Dikediaman Rizky
Beberapa hari kemudian
Di dalam rumah, Rizky mengenakan pakaian adat Ulee Balang—busana yang dulunya hanya dipakai oleh para bangsawan kerajaan Aceh. Kini, pakaian itu bebas digunakan oleh siapa saja, namun tetap memancarkan keanggunan dan wibawa. Topi panjang khas Aceh yang menghiasi kepalanya menambah kesan elegan, sementara rencong yang terselip di pinggangnya memberikan aksen yang mencerminkan asal-usulnya.
Pernikahan akan dilangsungkan di kediaman mempelai wanita, sehingga Rizky bersiap untuk berangkat. Pak Ismail dan Ibu Annisa berada di mobil yang berbeda, berjalan di depan seperti mengawal rombongan pengantin pria. Rizky sendiri menaiki mobil bersama empat sahabatnya, Ahmad, Rayan, Zikri, dan Qadir, teman-teman dari negeri jiran yang tengah menuntut ilmu di universitas yang sama dengannya.
"Ayo, Rizky, kamu ikut mobil belakang sama Kawan-kawanmu. Bapak sama Ibu di depan," ujar Pak Ismail sambil membuka pintu mobil yang dikendarainya.
Rizky berjalan kearah kendaraan yang akan dia gunakan.
Teman-temannya menyambut Rizky dengan sorak-sorai.
Sembari Mempersilahkan Rizky duduk di dalam mobil itu.
"Akhirnya, jadi pengantin juga kau, ya!" seru Rayan dengan dialek khasnya.
"Iye, kapan pula giliran kita ni?" timpal Zikri sambil tertawa.
"Kenapa kau mau kawin cepat-cepat? Masih kuliah lagi," Ahmad meledek sambil menyetir.
"Apa boleh buat, Bapak sudah ambil keputusan," jawab Rizky pasrah.
"Tak baik melawan orang tua. Kau nak jadi anak durhaka ke?" tambah Qadir, disambut gelak tawa mereka.
Perjalanan Yang Tertunda
Perjalanan yang awalnya terasa biasa berubah menjadi tantangan ketika hujan deras mengguyur. Jalanan menjadi licin, dan lalu lintas tersendat. Ketika rombongan melewati jembatan kayu tua, air sungai tiba-tiba meluap deras. Arus air menghantam jembatan dan memutus akses jalan di depan mereka.
Di dalam mobil, suasana menjadi kacau. Sebagian panik, sebagian bingung. Rizky menerima panggilan dari Bapak nya.
"Cari rute lain saja. Bapak akan bagikan lokasinya sekarang."
"Baik, Pak," sahut Rizky.
Dengan arahan seadanya, mereka mencoba mencari jalan alternatif. Namun, beberapa kilometer sebelum tiba di lokasi, HP Rizky mati.
"Aduh, HP-ku mati pula," keluh Rizky.
"Kau tahu kita butuh ini. Kenapa tak dicas tadi?" tegur Rayan.
"Lupa aku," jawab Rizky. "Pakai HP-mu saja, Rayan."
"Tak ada, Rizky. Kami semua tak bawa," balas Rayan sambil tertawa kecil.
Mendengar itu Rizky menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya apa yg baru saja dia dengar.
Rayan dan kawan-kawan nya hanya tersenyum kecil.
Mereka memutuskan melanjutkan perjalanan tanpa GPS, dengan keyakinan lokasi sudah dekat. Tanda janur kuning akhirnya terlihat di ujung gang, membuat mereka lega. Namun, wajah Rizky mendadak gugup.
"Kenapa kau takut pula, Rizky?" ledek Rayan. "Masak nak kawin kau gemetar macam ini?"
Mereka tertawa bersama, mencoba menenangkan Rizky.
Kesalahan Fatal Di Pelaminan
Setibanya di area pernikahan, Rizky melangkah perlahan melewati barisan tamu yang berdiri di sepanjang jalan menuju tenda pelaminan. Langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Sorak-sorai tamu undangan, senyum bahagia dari para kerabat, dan alunan musik pernikahan seakan menjadi latar belakang yang samar di telinganya.
Saat mendekati pelaminan, degup jantungnya semakin keras. Napasnya terasa sesak. Namun, seketika dia tertegun. Wajahnya memucat saat matanya menangkap sosok mempelai wanita yang duduk anggun di pelaminan.
"Kenapa Bapak tega melakukan ini padaku?" keluh Rizky dalam hati.
Teman-temannya pun ikut terkejut.
"Astagfirullah," bisik Qadir.
"Alamak, kalau macam ini, awak pilih mati saja," gumam Rayan.
"Kita cabut saja dari sini!" desis Zikri.
Tanpa pikir panjang, mereka berbalik arah dan lari ke mobil. Ahmad, yang menunggu di dalam mobil, kebingungan.
"Ada apa ni? Kenapa kalian balik?" tanyanya.
"Sudah, jalan saja! Cepat-cepat!" jawab Rayan.
Dalam kepanikan, mereka melesat pergi, tanpa menyadari mereka melewati gang dengan janur kuning yang benar.
Kecemasan Di tenda pelaminan
Pak Ismail dan Ibu Annisa mulai resah. "Pak, kok Rizky belum sampai juga, ya? Jangan-jangan salah jalan lagi," ucap Ibu Annisa.
"Tenang, Bapak sudah kasih lokasinya. Saya coba telepon dia lagi," jawab Pak Ismail. Namun, upaya menghubungi Rizky gagal.
Di sisi lain, Nabila "Awalnya, hanya duduk diam, tidak tahu harus merasa apa. Tapi semakin banyak orang yang berbisik di sekitarnya, perasaan malu mulai menguasainya."
"Seiring waktu berlalu, dia merasa seperti menjadi bahan tontonan. Hatinya berkecamuk. Haruskah dia merasa lega atau justru terluka?"
Pelarian ke Bandara Sultan Iskandar Muda
Rizky dan teman-temannya tiba di bandara. Mereka berencana untuk segera membeli tiket setelah memastikan semuanya siap. Di tengah kesibukan, mereka tak sengaja bertemu dengan Heri dan Dian, teman kampus mereka, yang baru saja tiba dari Jakarta.
"Eh, Heri! Dari mana kalian?" tanya Rizky sambil tersenyum.
• "Aku baru pulang kampung nih… sama istri," jawab Heri santai, sambil melirik Dian yang berdiri di sebelahnya.
"Istri?" Rizky melongo. Teman-temannya yang lain juga terkejut.
"Berarti kalian baru menikah?" lanjut Rizky yang masih tak percaya.
"Iya dong!" jawab Heri sambil tertawa kecil bersama Dian.
Keempat teman Rizky langsung bereaksi serempak. "Nikah??" mereka berteriak hampir bersamaan, menatap Heri dengan mata membelalak.
Heri hanya mengangkat bahu dengan santai. "Iya, biasa aja kali. Kenapa kalian kaget gitu, kayak nggak pernah lihat orang nikah aja," candanya sambil tertawa kecil.
Zikri mencoba bicara, tetapi suaranya terbata-bata. "Itu… kamu… eh…"
"Udah, kau diam aja, Zikri!" potong Qadir, menggelengkan kepala.
Namun, Rayan tak tahan untuk ikut bicara. "Eh, Rizky ni kabur kau tau tak, Heri!" serunya tiba-tiba, membuat suasana berubah canggung.
Rizky langsung menunduk, wajahnya memerah menahan malu.
"Rayan! Kau tak boleh cakap macam tu! Tak baik!" tegur Qadir tegas.
"Tapi kan orang-orang dah banyak tau kejadian itu," balas Rayan sambil mengangkat bahu.
Heri yang mendengar itu langsung kebingungan. "Loh, kabur kenapa?" tanyanya sambil tertawa kecil.
"Iye lah! Macam mana tak kabur, orang itu pengantin rupa-rupanya macam Mak Lampir!" jawab Rayan dengan logat khasnya, membuat semua orang tertawa terbahak-bahak.
Dian bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya, mencoba menahan tawa. "Aduh, jangan gitu dong, kasian Rizky!" katanya sambil tertawa kecil.
Rizky hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepalanya, berusaha menutupi rasa malunya.
"Udah-udah, jangan bully aku terus!" Rizky mencoba mengalihkan pembicaraan. "Jadi, kapan aku bisa berangkat ini?"
"Oh, jadi jadinya kamu mau ke mana ini?" tanya Heri sambil melirik Rizky.
"Aku mau ke Jakarta, ke tempat saudara," jawab Rizky singkat.
"Cuma dia sorang, kami ni Cuma jadi tim penyelamat je!" sela Rayan sambil tertawa kecil.
"Oh gitu…" Heri mengangguk sambil menatap Rizky. "Ibumu sudah tahu kamu di sini?" tanyanya.
"Mana je…" gumam Rayan, menyindir Rizky.
Rizky terdiam sejenak, tampak termenung memikirkan jawaban itu. Lalu, ia mendesah pelan dan berkata, "Oh iya, Heri. Aku mau minta tolong, nih."
"Tolong apa? Boleh, kok," sahut Heri dengan ramah.
"Tolong bawakan ini ke rumahku. Trus bilang ke ibuku kalau aku pergi ke Jakarta," kata Rizky sambil menyerahkan sebuah tas kecil.
"Oh, baik. Ada lagi yang perlu aku sampaikan?" tanya Heri.
"Sepertinya itu aja dulu, Her," ucap Rizky sambil tersenyum tipis.
"Baiklah kalau begitu, aku cabut dulu ya. Biar kamu bisa segera beli tiket. Jangan sampai kehabisan, Bro," ujar Heri.
"Terima kasih ya, Her. Maaf udah ngerepotin," kata Rizky dengan tulus.
"Biasa aja, Bro. Jaga diri ya. Bye!" Heri melambaikan tangan, lalu berjalan pergi bersama Dian.
Rizky hanya bisa menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melangkah ke babak baru kehidupannya.
Rizky segera memesan tiket penerbangan, tetapi jadwal ke Jakarta sudah penuh. Pilihan yang tersedia hanya ke Kuala Lumpur.
"Baiklah, saya ambil itu," kata Rizky. Teman-temannya pun ikut memesan tiket dengan alasan ingin pulang kampung.
"Iya, sekalian kami temani kau. Kau tinggal di rumah kami saja," kata Rayan. Rizky hanya mengangguk pasrah.
Di tenda pelaminan
Kegaduhan mulai terjadi. Para tamu bertanya-tanya tentang keberadaan Rizky. Pak Ismail dan Ibu Annisa merasa semakin tertekan, apalagi menghadapi Pak Anwar, sahabat mereka. Akhirnya, kedua keluarga sepakat menunda pernikahan untuk sementara waktu.
Mempelai wanita, meski lega, merasa malu. Perasaan campur aduk antara bahagia dan sedih memenuhi hatinya. Dia hanya bisa menunduk dan menahan air mata, menyadari bahwa ini akan menjadi buah bibir masyarakat
Heri dan Dian
"Yang, ini gimana ya? Kita kos dulu, mandi, beres-beres, baru ke rumah Rizky? Atau langsung aja?" tanya Heri sambil melirik istrinya.
"Jangan, Yang. Kita langsung aja ke rumah Rizky. Kasihan ibunya nanti kepikiran. Rizky kan nggak ngabarin ibunya," jawab Dian dengan nada lembut.
"Oh iya, bener juga. Yaudah, kita langsung ke sana," sahut Heri, lalu tersenyum tipis melihat wajah bahagia istrinya.
Di Rumah Ibu Annisa
Sore hari, Ibu Annisa tampak gelisah di ruang tamu. Wajahnya terlihat lebih banyak dihiasi kerutan kekhawatiran daripada rasa malu akibat kejadian yang baru saja menimpa keluarganya. Ia terus memukul bantal sofa kecil di tangannya, sambil sesekali bergumam.
"Bagaimana ini, Pak? Anak kita kenapa belum ada kabar juga? Nanti kenapa-napa, bagaimana?" ucap Ibu Annisa cemas.
"Sudahlah, Bu. Anak kita sudah besar. Jangan mikir yang aneh-aneh, nanti malah kejadian beneran," sahut Pak Ismail mencoba menenangkan.
Namun, ucapan Pak Ismail tak mampu meredakan kegelisahan istrinya. Tiba-tiba terdengar suara salam dari luar rumah.
"Assalamu'alaikum," suara itu terdengar jelas.
Ibu Annisa segera berdiri. "Wa'alaikumsalam," jawabnya sambil berjalan ke arah pintu. Saat membuka pintu, ia terlihat bingung, lalu berkata, "Nak Heri?"
"Iya, Bu. Saya Heri," jawab Heri sopan.
"Masuk, masuk, Nak. Maaf ya, rumah agak berantakan," ujar Ibu Annisa ramah.
"Oh, nggak apa-apa, Bu," balas Heri sambil tersenyum kecil.
Percakapan dengan Pak Ismail dan Ibu Annisa
Di ruang tamu, Pak Ismail mulai mengobrol dengan Heri sementara Ibu Annisa ke dapur untuk membuat minuman.
"Kalian dari mana, Nak?" tanya Pak Ismail.
"Kami baru pulang kampung, Pak," jawab Heri.
"Dari Jakarta?"
"Iya, Pak, dari Jakarta."
"Berapa lama di kampung?"
"Hampir dua bulan, Pak."
"Lama juga ya. Nikah ya?" Pak Ismail tersenyum kecil.
"Iya, Pak," jawab Heri sambil melirik Dian yang duduk di sebelahnya.
Tak lama, Ibu Annisa kembali dengan membawa minuman. "Sudah menikah ya?" tanyanya sambil meletakkan gelas di meja.
"Iya, Bu," jawab Heri sopan.
Raut wajah Ibu Annisa terlihat berubah seketika. Ada kesedihan samar yang tak bisa disembunyikan. Heri yang peka mulai mengalihkan pandangan ke sekitar ruang tamu, melihat hiasan dan dekorasi yang masih tertata rapi.
"Ini lagi habis acara, Bu?" tanya Heri hati-hati.
Dengan suara lamban, Ibu Annisa menjawab, "Iya, Nak. Tadi sempat ada acara…" Ibu Annisa mulai bercerita perlahan tentang penundaan pernikahan Rizky, matanya berkaca-kaca.
Heri mengangguk penuh empati. Ia merogoh tas yang dibawanya, lalu menyerahkannya kepada Ibu Annisa. "Oh iya, Bu. Tadi pas di bandara saya ketemu Rizky. Dia nitip ini buat Ibu," katanya.
"Oh, jadi dia ke Jakarta?" tanya Ibu Annisa, nada suaranya mulai tenang.
"Benar, Bu," jawab Heri.
Pak Ismail pun tertawa kecil, "Nah, kan! Makanya jangan mikir yang aneh-aneh dulu."
"Namanya juga seorang ibu, Pak. Perasaan itu pasti paling depan," timpal Dian sambil tersenyum.
Ibu Annisa ikut tersenyum, wajahnya kini lebih cerah. "Terima kasih ya, Nak Heri, Dian. Kalau bukan kalian, Ibu pasti masih khawatir."
Akhir Percakapan
"Yaudah, Bu, Pak, kami pamit dulu. Badan udah nggak enak, pengen mandi dan istirahat," kata Heri sambil bersiap berdiri.
"Oh iya, Nak. Terima kasih banyak ya. Ibu sekarang sudah tenang," ucap Ibu Annisa penuh rasa syukur.
"Sama-sama, Bu," jawab Heri. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," balas Bu dan Pak Ismail serempak.
___
Hari ini terasa begitu singkat. Kepanikan, keputusasaan, dan kebingungan berlalu dalam sekejap, seakan hanyut bersama hiruk-pikuk pelarian yang tergesa-gesa. Namun, luka di hati tidak akan semudah itu memudar. Ia tetap tinggal, mengendap di dasar perasaan, menunggu waktu untuk benar-benar disadari.
Di tempat lain, Nabila masih terdiam di dalam kamar nya. Tatapan kosongnya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.
Bagaimana nanti ia menjalani hari-hari berikutnya?
"Apakah luka ini akan membekas selamanya?"
Ataukah waktu akan membawanya pada jawaban yang selama ini ia cari?
Tak ada yang tahu. Hanya waktu yang akan menjawabnya.