Bab 2: Dua keluarga, Dua Reaksi
2.1 Keluarga Rizky
"Assalamu'alaikum," sapa Rizky setibanya di rumah. Suaranya lantang meskipun tubuhnya lelah selepas kuliah.
"Wa'alaikumsalam," jawab suara hangat dari ibunya, Ibu Annisa, yang muncul dari dapur dengan senyum sumringah. "Duh, anak Mamak yang tampan sudah pulang," ujarnya seraya menyambut Rizky dengan salaman. Rizky menunduk dan mencium tangan ibunya dengan penuh hormat.
"Bapak mana, Mak?" tanya Rizky sambil melepas sepatu di ruang depan.
"Tadi Bapakmu bilang mau ke rumah temannya, Pak Anwar. Katanya sebentar saja, tapi kok sampai sekarang belum pulang juga. Apa dia tidak kelaparan?" jawab Ibu Annisa sambil menghidangkan makanan di meja makan.
"Mungkin sebentar lagi pulang, Mak," sahut Rizky santai sambil berjalan ke kamarnya.
Tak lama, terdengar suara dari luar rumah.
"Assalamu'alaikum," suara Pak Ismail terdengar jelas.
"Ya sudah, kamu ganti baju, dan sembahyang dulu. Biar Mamak saja yang lihat," kata Ibu Annisa seraya berjalan menuju pintu.
"Oh, Bapak… Ibu kira siapa," ucap Ibu Annisa sambil mencium tangan suaminya, Pak Ismail.
Setelah memastikan pintu tertutup, Ibu Annisa melangkah ke dapur, sementara Pak Ismail meletakkan tas kerjanya di ruang tamu.beberapa saat kemudian Rizky, yang baru selesai sembahyang (shalat), keluar dari kamarnya menuju meja makan.
"Bapak, makan malam sudah siap," kata Ibu Annisa, sambil membawa sepiring lauk ke meja.
Pak Ismail menarik kursi dan duduk. Setelah mereka mulai makan, Ibu Annisa bertanya, "Bagaimana tadi? Kok lama sekali, sampai jam segini baru pulang?"
Pak Ismail mengunyah dengan tenang sebelum menjawab, "Tadi asyik ngobrol."
"Ngobrolin apa sampai lupa waktu?" tanya Ibu Annisa penasaran.
Pak Ismail tersenyum kecil. "Masalah perjodohan."
"Perjodohan siapa?" tanya Ibu Annisa, meskipun sebenarnya ia sudah mengetahui nya.
"Perjodohan anak kita," jawab Pak Ismail santai.
Rizky yang sedang mengunyah makanan sontak tersedak mendengar itu. Dia batuk-batuk, membuat ibunya buru-buru mengusap punggungnya.
"Pelan-pelan makannya," ujar Ibu Annisa.
Setelah batuknya reda, Rizky bertanya dengan nada skeptis, "Pak, bukannya itu terlalu cepat?"
Pak Ismail mengangkat alisnya. "Terlalu cepat? Ya tidak lah. Apa yang salah?"
Rizky berusaha menyesuaikan nada bicaranya saat berbicara dengan Bapak nya. "Iya, Pak. Tapi saya kan masih kuliah, Pak," ujarnya lebih sopan, berbeda dengan gaya kasualnya saat bersama teman-temannya.
Pak Ismail tersenyum tipis. "Dan apa masalahnya? Menikah kan tidak melarangmu kuliah."
"Tapi kan lebih baik setelah lulus, cari kerja dulu, baru menikah," Rizky bersikeras.
Pak Ismail menanggapi santai, "Kalau begitu, terapkan aturan itu pada anakmu kelak. Sekarang, kamu ikut aturan Bapak."
Rizky terdiam. Makanannya mendadak kehilangan rasa. Ia segera menyelesaikan makan dan bergegas ke kamarnya.
Ibu Annisa hanya bisa menghela napas panjang melihat perdebatan itu. Setelah selesai membereskan meja makan, ia mengetuk pintu kamar Rizky.
"Nak, boleh Mamak masuk?" tanyanya lembut.
"Iya, Mak, masuk aja," jawab Rizky pelan.
Ibu Annisa masuk dan duduk di samping Rizky yang terlihat gusar.
"Bapak kok begitu, sih, Mak?" ucap Rizky sinis. "Masak zaman sekarang masih main perjodohan, trus nikah muda lagi. Gila nggak, tuh?"
"Hush, tidak boleh ngomong begitu, Nak," tegur Ibu Annisa sambil mengusap punggungnya. "Mamak tahu kamu ingin mandiri, ingin sukses dulu sebelum menikah. Itu keinginan yang baik dan mulia. Tapi coba Mamak tanya, apakah ilmu yang kamu kejar akan selesai setelah S1? Kalau lanjut S2, kemudian S3, apa setelah itu selesai juga? Menuntut ilmu itu proses seumur hidup."
"Tapi, Mak… aku kan juga ingin mandiri," ujar Rizky.
"Betul. Tapi, coba pikirkan ini: apakah kamu mau menyia-nyiakan usaha dan harta yang Bapakmu kumpulkan selama ini hanya untuk memulai semuanya dari nol? Apa tidak lebih bijak memanfaatkan apa yang sudah ada?"
Rizky terdiam, memikirkan kata-kata ibunya.
"Kalau kamu menunggu semua mapan dan sempurna dulu, apakah kamu yakin itu akan terjadi sesuai rencana? Dan kalau pun tidak tercapai, apa kamu akan terus menunda menikah?" lanjut Ibu Annisa.
"Tapi, Mak, bagaimana kalau Rizky salah memilih atau tidak siap?"
"Nak, tidak ada manusia yang sempurna. Kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Pernikahan itu bukan hanya soal cinta, tapi ibadah. Di dalamnya ada pahala dan keberkahan. Belajar dari perjalanan pernikahan adalah pengalaman terbaik."
Rizky menatap ibunya, wajahnya mulai melunak. Kata-kata ibunya perlahan meresap ke dalam pikirannya.
"Coba kamu lihat dari berbagai sudut pandang, Nak… Jangan hanya menilai dari satu sisi saja. Nikah itu adalah bagian dari iman. Di sana ada keberkahan, suka, dan duka, tapi itu semua adalah proses yang mendewasakan."
"Bukankah lebih baik Rizky saling mengenal terlebih dahulu?" tanya Rizky, masih berusaha mencari celah.
"Saling mengenal itu memang baik, Nak. Tapi, banyak orang yang terjebak di dalamnya. Mereka berlarut-larut dalam 'pengenalan' itu hingga melampaui batas yang seharusnya dijaga. Nafsu sering kali lebih dominan daripada akal sehat. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya tentang mengenal pasangan, tetapi tentang membangun kehidupan bersama dengan adab dan tanggung jawab."
Rizky terdiam.
"Mengenal manusia sepenuhnya itu sulit, Nak. Bahkan dalam pacaran bertahun-tahun pun seseorang bisa tetap menyembunyikan sisi aslinya. Berapa banyak pasangan yang berpisah setelah bertahun-tahun pacaran? Dan berapa banyak yang bahagia meskipun mereka menikah tanpa proses panjang sebelumnya?"
"Lalu, apakah mengenal lebih lama akan menjamin kebahagiaan?" tanya Ibu Annisa, menatap putranya.
Rizky menggeleng, sadar bahwa tidak ada jaminan dalam hubungan manusia.
Ibu Annisa tersenyum lembut. "Kalau begitu, kenapa kita harus terlalu kaku dalam urusan ini? Lebih baik menghabiskan waktu dalam ikatan yang halal dan penuh keberkahan, daripada terus menggantungkan diri pada sesuatu yang belum pasti."
Rizky menarik napas dalam-dalam dan mengangguk pelan. "Iya, Mak. Rizky mengerti sekarang."
Ia meraih tangan ibunya dan menggenggamnya erat. Dalam hatinya, perlahan-lahan, ia mulai menerima bahwa hidup bukan hanya tentang rencana yang dibuat sendiri, tetapi juga tentang memahami bahwa ada kebijaksanaan di balik setiap ketetapan Tuhan.
_____
2.2 Keluarga Nabila
"Assalamu'alaikum!" ucap Nabila penuh semangat setibanya di rumah.
"Wa'alaikumsalam," jawab ibunya, Ibu Nuraini, namun dengan nada ketus.
Langkah Nabila terhenti sejenak. Biasanya, ibunya menyambutnya dengan senyum hangat, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada aura dingin yang menyelimuti rumah.
Ia mencium tangan ibunya dengan ragu, lalu bertanya dalam hati, "Kenapa Mamak terlihat tidak bersemangat? Ada apa?"
Dengan mencoba tetap ceria, Nabila berusaha mencairkan suasana.
"Mamak kenapa? Kok kayaknya nggak enak hati gitu?" tanyanya dengan senyum kecil.
Namun, ibunya tetap diam, wajahnya sedikit cemberut.
Nabila mendengus pelan, mulai kesal.
"Ihhh, Mamak! Baru pulang kok aku diperlakukan seperti ini sih? Aku kan nggak tahu apa-apa!" ujarnya dengan nada sedikit menggerutu, sebelum akhirnya melangkah ke kamarnya tanpa menunggu jawaban.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka pelan. Ibu Nuraini masuk ke kamar Nabila dan duduk di tepi kasur sambil menghela napas berat.
Melihat ibunya datang, Nabila yang semula tengkurap langsung menoleh dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang serius dari raut wajah ibunya.
Setelah beberapa detik hening, akhirnya Ibu Nuraini berbicara dengan suara pelan, seolah ragu untuk mengatakannya.
"Nak, kamu akan dijodohkan oleh Bapakmu."
Ucapan itu seketika membuat Nabila bangkit dari posisi tidurnya. Ia duduk tegak, menatap ibunya dengan mata membulat penuh keterkejutan.
"Ha…?!!" serunya, setengah berteriak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Iya, Nak." Suara ibunya bergetar. "Itu sebabnya Mamak kesal sama Bapakmu."
Hati Nabila mencelos. Seakan ada sesuatu yang menghantamnya begitu keras hingga membuat dadanya sesak. Napasnya tersengal, pikirannya kacau, dan pertanyaan demi pertanyaan meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Kok bisa? Sama siapa? Terus aku gimana? Kuliahku? Seni tariku?"
Air matanya jatuh begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Bahunya bergetar, tubuhnya melemah. Ia merasa dunianya yang semula tenang kini porak-poranda dalam sekejap.
Melihat anaknya seperti itu, Ibu Nuraini tidak tahan. Ia segera merengkuh Nabila dalam pelukannya, mendekapnya erat seolah ingin menenangkan badai yang sedang berkecamuk di dalam hati putrinya.
"Mamak juga tidak setuju, Nak. Tapi Bapakmu…" suara Ibu Nuraini tercekat. Tangisnya pecah, air matanya jatuh membasahi bahu Nabila.
Tangis mereka bercampur, memenuhi ruangan dengan kepedihan yang mendalam.
Tanpa mereka sadari, Pak Anwar berdiri di ambang pintu.
Matanya menatap lurus ke arah mereka, tetapi wajahnya tetap tegas, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak dalam sorot matanya. Ia hanya diam, mengamati, sebelum akhirnya menghela napas panjang. Perlahan, ia berbalik, hendak meninggalkan mereka.
Namun, di tengah isak tangisnya, Nabila menangkap sosok itu dari sudut matanya. Dengan suara parau dan napas tersengal, ia memberanikan diri untuk memanggilnya.
"Kenapa Bapak beginikan saya…?" tanyanya dengan nada lirih, penuh luka.
Pak Anwar berhenti melangkah. Ia menoleh sedikit, tetapi tidak langsung menatap putrinya.
"Selesaikan dulu tangismu, Nak. Setelah itu, baru temui Bapak."
Suaranya terdengar tenang, tetapi terasa begitu dingin di telinga Nabila.
Jawaban itu bagai pisau yang semakin menusuk perasaannya. Tangisnya semakin pecah, begitu pula dengan ibunya.
Ruangan itu kini dipenuhi isak yang mengguncang hati, seolah menjadi pertanda bahwa badai besar baru saja datang dalam kehidupan mereka—dan ini baru permulaan.
___
2.3 Perbedaan Reaksi Dua Keluarga
Begitulah reaksi dari dua keluarga yang berbeda.
Di satu sisi, ada keluarga yang awalnya menolak, namun perlahan mulai menerima meskipun dengan kesulitan. Mereka meyakinkan anak mereka bahwa terkadang, hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan, tetapi bisa tetap dijalani dengan keyakinan dan tanggung jawab.
Di sisi lain, ada keluarga yang bahkan tidak diberi kesempatan untuk menolak. Bukan karena mereka tidak ingin, tetapi karena keputusan sudah ditetapkan sebelum mereka sempat menyuarakan isi hati. Bagi mereka, air mata adalah satu-satunya ungkapan yang mampu menggambarkan perasaan yang begitu dalam—kesedihan, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian tentang masa depan.
Keluarga Rizky mencoba menghadapi semuanya dengan pemahaman dan logika, berusaha meyakinkan bahwa menjalani terlebih dahulu bisa membawa kebijaksanaan di kemudian hari. Sementara itu, keluarga Nabila terhanyut dalam kepedihan, di mana kata-kata terasa tidak lagi cukup untuk menyampaikan perasaan mereka.
Kini, pertanyaan besar masih menggantung di udara.
Apakah mereka berdua akan tetap menjalani pernikahan ini?
Jika pernikahan terjadi, akankah cinta itu tumbuh dan bersemi?
Ataukah ada sesuatu yang lebih besar menanti mereka di depan—sesuatu yang belum mereka ketahui, sesuatu yang bisa mengubah segalanya?
Sebuah bab telah ditutup, tetapi kisah mereka baru saja dimulai.