo mata gue?} Tawaku tergelak, menyesali apa yang telah terjadi.
{Eh tunggu, gue mulai inget. Eh duit gue? Duit gue mana? Kalian simpan duit gue nggak?} Aku mulai ingat banyak hal. Semua yang terjadi malam itu bagai kepingan puzzel. Terbayang di mataku kejadian tadi malam seperti potongan-potongan tak utuh.
{Duit apa? Kita nggak tahu duit. Lo cuma bilang mau pulang sama cowok itu. Lo sampai kekepin kuat-kuat.} Gina sepertinya mulai ikut cemas.
{Kekepin gimana? Jadi gini, tadi malam itu, si Jo ...
Aduh siapa namanya gue lupa. Dia taroh uang di atas gelas yang udah diisi minuman setengahnya. Kalau habis, itu dollar boleh diambil.}
Aku bergegas berdiri merogoh saku. Tidak ada uang sepeser pun. Aku membalik saku bagian dalam hingga menjulur keluar, siapa tahu ada yang terselip. Tidak ada! Memang tidak ada uang!
Kucari lagi ke dalam tasku dengan beringas, seperti monyet merampas tas pengunjung taman monyet guna mencari kacang yang terslip dan tubuhku lemas.
{Duit gue ilang, Gengs!} Aku pun menjerit di grup WhatsApp dengan puluhan emot menangis.
{Sia-sia gue mabuk sampai amnesia. Untung 'barang' gue masih utuh.} Aku menjerit keras. Harusnya ada minimal 500 US dollar di tanganku.
{Gue out dulu, ya? Kali tu dollar nyempil dalam kutang gue.} Aku meletakkan ponsel dan langsung berdiri, melepaskan semua pakaian. Nihil! Tak ada apa-apa. Sepertinya hanya ada bekas iler yang nyempil di pipi.
"Argh! Sialan lo, Jo! Awas lo, ya? Kalau ketemu gue lagi. Siapa, sih, namanya? Lupa! Jo siapa? Joshua atau siapa, ya? Gue obok-obok lo ntar," teriakku penuh amarah.