Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Ranup Lampuan Indonesia

patra_lamo
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
490
Views
Synopsis
Hari pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan. Tapi tidak untuk Rizky dan Nabila. Ketika pelaminan menjadi saksi pengkhianatan, bukan hanya hati yang hancur—tapi juga kehormatan dua keluarga. Rizky memilih kabur, meninggalkan Nabila sendirian di altar, menyisakan aib yang tak mudah terhapus. Nabila pun melangkah pergi, membawa luka yang terlalu dalam untuk diobati, berharap jarak bisa menghapus kenangan. Namun, takdir tidak memberi jalan keluar semudah itu. Di negeri seberang, mereka bertemu lagi—bukan sebagai calon pasangan, tapi dua orang asing yang membawa beban masa lalu. Di antara dendam, harapan, dan tradisi yang membelenggu, akankah mereka menemukan arti cinta yang sesungguhnya? Atau, sekali lagi, sejarah memilih jalan yang sama?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1: Perjodohan yang Tak Terduga

1.1 Perencanaan Perjodohan

Rizky adalah anak semata wayang. Ayahnya, Ismail, dan ibunya, Annisa, dikenal sebagai pasangan yang cukup terpandang di lingkungan mereka. Dalam budaya setempat, orang tua sering dipanggil dengan nama anak pertama mereka, sehingga mereka akrab disebut sebagai Pak Rizky dan Ibu Rizky di lingkungan sekitar. Namun, untuk memudahkan pembaca, nama asli mereka—Ismail dan Annisa—akan tetap digunakan dalam cerita ini."

Pagi itu, di rumah sederhana mereka, aroma kopi hitam buatan Ibu Annisa memenuhi ruangan. Pak Ismail duduk di kursi kayu dekat jendela, sesekali menyeruput kopinya sambil membaca koran. Di meja, hidangan sarapan masih tersisa, tetapi pikirannya tampak melayang jauh.

"Bu, Bapak mau ke rumah kawan dulu, ya?" katanya santai sambil melipat koran di pangkuan.

Ibu Annisa yang sedang merapikan piring di dapur, menoleh dengan alis terangkat."Kawan? Kawan yang mana, Pak?" tanyanya curiga.

Pak Ismail tersenyum kecil. "Itu, Bapaknya Nabila, sahabat Bapak dulu waktu muda."

Tangan Ibu Annisa berhenti mengelap piring. Matanya menyipit tajam. "Hmm… kok Ibu rasanya agak curiga, ya?" ujarnya penuh selidik."Jangan berbohong sama Ibu, ya," perasaan seorang istri itu jarang salah, tahu!

Pak Ismail tertawa kecil, tetapi tatapannya sedikit menghindari istrinya. "Ibu kok tahu aja isi hati Bapak?"

Ibu Annisa meletakkan piring dengan suara sedikit berisik. Ia menyilangkan tangan di dada. "Ya iyalah, kita kan sudah lama bersama. Ibu sudah paham betul sifat-sifat Bapak."

Pak Ismail menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Iya, Bapak rencananya ingin menjodohkan Rizky sama Nabila,"katanya pelan.

Mata Ibu Annisa membesar. "Ck, ck, ck… Begitulah kebiasaan Bapak ini. Mau pergi-pergi aja tanpa bicara dulu sama Ibu." Ia menatap suaminya tajam. "Kan Rizky itu bukan cuma anak Bapak, tapi juga anaknya Ibu!"

Pak Ismail terdiam sejenak, lalu tersenyum canggung. "Iya, maaf, Bu. Bapak terlalu semangat sampai lupa cerita ke Ibu dulu."

Ibu Annisa menghela napas panjang, kemudian memalingkan wajah dengan ekspresi kesal. "Pagi-pagi sudah buat Ibu kesal saja, Bapak ini!"

Melihat istrinya merengut, Pak Ismail dengan sigap mendekat dan memeluknya dari samping. "Maaf, ya, Bu," bisiknya lembut. "Bukan maksud Bapak tidak menghargai Ibu, tapi Bapak benar-benar lupa."

Ibu Annisa mendesah pelan. "Huh, Bapak ini memang, ya…"

Pak Ismail tersenyum nakal. "Kan katanya Ibu paham betul sama sifat Bapak. Tapi kok masih marah-marah juga? Berarti Ibu belum sepenuhnya paham, dong?"

Ibu Annisa yang tadinya kesal justru tersipu malu. "Ih, apaan sih, Pak!"

Pak Ismail semakin menggoda. "Hmm… tapi diam-diam, Ibu senang kan?"

Ibu Annisa melempar tatapan malu-malu, lalu pura-pura sibuk membereskan meja. sudah,sudah, sana pergi. "Nanti kemalaman lagi."

Pak Ismail terkekeh, lalu mengambil kunci motor yang tergantung di dekat pintu. "Iya, deh. Bapak pergi dulu, ya."

Saat suaminya hendak melangkah keluar, Ibu Annisa mencium tangannya dengan lembut.

 "Hati-hati di jalan, Pak," ujarnya pelan.

Pak Ismail tersenyum. "Iya, Bu. Assalamu'alaikum," ucapnya sebelum pergi.

 "Wa'alaikumsalam," jawab Ibu Annisa lembut, mengiringi kepergian suaminya dengan tatapan hangat.

1.2 Kegelisahan Ibu Annisa

Ibu Annisa berdiri di ambang pintu, menatap kepergian suaminya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu suaminya hanya ingin yang terbaik untuk anak mereka, tetapi tetap saja, perjodohan bukanlah hal yang bisa diputuskan sepihak.

Ia menghela napas panjang, lalu kembali ke dalam rumah. Hatinya mulai dipenuhi dengan berbagai pertanyaan—Bagaimana kalau Rizky menolak? Bagaimana kalau Nabila tidak setuju? Atau justru… bagaimana kalau mereka berdua sudah saling menyukai tanpa mereka sadari?

Senyum kecil tersungging di bibirnya. Mungkin, ini akan menjadi awal dari cerita baru dalam keluarga mereka.

Di keluarga Rizky, keputusan seperti ini biasanya dibicarakan bersama. Rizky, meskipun berasal dari keluarga mapan, tumbuh dengan pola asuh yang sederhana. Ayahnya tidak pernah memanjakannya dengan kemewahan, dan ibunya selalu mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang lebih dari sekadar harta.

Namun, apakah Rizky akan menerima perjodohan ini?

1.3 Nabila dan Rahasia Hati

Di sisi lain kota, Nabila tengah sibuk melatih para penari di aula kampusnya. Sebagai seorang instruktur tari dan mahasiswa berprestasi, ia dikenal sebagai bunga kampus—bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kepintaran dan kepribadiannya yang ceria.

Namun, di balik senyumnya, Nabila memiliki satu kelemahan.

Ketika berhadapan dengan seseorang yang diam-diam ia suka, ia mendadak menjadi pemalu dan canggung.

"Baik, kita coba sekali lagi dari awal," ujarnya, menepuk tangan sebagai tanda musik dimulai.

Para penari bergerak dengan anggun, mengikuti irama musik Ranup Lampuan, tarian khas Aceh yang penuh makna. Namun, pikiran Nabila sedikit melayang. Ia tidak tahu bahwa jauh di sana, sebuah keputusan telah diambil yang akan mengubah hidupnya selamanya.

1.4 Janji Dua Keluarga

Di rumah Nabila, percakapan serius terjadi.

"Iya, iya, apa salahnya jika kita saling menjodohkan anak-anak kita, bukan begitu, Pak Ismail?" ucap Pak Anwar sambil tersenyum lebar.

"Betul sekali, Pak Anwar. Kelihatannya anak-anak kita juga serasi," timpal Pak Ismail dengan antusias.

Namun, di sisi lain, raut wajah Ibu Nuraini terlihat kurang setuju. Matanya sedikit menyipit, dan ada kerutan tipis di dahinya, tanda bahwa ia tidak sepenuhnya sependapat.

"Anak-anak kan belum saling mengenal, Pak. Bukankah sebaiknya mereka saling dikenalkan dulu sebelum membahas perjodohan ini?" ujar Ibu Nuraini dengan nada sedikit menahan.

Pak Anwar tertawa kecil. "Ah, tidak perlu, Bu. Nanti seiring waktu, cinta itu juga akan tumbuh dengan sendirinya. Iya kan, Pak Ismail?"

Pak Ismail ikut terkekeh. "Betul sekali, Pak Anwar. Pengalaman kita dulu juga membuktikan itu, bukan?"

Mendengar itu, Pak Anwar dan Pak Ismail saling pandang, dan tawa mereka semakin pecah. Suasana di ruangan itu seolah dipenuhi kegembiraan. Tapi di sudut ruangan, Ibu Nuraini tampak salah tingkah. Ia sedikit memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan yang campur aduk.

Ada kesal, sedih, dan sedikit bahagia, mengingat masa lalu saat ia sendiri pernah dijodohkan. "Namun, ia merasa bahwa anak-anak di zaman sekarang seharusnya punya kesempatan untuk memilih sendiri."

Pak Ismail melirik ke arah Ibu Nuraini, mencoba menangkap reaksinya. Ia mengangkat kedua alisnya, memberi isyarat pada Pak Anwar

Pak Anwar, yang menangkap kode itu, lalu melirik istrinya. Ia tersenyum tipis, sedikit geli melihat ekspresi istrinya yang sedang ngambek.

"Jadi bagaimana, Pak Anwar?" tanya Pak Ismail, mencoba kembali ke pembahasan awal. "Saya rencanakan acara walimah bulan depan, bagaimana?"

"Jangan terlalu lama, Pak Ismail. Tidak baik juga membiarkan anak gadis saya terlalu lama tanpa kepastian. Bagaimana kalau minggu depan saja?" desak Pak Anwar

Pak Ismail mengangguk pelan. "Hmm… kalau begitu, itu ide yang baik juga. Saya juga berpikir lebih cepat lebih baik."

"Pak…!" sela Ibu Nuraini tiba-tiba. Suaranya sedikit tegas. "Anak kita kan masih kuliah. Masa iya kuliahnya terhenti karena menikah?"

Pak Anwar mendesah ringan, mencoba meyakinkan istrinya. "Ooo, itu mudah diatur, Bu. Nabila kan bisa melanjutkan kuliahnya setelah menikah. Yang penting sah-nya dulu. Dari pada nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bagaimana?"

Pak Ismail ikut menimpali. "Betul itu, Bu. Saya juga khawatir. Rizky, anak saya, masih muda. Takutnya nanti malah bikin ulah dan mempermalukan keluarga."

Pak Anwar tersenyum lega. "Ahad depan, tanggal 15, hari yang baik. Kita langsungkan saja di hari itu, ya?"

Pak Ismail mengangguk setuju. "Baiklah, kalau begitu. Saya akan sampaikan ke Rizky agar segera mempersiapkan segalanya."

Pak Ismail lalu bangkit berdiri, merapikan pakaiannya. "Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Pak Anwar, Ibu Nuraini."

"Wa'alaikumsalam," jawab Pak Anwar sambil menjabat tangan Pak Ismail erat.

"Wa'alaikumsalam," sahut Ibu Nuraini singkat, dengan nada yang masih menunjukkan sedikit ketidaksetujuannya.

Di saat Pak Ismail melangkah keluar, Pak Anwar sempat melirik istrinya. Ia hanya bisa tersenyum kecil, berharap waktu akan meluluhkan hati istrinya yang masih ragu.

Namun, dalam hati Ibu Nuraini, mereka semua bertanya-tanya—bagaimana reaksi anak-anak mereka saat mendengar keputusan ini?

Bab 1 selesai