8.1 Tukang Urut Traditional
Halaman Villa
"Eh, kenapa kau tak bangun-bangun, Rizky? Apa kau nak tidur di sini?" ujar Kak Ros dengan nada tegas, mendekati Rizky yang masih tergeletak di rumput.
Rizky mencoba bangkit, tapi rintihan kesakitan terdengar dari bibirnya. "Aduh… Kak, sakit sekali kakiku… tak bisa bangun," keluhnya sambil memegangi pergelangan kakinya yang cedera.
Kak Ros menghela napas panjang sebelum menoleh ke lantai atas. "Nabila! Kau tak turun ke? Sebab kau juga yang buat ni pasal!" serunya dengan nada kesal.
Nabila, yang mendengar namanya disebut, perlahan turun dari kamarnya. Meski terlihat ragu, ia akhirnya berdiri di hadapan Kak Ros dan Rizky. Tatapannya jatuh pada Rizky yang masih meringis kesakitan. Rasa bersalah mulai muncul di wajahnya, tapi ia berusaha menutupinya dengan berpaling, pura-pura tak peduli.
"Rayan, Zikri, kau bantu Rizky ke kamarnya! Nabila, buka pintu kamar dari dalam, sebab kuncinya entah ke mana," perintah Kak Ros tegas. "Kakak nak panggil Wak Saleh dulu. Ayo, gerak cepat!"
Di Kamar Rizky
Beberapa saat kemudian, Kak Ros kembali bersama seorang pria tua yang dikenal sebagai Wak Saleh, seorang ahli urut tradisional yang sudah sering membantu orang-orang di desa itu.
"Mana yang sakit?" tanya Wak Saleh, mendekati Rizky dengan tatapan penuh pengalaman.
"Pergelangan kaki ini, Wak," jawab Rizky, sambil menunjuk kakinya yang mulai membengkak.
Wak Saleh mengangguk, lalu meraba-raba pergelangan kaki Rizky dengan hati-hati. "Tahan, ya," ucapnya singkat sebelum…
KRRAK!
Suara tulang yang kembali ke posisi semula terdengar jelas. Rizky langsung merintih kesakitan, tubuhnya tegang sejenak sebelum kembali lemas. Proses itu diulang beberapa kali, dan setiap kali Wak Saleh menekan bagian yang cedera, Rizky hanya bisa menahan rasa sakit dengan meringis.
Nabila, yang menyaksikan itu, tak lagi mampu menyembunyikan perasaannya. Air matanya mulai menetes tanpa ia sadari, rasa bersalah semakin menusuk hati. Isakan kecil lolos dari bibirnya.
Ruangan itu mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada Nabila, yang berusaha keras menahan emosinya.
Wak Saleh, yang telah menyelesaikan pekerjaannya, menoleh ke arah Nabila dengan senyum tipis.
"Tak apa-apa, nak. Sekarang suaminya sudah sehat," ucap Wak Saleh, bercanda untuk mencairkan suasana.
Mendengar itu, Nabila langsung tersentak. Wajahnya memerah seketika, dan buru-buru ia mengusap air matanya.
"Oh, bukan, Wak! Dia bukan siapa-siapa!" balasnya cepat, nada suaranya ketus, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
"Aduhai, anak gadis ni… bisa-bisa je," Kak Ros menimpali sambil menggoda, membuat Rayan dan Zikri yang berdiri di dekat pintu tertawa terbahak-bahak.
Namun, tawa mereka langsung terhenti. Saat Rayan mengangkat wajahnya, tatapan tajam Kak Ros sudah menembus jiwanya. Dalam sekejap, tawa mereka berubah jadi cemas.
"Keluar, sekarang!" perintah Kak Ros, matanya menyipit tajam.
Keduanya buru-buru meninggalkan ruangan, hampir saling bertabrakan di ambang pintu.
Setelah Keadaan Tenang
Setelah memastikan semuanya terkendali, Kak Ros berbisik ke Nabila.
"Kau nak tidur sini, ke?" tanyanya, menaikkan alis dengan nada menyindir.
"Eh… nggak, Kak," jawab Nabila buru-buru, menggeleng cepat, wajahnya masih merah.
"Sapa tahu kau nak tidur sini… ah, cepat-cepatlah kau kawin. Jangan lupa kalau Rizky minta tolong nanti, ya. Dah, balik ke kamar kau."
Nabila hanya mengangguk pelan sebelum cepat-cepat keluar dan menutup pintu kamar Rizky tanpa berkata apa-apa lagi.
Kak Ros berbicara sebelum keluar dari kamar, dan mengantar Wak Saleh kembali ke rumahnya, meninggalkan Rizky yang mulai merasa sedikit lebih baik, meski hatinya masih campur aduk memikirkan Nabila.
Kamar Nabila
Nabila menutup pintu kamar penghubung dengan perlahan, tetapi langkah kakinya tak segera menjauh. Telinganya masih menangkap samar-samar suara Kak Ros dan Wak Saleh dari ruang sebelah.
"Anak gadis tu… keras kepala, tapi hatinya lembut juga, ya?" Wak Saleh berseloroh ringan.
"Hah! Itu keras kepala bukan main, Wak. Tapi tadi tu, dia nangis, kan?" suara Kak Ros terdengar geli.
Wak Saleh tertawa kecil. "Kalau sudah begitu, artinya bukan benci, tapi…"
Suara mereka semakin sayup ketika Kak Ros mulai mengantar Wak Saleh keluar.
Nabila masih berdiri di tempatnya, menatap lantai dengan ekspresi kosong. Kenapa tadi ia begitu penasaran? Kenapa ia bahkan sengaja menguping?
Sebuah perasaan aneh berdesir dalam dirinya. Ia sendiri tak sadar sejak kapan ia mulai peduli pada Rizky lebih dari seharusnya.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju jendela, membuka tirai coklat lembut yang menggantung di sana. Angin dini hari berhembus masuk, menggelitik kulitnya.
Ia memeluk dirinya sendiri, menahan senyum kecil yang muncul tanpa ia sadari. "Kenapa aku tak bisa menahan diri untuk mencari tahu?" batinnya, merasa geli sendiri dengan sikapnya tadi.
Ia menutup matanya sejenak, tapi pikirannya masih terus bergulat. Apa ini hanya perasaan sesaat? Atau sesuatu yang lebih dari itu?
8.2: Sarapan
Dapur
Pagi itu, Kak Ros memanggil Nabila yang sedang sibuk di dapur.
"Nabila, ini makanan buat Rizky. Kau antar ya. Tapi jangan pergi sendiri, suruh si Rayan sama Zikri temani kau. Tak baik laki-laki dan perempuan berdua-duaan!" ujar Kak Ros, meliriknya tajam.
Nabila mengangguk dengan enggan, lalu berjalan ke pendopo tempat Rayan dan Zikri masih bermalas-malasan.
"Hei, kalian berdua! Kak Ros suruh temani aku ke kamar Rizky," katanya tegas.
Rayan memasang muka malas. "Aduh, aku baru nak rebahan ni!"
"Tapi tak baik menolak perintah Kak Ros," balas Nabila cepat.
Rayan menghela napas berat, akhirnya menyerah. "Iya, iya… Zikri, ikut juga lah!"
Di Kamar Rizky
Mereka bertiga masuk dengan membawa nampan makanan. Rizky, yang sedang duduk bersandar, menoleh dan tersenyum begitu melihat mereka.
"Eh, ramai sekali! Ini mau antar makanan atau rapat keluarga?" canda Rizky.
Nabila meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.
"Makan aja, jangan banyak omong!" katanya ketus, masih kesal dengan kejadian kemarin.
Rizky mencoba bangkit, tapi langsung meringis kesakitan. "Aduh, kakiku masih sakit. Mana bisa aku makan sendiri…" ucapnya, lalu melirik ke arah Nabila dengan senyum menggoda.
"Makan sendiri lah! Jangan manja," balas Nabila, melipat tangannya di dada.
Namun, sebelum Nabila bisa membalas lebih jauh, Rayan menyikut Zikri dan berbisik pelan.
"Eh, kau tengok ni. Kita bikin dia suapkan Rizky, mesti best!"
Zikri, yang sudah menahan tawa, langsung angkat suara. "Nabila, kan Kak Ros suruh kau jaga dia. Tak baik biarkan dia susah. Kau kena tolong dia makan!"
Nabila melotot. "Kalian bercanda, kan?"
Rayan menimpali dengan nada serius. "Kami ikut arahan Kak Ros je. Kalau kau tak nak, nanti kami bagitahu Kak Ros!"
Mau tak mau, Nabila akhirnya mengambil sendok dengan malas, lalu mulai menyuapi Rizky dengan ekspresi cemberut.
"Ayo, buka mulut," katanya, menyodorkan sendok dengan sedikit kasar.
Rizky membuka mulut, tapi langsung tersedak begitu Nabila memasukkan sendok terlalu dalam.
"Uhuk, uhuk! Astaga, kamu mau bunuh aku?" keluh Rizky, memukul-mukul dadanya sambil terbatuk keras.
Di sudut kamar, Rayan dan Zikri langsung terbahak-bahak, bahkan hampir berguling di lantai karena terlalu geli.
"Kau semangat sangat lah, Nabila!" ujar Zikri sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa terlalu keras.
Nabila mendengus kesal. Wajahnya memerah, entah karena malu atau kesal. Tapi di balik ekspresinya, ada secuil rasa bersalah di matanya saat melihat Rizky masih terbatuk-batuk.
"Udah lah, aku nggak mau nyuapin lagi!" katanya, lalu meletakkan sendok di tangan Rizky dengan kasar.
Rizky memandangnya dengan senyum kecil, meski masih sedikit terbatuk. "Gak masalah. Kamu berhasil bikin sarapan ini jadi lebih berkesan."
Di sudut kamar, Rayan dan Zikri masih cekikikan, sementara Nabila memilih keluar dengan wajah kesal… tapi pipinya sedikit merona.