Chereads / Ranup Lampuan Indonesia / Chapter 11 - Bab 11: Mengungkap Kebenaran

Chapter 11 - Bab 11: Mengungkap Kebenaran

11.1 Menyikap Tabir

Di Rumah Dian

Dian sedang bersiap-siap untuk pergi ketika Heri menghampirinya.

"Aku mau jalan dulu, ya, ke rumah Ibu Annisa," ucap Dian sambil mengambil tasnya.

"Oh, aku nggak bisa nemenin, ada urusan sedikit," jawab Heri dengan nada sedikit menyesal.

"Iya, nggak apa-apa kok. Aku bisa jalan sendiri," sahut Dian dengan senyum tipis. "Assalamu'alaikum," lanjutnya sambil berjalan ke arah mobil.

"Wa'alaikumsalam," jawab Heri dari dalam rumah.

Di Rumah Ibu Annisa

Beberapa saat kemudian

"Assalamu'alaikum," salam Dian dari depan pintu rumah Ibu Annisa.

"Wa'alaikumussalam," jawab suara lembut dari dalam rumah. Tak lama, Ibu Annisa muncul dari balik pintu dengan senyum ramah. "Eh, ada Nak Dian. Masuk, masuk, Nak."

Dian membalas senyum itu sambil melangkah masuk ke dalam rumah yang terasa hangat dan nyaman.

"Duduk dulu, Nak," ucap Ibu Annisa sebelum beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan membawa minuman dan sepiring kue, lalu meletakkannya di atas meja.

"Ayo, Nak, dicicip dulu. Jajannya enak, loh," ucap Ibu Annisa sambil tersenyum ramah.

"Oh, iya, Bu. Nggak usah repot-repot, jadi nggak enak saya," balas Dian dengan sedikit sungkan.

"Eeh, tidak apa-apa kok. Masa hal begini dibilang repot? Seperti kita belum saling kenal saja," ujar Ibu Annisa sambil terkekeh kecil.

Dian hanya mengangguk sambil tersenyum malu.

"Oh iya, saya nggak melihat Bapak, Bu?" tanya Dian sambil melirik ke sekeliling rumah.

"Bapak tadi keluar sebentar, ada keperluan sedikit," jawab Ibu Annisa santai.

"Ngomong-ngomong, ada apa, Nak Dian? Pagi-pagi sudah mampir ke sini," tanya Ibu Annisa lembut sambil menatap Dian dengan penasaran.

"Oh, ini, Bu. Saya mau tanya, di mana rumah wanita tua yang pernah menjadi pengantin itu?" tanya Dian dengan nada ingin tahu.

Ibu Annisa yang awalnya tersenyum langsung terdiam sejenak. Wajahnya berubah, matanya berkaca-kaca.

"Maaf, Nak. Ada keperluan apa Nak Dian dengan Nenek Halimah?" tanya Ibu Annisa, suaranya sedikit bergetar.

"Oh, namanya Nenek Halimah, ya? Yang dulu sempat viral itu?" tanya Dian memastikan.

Ibu Annisa hanya mengangguk pelan.

"Beliau sudah wafat, Nak," jawabnya sambil meneteskan air mata.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Dian pelan, terkejut.

Dian terdiam sejenak, meresapi kabar duka yang baru saja didengarnya. Sejujurnya, ia tak menyangka bahwa kisah yang selama ini dianggap sekadar bahan lelucon oleh banyak orang ternyata begitu menyedihkan.

"Sewaktu acara resepsi itu, berita tentang beliau sempat menyebar ke kampus, Bu. Awalnya, saya ikut tertawa bersama teman-teman, tapi lama-kelamaan saya malah tertarik untuk tahu lebih banyak. Saya ingin mewawancarai beliau," ujar Dian dengan nada penuh penyesalan.

Ibu Annisa semakin sedih mendengar bahwa Nenek Halimah hanya dijadikan bahan tertawaan oleh orang-orang. Belum sempat ia menanggapi, pintu rumah terbuka.

"Assalamu'alaikum," suara Pak Ismail terdengar.

"Wa'alaikumsalam," jawab Dian sambil menoleh.

"Oh, ada Nak Dian, ya. Silakan lanjut ngobrol," ucap Pak Ismail sebelum berjalan ke sofa keluarga.

"Maaf, Bu, kalau saya membuat Ibu sedih," ucap Dian dengan nada bersalah.

"Tidak apa-apa, Nak," jawab Ibu Annisa sambil menggelengkan kepala. "Orang-orang di luar sana tidak tahu kisah sebenarnya dari Nenek Halimah," lanjutnya.

"Kisah apa, Bu? Ibu mau menceritakannya ke saya?" tanya Dian penuh rasa ingin tahu.

Pak Ismail yang sedang duduk di sofa diam-diam mendengar pembicaraan itu. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Sejak awal, ia tak pernah menyangka bahwa kisah ini akan begitu menyentuh hatinya.

"Sebetulnya, Ibu baru cerita ke Bapak saja. Tapi menurut Ibu, lebih baik Nak Dian mendengar langsung dari calon suami Nenek Halimah. Informasi yang Nak Dian terima akan lebih akurat," ujar Ibu Annisa dengan nada tegas.

"Calon suami Nenek Halimah? Oh, baik, Bu. Saya siap mendengarnya. Tapi saya tidak tahu rumah beliau," jawab Dian.

"Tenang, Nak. Ibu akan temani Nak Dian ke sana, karena Ibu juga tidak tahu semuanya," ujar Ibu Annisa sambil tersenyum kecil.

Pak Ismail yang sejak tadi diam, akhirnya menghampiri mereka. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Ia pernah menganggap peristiwa pernikahan Rizky dengan Nenek Halimah sebagai bahan candaan, tetapi sekarang—setelah mendengar lebih banyak—perasaannya mulai berubah.

"Ternyata, aku telah menertawakan sesuatu yang seharusnya tidak jadi bahan olokan," batinnya.

Dengan suara lebih dalam, ia akhirnya berkata, "Biar Bapak yang nyetir nanti."

Ibu Annisa menatap Pak Ismail dengan penuh rasa terima kasih, seolah-olah mengucapkan ribuan terima kasih tanpa kata.

Sementara itu, Dian menatap pasangan suami-istri itu dengan hati yang semakin penasaran dan penuh pertanyaan.

11.2 Perjalanan Menuju Kisah

Dalam Perjalanan

"Itu, Pak, gang di depan kita belok kiri," ucap Ibu Annisa sambil menunjuk arah.

"Loh, bukannya di depan itu sudah gang rumahnya Bapak Nabila?" balas Pak Ismail dengan nada heran.

Pak Ismail tampak bingung, membuat Ibu Annisa menggeleng pelan sambil menahan rasa kesal.

"Bapak ini, ke mana aja? Dari kemarin Ibu sudah bilang, jangan sampai nanti Rizky salah masuk ke gang sebelah. Soalnya Ibu lihat ada janur kuning di situ!" katanya dengan nada sedikit ketus.

Pak Ismail hanya tersenyum simpul, sementara Dian yang duduk di kursi belakang ikut tersenyum kecil melihat percakapan suami istri itu. Dalam senyumnya, tiba-tiba sebuah pikiran melintas.

"Oh, jadi Rizky itu sebenarnya nikahnya sama Nabila?" Dian bergumam, wajahnya berubah terkejut. Dia segera menyadari sesuatu.

"Tunggu-tunggu, Bu. Nabila yang kuliah di Unsyiah itu, kan? Yang jadi instruktur Tari Ranup Lampuan?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Ibu Annisa mengangguk dengan tenang. "Iya, iya, itu Nabila."

Mendengar itu, Dian terdiam, menutup mulutnya dengan tangan, seolah tak percaya.

"Astaga, jadi benar Nabila itu yang dimaksud?!" gumamnya pelan, masih berusaha mencerna informasi yang baru saja didapat.

"Nak Dian kenal sama Nabila?" tanya Pak Ismail yang penasaran.

"Kenal dong, Pak! Dia kan bunga kampus. Sudah cantik, pintar, jago tari—semua orang di kampus tahu betul tentang Nabila," jawab Dian dengan antusias.

Pak Ismail menggeleng sambil menghela napas panjang.

"Nah, itu dia bodohnya anak saya. Bukannya tanya-tanya dulu, eh malah kabur terburu-buru," ucapnya sambil mencibir kesal.

Ibu Annisa segera menoleh dengan tatapan tajam, membuat Pak Ismail terdiam seketika.

"Ya wajar lah, Pak! Anak kita itu baru dewasa, apalagi kalau ini pengalaman pertamanya menghadapi situasi seperti itu. Wajar dia kaget! Bapak ini bagaimana sih pemikirannya?" sahut Ibu Annisa dengan nada ketus.

Dian yang menyimak dari belakang ikut menimpali.

"Betul banget itu, Pak. Belum lagi kalau dia gugup. Saya rasa sepanjang perjalanan pun dia sudah gugup duluan. Sampai pelaminan malah tambah parah. Jadi sangat wajar kalau reaksinya seperti itu," katanya sambil mencoba mencairkan suasana.

Pak Ismail menepuk dahinya, tersenyum kecil.

"Oh iya ya, kok Bapak nggak kepikiran, ya?" katanya dengan nada penuh penyesalan. Dalam hatinya, ia bergumam, Wah, bahaya ini. Aku diserang dua wanita sekaligus.

Pak Ismail melirik ke arah istrinya yang masih tampak sedikit kesal.

Ibu Annisa mendengus pelan. "Heh," sambil memalingkan wajahnya, seolah menandakan rasa kesal yang belum mereda.

"Duh, Bunda jangan marah dong. Rasanya dunia ini gelap kalau Ibu marah," kata Pak Ismail, mencoba meredakan suasana.

"Gelap apanya?" balas Ibu Annisa sinis.

"Ya gelap, Bu. Ibarat malam tanpa bulan itu gelap. Karena Bunda adalah rembulanku," ucap Pak Ismail sambil tersenyum genit.

Ibu Annisa yang awalnya kesal tiba-tiba tersipu malu.

"Udah-udah. Emangnya kita nggak mau turun nih? Sampai kapan di sini?" sahutnya sambil menahan tawa kecil.

Pak Ismail memandang ke luar. "Oh, kita sudah sampai, ya?" katanya dengan nada sedikit terkejut.

Mobil berhenti, dan mereka bersiap turun. Dian, yang sejak tadi menyimak, merasa semakin penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.