9.1: Mencari Kebenaran
Universitas Syiah Kuala (USK)
Mahasiswa dan mahasiswi sibuk dengan aktivitas belajar mereka, hilir-mudik dari satu kelas ke kelas lain. Dian dan Heri, pasangan muda yang sama-sama menimba ilmu di kampus itu, juga tak ketinggalan dalam rutinitas akadamik mereka.
Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Di sela-sela waktu istirahat, suasana kampus riuh dengan gosip yang beredar cepat.
"Eh, kalian udah dengar kabar tentang Rizky?" bisik seorang mahasiswi pada teman-temannya.
"Iya, katanya dia nikah sama perempuan tua!" sahut yang lain, tertawa kecil.
"Gila, serius? Kok bisa sih?"
Awalnya, gosip itu terdengar seperti sekadar hiburan di tengah kesibukan kampus. Namun, bagi Dian, cerita itu perlahan mengusik pikirannya. Sebagai mahasiswi jurusan komunikasi, rasa ingin tahunya mulai terpicu.
Ia tak ingin hanya mendengar kabar dari mulut ke mulut. Ia harus mencari tahu kebenarannya.
Pencarian Dian
Sepulang kuliah, Dian memutuskan untuk menyelidiki kabar itu sendiri.
Ia mencoba mencari informasi tentang kediaman wanita tua yang menjadi bahan pembicaraan di kampus. Namun, ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.
Ia sempat bertanya pada beberapa orang di sekitar, tapi jawabannya samar.
"Saya nggak tahu, Dek. Coba tanya di kedai depan," kata seorang pedagang.
(Di Sumatera Sama seperti Malaysia kedai, di jakarta lebih dikenal dengan sebutan warung)
Dian berjalan ke kedai yang dimaksud.
"Bu, maaf mau tanya. Ibu tahu nggak rumah seorang perempuan tua yang katanya tinggal dekat sini?" tanyanya sopan.
Pemilik kedai mengerutkan kening. "Perempuan tua? Banyak, Dek. Yang mana?"
"Katanya dekat dengan rumah keluarga Rizky," tambahnya.
Wanita itu berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Wah, kalau itu saya kurang tahu."
Dian menghela napas. "Baik, Bu. Makasih ya."
Merasa lelah, Dian berhenti sejenak di bawah pohon, mencoba mengingat sesuatu.
"Oh, iya! Rumah Rizky!" serunya tiba-tiba. Mungkin dari sana ia bisa mendapatkan jawaban.
Di Rumah Rizky
Setelah beberapa waktu, Dian akhirnya tiba di depan rumah Rizky. Rumah itu tampak sepi.
"Assalamu'alaikum?" ucapnya sambil mengetuk pagar.
Tak ada jawaban.
Ia mencoba lagi, kali ini mengetuk lebih keras. "Assalamu'alaikum?"
Suara ketukannya bergema di sekitar rumah yang sunyi. Setelah menunggu beberapa saat, Dian menyadari bahwa tak ada siapa-siapa di rumah itu.
"Huh… kosong rupanya," gumamnya, sedikit kecewa.
Ia berdiri beberapa saat, mencoba memastikan kalau-kalau ada seseorang di dalam. Namun, setelah beberapa menit, ia pun memutuskan untuk pulang dan mencoba lagi keesokan harinya.
Pak Ismail Pulang
Beberapa saat setelah Dian pergi, Pak Ismail tiba di rumahnya.
Ia melihat sekeliling, memastikan keadaan. "Sepi… Ibu Annisa keluar lagi, ya?" gumamnya.
Saat mendekati pintu, ia menemukan kunci cadangan masih ada di tempatnya.
"Ah, berarti benar. Belum ada yang pulang."
Ia pun membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, tanpa menyadari ada seseorang yang tadi datang mencarinya.
Rumah Heri
Sesampainya di rumah, Dian disambut oleh Heri yang baru saja selesai mandi.
"Eh, dari mana, Sayang?" tanyanya, mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Aku dari rumah Rizky," jawab Dian singkat, sambil meletakkan tasnya.
Heri menatapnya penasaran. "Kenapa? Ada pesan dari Rizky?"
"Bukan," Dian menghela napas. "Aku Cuma jenuh dengar gosip di kampus. Ke mana-mana, orang ngomongin Rizky dan nenek itu. Nggak di kelas, nggak di kantin, semuanya sama!"
Heri tersenyum kecil. "Makanya, kamu penasaran dan langsung ke rumahnya?"
"Iya!" Dian menatapnya. "Apa salahnya cari tahu sendiri? Siapa tahu ada alasan di balik semua ini. Kan nggak adil kalau kita Cuma dengar dari gosip."
Heri mengangguk pelan. "Jadi, gimana tadi? Ada yang kamu temukan?"
"Tadi aku udah sampai di rumahnya, tapi kosong. Jadi ya, aku pulang lagi," Dian duduk di sofa, bersandar lelah.
"Besok coba lagi aja," saran Heri, menuangkan segelas air putih dan memberikannya kepada Dian.
Dian menerima gelas itu dan mengangguk. "Iya, itu memang rencana aku."
Heri duduk di sampingnya dan tersenyum. "Yang penting, jangan sampai kamu jadi ikut-ikutan gosip ya. Kita cari tahu dengan cara yang benar."
Dian menatapnya dan tersenyum kecil. "Iya, iya. Aku nggak akan asal bicara sebelum tahu yang sebenarnya."
Heri menepuk pundaknya lembut. "Nah, gitu. Sekarang mandi dulu, terus istirahat. Besok kita pikirin lagi."
Dian mengangguk. Meski rasa penasarannya belum terjawab, ia yakin usahanya akan membuahkan hasil di kemudian hari
9.2: Wafat
Rumah Pak Ismail
Ibu Annisa masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Matanya sembab, bekas air mata masih jelas di pipinya.
Di ruang tamu, Pak Ismail yang sedang membaca koran segera meletakkannya di meja dan menoleh ke arah istrinya.
"Eh, kenapa pulang-pulang menangis? Siapa yang bikin kamu sedih, Bu?" tanyanya, dahi mengernyit dalam keheranan.
Ibu Annisa tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, lalu duduk di kursi dengan wajah sendu, masih berusaha menenangkan diri.
Pak Ismail semakin penasaran. Ia merapatkan posisi duduknya, menatap istrinya dengan serius.
"Kamu habis dari mana?" tanyanya, kali ini dengan nada lebih lembut.
Ibu Annisa menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab.
"Aku habis dari makam wanita tua itu…" suaranya lirih, namun sarat dengan emosi.
Pak Ismail mengernyit lebih dalam.
"Wanita tua mana?" tanyanya, mencoba mengingat.
"Itu loh, yang Rizky salah masuk acara…" jawab Ibu Annisa, matanya kembali berkaca-kaca.
Seketika, wajah Pak Ismail terang, lalu ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
"Oh! Syukur lah kalau beliau sudah wafat. Kasihan juga kalau belum, nanti bagaimana bulan madunya? Hahaha…"
Namun, tawa Pak Ismail langsung terhenti ketika melihat tatapan istrinya.
"Hus! Jangan begitu, Pak!" tegur Ibu Annisa dengan nada serius.
Pak Ismail langsung menyesuaikan posisi duduknya. Ia mulai sadar bahwa ini bukan sesuatu yang pantas dijadikan bahan candaan.
"Memangnya ada apa, Bu? Ceritakan. Kok sampai kamu segitu sedihnya?" tanyanya, kali ini dengan nada penuh perhatian.
Ibu Annisa menghela napas, menenangkan diri sebelum mulai berbicara.
"Nenek itu, Pak… seumur hidupnya dia menunggu calon suaminya yang berjanji akan menikahinya. Tapi, waktu terus berlalu, dan mereka tidak pernah bersatu. Sampai akhirnya si calon itu tetap setia menemaninya… bahkan di saat-saat terakhir hidupnya."
Pak Ismail terdiam. Kata-kata istrinya mulai menusuk ke dalam hatinya.
"Lalu? Apa yang terjadi?" tanyanya pelan.
"Beberapa hari sebelum akad, kondisi nenek itu menurun. Dia akhirnya dirawat di rumah sakit. Tapi si calon tetap setia menemaninya di sana, sampai nenek itu menghembuskan napas terakhirnya… Mereka tidak pernah menikah, Pak. Tapi, cinta mereka tetap ada sampai akhir."
Suasana ruang tamu menjadi begitu sunyi. Hanya suara napas Ibu Annisa yang terdengar, berat dan penuh perasaan.
Pak Ismail, yang awalnya hanya mendengar dengan santai, kini merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya.
"Dan saya tadi…" suara Ibu Annisa semakin pelan, "Saya melihat dia di makam nenek itu, Pak. Dia berdoa sambil menangis, mendoakan perempuan yang seumur hidup dicintainya."
Air mata mulai mengalir di wajah Pak Ismail. Ia teringat olok-olokannya tadi. Hatinya terasa berat.
"Bu… kenapa kamu tidak bilang dari tadi?" suaranya parau, penuh penyesalan.
"Saya tadi… Astaghfirullah… saya tadi malah… ah!" tangannya menutupi wajahnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
Sesal itu datang terlambat.
Pak Ismail menangis sejadi-jadinya.
Ibu Annisa tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengelus pundak suaminya, membiarkannya meluapkan semua perasaan.
"Maaf, Bu… Saya tidak tahu… Saya tidak tahu…" gumam Pak Ismail berulang kali.
Untuk pertama kalinya, Pak Ismail benar-benar memahami arti kehilangan yang begitu dalam.