Dua puluh lima tahun yang lalu ....
"Bawa anak itu keluar!"
"Iya, bawa dia keluar! Dia iblis!"
Teriakan-teriakan itu semakin keras bersahutan di malam yang gelap. Puluhan orang berkumpul di depan rumah Ayuna. Sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu terus digedor kuat.
Bak! Bak! Bak!
Pintu rumah Ayuna lagi-lagi digedor dan daun pintu bergerak karena kerasnya benturan dari luar.
"Cepat serahkan anak itu!" Suara seorang lelaki terdengar tajam mengancam.
"Iya! Cepat!"
"Dobrak saja pintunya! Dobrak!" Suara seseorang menghasut nyaring dari belakang.
Ayuna beringsut ke dinding memeluk erat putri kecilnya yang baru berumur sepuluh hari. Putrinya kecilnya yang berkulit putih pucat, seputih kapas. Dia menatapnya dengan linangan air mata. Ia merapatkan sang buah hati ke dada.
"Bakar saja rumah mereka! Bakar!" Teriakan itu semakin beringas.
Ayuna menatap dalam mata suaminya yang kemerahan dan tergenang air mata. Rahangnya mengeras dan kaku menahan amarah dan kekecewaan yang terlampau kuat.
"Pergilah. Selamatkan anak kita." Liben menatap putri kecilnya lalu mengecupnya dengan linangan air mata, "Semoga kamu selamat, Nak. Semoga Tuhan melindungimu, Albin." Liben mengangguk mengisyaratkan pada Ayuna agar segera pergi dari sana. Dia menahan daun pintu dengan menyandarkan tubuhnya.
Ayuna berlari lewat pintu belakang, menerobos lebatnya hutan karet di belakang rumah. Senter berbahan aluminium tergenggam erat di tangan. Namun, dia tidak berani menyalakannya, takut warga melihat cahaya yang dihasilkan senter itu kemudian mengejarnya. Dia menghilang di kegelapan malam, memasuki hutan hanya dengan cahaya redup dari rembulan. Berkali-kali kaki dan tangannya tergores ranting pepohonan. Perih, itu yang rasakan, tapi sedikit pun tak sebanding dengan luka hatinya.
"Mana anak itu?!" Beberapa orang lelaki menyeret Liben keluar rumah lalu mendorongnya hingga dia tersungkur ke tanah.
"Tidak ada, dia sudah dibawa pergi dari sini. Kalian bisa hidup tanpa ketakutan lagi." Liben menggenggam erat bebatuan di bawah telapak tangannya.
Bugh! Bugh! Bugh!
Pukulan demi pukulan diterima Liben di tubuhnya. Wajahnya mencium tanah. Rasa sakit yang diterimanya tak ayal membuatnya tidak sadarkan diri. Liben penuh luka, tak hanya tubuhnya, tapi juga perasaannya. Dia berharap Ayuna berhasil menyelamatkan Albin, putri mereka satu-satunya.
Albin, seseorang yang telah cukup lama mereka tunggu. Lima tahun lamanya mereka menanti kehadiran sang buah hati, tapi apa daya takdir berkehendak lain. Buah hati mereka terlahir seputih kapas, bola matanya berwarna biru sangat muda secerah langit di siang hari. Alis dan bulu matanya pun berwarna putih, rambutnya sedikit kekuningan, bahkan hampir seputih kertas.
Bayi mungil itu dikatakan jelmaan setan dan harus dihabisi agar para penduduk desa bisa selamat. Mereka pikir si kecil Albin memiliki ilmu sihir dan harus dibakar hidup-hidup. Ayuna dan Liben siap mati untuk melindungi putri mereka, tapi jika mereka mati, Albin juga tidak akan hidup.
Ayuna terus saja berlari, peluh membanjiri kening dan tubuhnya. Napasnya menderu. Ketakutan dan rasa cinta terus memacu langkah kaki Ayuna, dia sudah berjalan dan berlari belasan kilometer. Langit di ufuk timur mulai berwarna merah, menandakan fajar akan segera hadir.
"Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi." Ayuna mengecup kening bayi mungil di pelukannya. Dia melihat dari kejauhan hiruk pikuk manusia mulai tampak. Ayuna menguatkan langkah kakinya yang gemetar dan lemah karena kelelahan.
Ayuna tiba di pasar pagi, dia menyinggahi sebuah warung makan untuk sarapan dan minum. Setelah merasa kembali memiliki tenaga, Ayuna kembali berjalan, dia duduk emperan toko yang masih tutup. Tangannya gemetar, kedua matanya digenangi air mata, memaksa menyeruak keluar dan mengaliri pipinya yang dingin. Dia mengecup putrinya puluhan kali.
Ayuna menunggu matahari semakin meninggi hingga pertokoan itu buka. Setelah beberapa jam menunggu, akhrinya toko-toko itu pun buka. Wanita itu meminta kardus serta meminjam pulpen dan kertas.
Nanar mata Ayuna melihat ke sekeliling, ia memperhatikan sebuah truk pick up pengangkut lembaran karet yang telah dikeringkan. Lembaran karet itu hasil para petani karet yang sudah melalui proses pengasapan sehingga berwarna kuning kecokelatan.
Ayuna memperhatikan lebih saksama, saat dia yakin tidak ada yang memperhatikan, ia meletakkan bayinya yang telah dimasukkan ke dalam kardus di bak pick up. Dia berharap seseorang akan memeliharanya. Mobil itu akan membawa Albin ke kota sehingga tidak ada lagi yang berpikir dia adalah jelmaan setan, seperti yang orang-orang picik pikirkan.
Ayuna memperhatikan dari kejauhan saat supir pick up bersama sang istri mendekap putri kecilnya. Mereka membawa jauh darinya. Perasaan Ayuna begitu hancur, dia dan Liben yakin, inilah satu-satunya cara menyelamatkan Albin.
"Semoga kamu bahagia, Nak. Semoga kamu bahagia." Ayuna memanjatkan doa di dalam hati.