4.1 Luka Yang Terbuka
Tanpa pikir panjang, Nabila mencoba menjalani aktivitas seperti biasa. Sehari setelah pembatalan pernikahannya, ia memutuskan tetap berangkat kuliah. Dalam pikirannya, semua orang di kampus tidak akan tahu apa yang terjadi. Lagipula, acara pernikahan itu hanya dihadiri keluarga besarnya saja.
Namun, setibanya di kampus, ia mulai merasakan sesuatu yang janggal. Beberapa mahasiswa tampak berkumpul sambil berbisik-bisik, sesekali melirik ke arahnya. Meskipun hatinya gelisah, ia tetap berusaha berpikir positif. Mungkin ini hanya kebetulan. Mereka hanya melihat karena aku baru datang, pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Saat berjalan menuju ruang kelas, langkah Nabila terhenti di tangga kampus. Ia mendengar sekelompok mahasiswa sedang berbincang.
"Ada yang tahu nggak? Katanya ada seorang wanita yang ditinggal pergi pengantin prianya!"
"Oh ya? Kapan itu?"
"Baru kemarin. Dengar-dengar sih, pengantin prianya kabur karena wanita itu jelek dan tua, hahaha!"
"Pantas saja kabur!"
"Lalu, dia kabur ke mana?"
"Katanya ke Jakarta. Heri lihat dia di bandara kemarin."
"Serius? Aduh, kasihan juga ya, tapi lucu sekali!"
Mereka tertawa tanpa menyadari bahwa Nabila mendengar setiap kata yang mereka ucapkan.
Langkah Nabila mendadak terhenti. Ia tidak lagi berani melanjutkan ke ruang kelas. Dengan cepat, ia memutar arah, melewati kerumunan tersebut.
"Permisi," ucapnya singkat sambil menunduk.
"Iya, silakan," jawab salah satu dari mereka, sementara yang lain mulai saling melirik.
"Kenapa dia tiba-tiba pergi begitu?" bisik seseorang.
"Nggak tahu. Aneh ya?" sahut yang lain.
Nabila berjalan cepat meninggalkan kampus, menunduk agar wajahnya tak terlihat. Napasnya berat, dadanya sesak, tapi ia terus melangkah. Sesekali, ia mengedip cepat, menahan air mata yang hampir jatuh.
Di dalam bus, ia duduk di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Tangannya menggenggam erat rok, rahangnya mengatup. Matanya berkabut, tetapi ia terus menahan, menarik napas dalam-dalam agar isakannya tidak pecah di tempat umum.
Begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar, menutup pintu rapat. Seketika tangisnya meledak. Tubuhnya ambruk di ranjang, air matanya akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung lagi.
Ibu Nuraini, yang mendengar isak tangis dari dalam kamar, segera menghampiri putrinya. "Nabila, kenapa, Nak?"
"Mak… Saya pikir semuanya akan baik-baik saja," ucap Nabila di sela-sela tangisnya. "Tapi Nabila jadi bahan omongan di kampus. Saya tidak mau kuliah di sana lagi, Mak. Saya malu…"
Ibu Nuraini memeluk erat putrinya, berusaha menenangkan. "Sudah, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu akan melewati semua ini."
Setelah beberapa saat, Nabila mulai tenang. Ibu Nuraini pun berkata, "Bagaimana kalau kamu pergi dulu ke luar kota? Mungkin ke Jakarta? Kan di sana ada saudara Mamak."
Mendengar itu, Nabila terdiam sejenak, lalu kembali menangis.
"Saya tidak mau ke Jakarta, Mak! Tidak mau!"
Pikirannya langsung teringat ucapan orang-orang di tangga kampus, tentang pengantin pria yang kabur ke Jakarta. Masa aku harus menyusul dia? Ih, ogah! Najis!
Ibu Nuraini mencoba menenangkan. "Ya sudah, kalau kamu tidak mau ke Jakarta, kan bisa ke tempat lain. Ada Batam, Lombok, Bali, atau Kuala Lumpur. Pilih saja mana yang kamu suka."
Nabila menghapus air matanya dan tiba-tiba teringat teman lamanya, Cindy, yang tinggal di Kuala Lumpur. Wajahnya sedikit cerah.
"Oh iya, Cindy…" gumamnya sambil meraih ponsel.
Dengan suara masih terisak, ia menelepon temannya.
"Cin…"
"Hello, Nabila! Lama tak calling aku. Kamu kenapa? Kok suara sikit berbeza? Kau ada masalah ke?" Cindy langsung menyadari perubahan nada suara Nabila.
"Iya, Cin. Aku mau pergi ke sana. Bisa nggak aku tinggal di rumahmu sebentar?"
"Oh, tak masalah lah! Kirim saja jadwal tiketnya, nanti aku jemput. Oke?" jawab Cindy dengan ramah.
"Terima kasih ya, Cin."
"Tak apa-apa. Kau tenang saja."
Setelah menutup telepon, Nabila menatap ibunya dan mengangguk pelan.
"Saya mau ke rumah Cindy, Mak."
"Ya sudah, kalau begitu, kamu beres-beres dulu. Nanti Mamak bantu siapkan keperluanmu," ucap Ibu Nuraini, senang melihat anaknya mulai menemukan semangat baru.
Nabila tersenyum tipis. "Makasih, Mak. Saya siap-siap dulu, ya."
Dengan itu, Nabila mulai merapikan barang-barangnya, bersiap memulai babak baru kehidupannya di tempat yang jauh dari kampus dan kenangan pahitnya.
4.2 Angin Baru, Langit Berbeda
Kuala Lumpur
"Semalam kau tidur di mana, Rizky?" tanya Kakak Rosalia—atau biasa dipanggil Kak Ros—sambil melirik Rizky yang duduk santai di pendopo.
"Rizky tidur di rumahku, Kak Ros," jawab Rayan cepat, bahkan sebelum Rizky sempat membuka mulut.
"Eh, kenapa tak tidur di villa saja? Kan lebih elok, seronok," ucap Kak Ros dengan logat khas Malaysia yang lembut namun penuh penasaran.
"Macam mana nak tidur kat sana, Kak Ros? Kuncinya Kak Ros yang pegang," sahut Rayan, mencoba membela diri.
"Nah, itulah kau bodohnya! Kenapa kau tak bilang? Tak ada mulutkah, kau buat cakap?" Kak Ros menjawab dengan nada setengah kesal, matanya melirik Rayan tajam.
"Bukan macam itu, Kak Ros," ujar Rayan cepat-cepat. "Kutengok Kak Ros tidur terlelap, tak enak aku bangunkan."
"Ah, banyak alasan je kau ni!" Kak Ros menghela napas panjang, tetapi senyum tipis mulai muncul di wajahnya. "Ya sudah, kau ambil barang-barang Rizky. Kita pindah ke villa sekarang."
Setelah sampai di villa, Kak Ros menjelaskan, "Di atas ada dua kamar kosong. Kau pakai saja kamar nomor dua, biar budak-budak ni di kamar bawah."
Namun, ketika melihat Rizky hanya membawa tas kecil, Kak Ros mengernyit. "Eh, mana barang-barang kau? Tak ada bawa baju ke?" tanyanya heran.
"Tidak ada, Kak. Nanti kami beli saja di sini," jawab Rizky santai.
Kak Ros terkekeh mendengar jawaban itu.
"Wah, keren kali kau ini. Itu baru namanya shopping! Pergi tak bawa apa-apa, pulang-pulang penuh itu koper!" candanya sambil tertawa kecil.
"Kak Ros, bisa aja," Rizky ikut tersenyum, sedikit malu-malu.
"Lah, betul kan?" Kak Ros tersenyum lebar sembari membuka pintu kamar villa. "Semua barang di sini masih bagus. Baru kemarin Kakak ganti. Jadi, kau tinggal pakai saja."
Risky melangkah masuk ke kamar yang disediakan.
"Hmm, asyik di sini, Kak Ros," katanya sambil mengamati ruangan yang bersih dan nyaman.
"Iyelah, makanya Kakak marah-marah sama si Rayan tadi," ucap Kak Ros sambil melirik Rayan, yang hanya bisa tersenyum pasrah. "Ini tempatnya seronok, tak ada kau dipusingkan oleh orang-orang lalu-lalang."
"Ya sudah, Kakak tinggal dulu ya," tambah Kak Ros sambil melangkah keluar.
"Iya, Kak. Terima kasih banyak," sahut Rizky sambil tersenyum.
Kak Ros melambaikan tangan sebelum menutup pintu, meninggalkan Rizky dan Rayan yang mulai membereskan barang-barang mereka di villa yang nyaman itu.
Bandar Udara Selangor
Begitu keluar dari gedung kedatangan, Nabila menarik napas panjang. Udara Kuala Lumpur terasa sedikit lebih hangat dibandingkan di kampung halamannya. Hiruk-pikuk bandara dengan suara pengumuman dan langkah kaki yang berlalu-lalang membuatnya sadar: dia benar-benar memulai sesuatu yang baru di sini.
Saat menarik kopernya, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok seorang wanita berkacamata tebal yang sudah dikenalnya. Dari kejauhan, Cindy juga mencari sosok Nabila dengan hijab kehijauan—warna favorit sahabat lamanya itu.
Begitu saling menemukan, Nabila langsung melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Cindy!" serunya, bergegas menghampiri.
Cindy membalas dengan pelukan hangat. Dua sahabat lama yang tak bertemu bertahun-tahun akhirnya bersua kembali.
"Kau makin cantik saja, Nabila," puji Cindy dengan logat khasnya.
"Ah, kamu juga makin cantik," balas Nabila sambil tersenyum.
"Eh, jangan sindir aku! Aku tahu aku tak secantik kau," celetuk Cindy sambil tertawa.
"Ih, Cindy, jangan begitu. Aku jadi nggak enak," ucap Nabila, tersipu.
"Sudahlah, tak usah kau pikirkan. Ayo, kita pergi," ajak Cindy dengan wajah berbinar.
Di Dalam Mobil, Perjalanan ke Villa
Sambil menyetir, Cindy bertanya dengan nada penasaran, "Eh, apa sebab kau sampai kemari, Nab?"
Nabila mulai menceritakan kejadian yang baru saja dilaluinya. Kisah itu membuat Cindy tertawa kecil.
"Alamak, ada saja kau punya cerita," komentar Cindy sambil geleng-geleng kepala.
Nabila tersenyum kecut, terbawa suasana. Beberapa bagian dari ceritanya mengingatkan Nabila akan kejadian yang cukup berat baginya.
"Eh, tak usah kau pusing-pusingkan itu semua. Semua kejadian pasti ada hikmahnya, percayalah sama aku," ujar Cindy dengan suara meyakinkan.
Kata-kata Cindy membuat Nabila sedikit tenang. Ia mulai merasa lebih percaya bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan.
Sampai di Villa
"Ini sikit lagi kita sampai," kata Cindy sambil mengarahkan mobil ke parkiran villa.
"Oh iya, Nab, aku kasih tahu kau. Setelah aku antar kau ke kamar, aku tak bise lama-lama. Ada urusan sikit di luar," ucap Cindy tiba-tiba.
"Ih, kok aku ditinggal, sih, Cin?" tanya Nabila dengan nada sedikit takut.
"Eh, kau jangan cengeng. Aku bukannya lepas kau di tengah hutan. Itu tempat ramai. Selepas urusanku selesai, aku balik lagi ke sini," Cindy menenangkan.
Nabila terdiam, mencoba mencerna penjelasan Cindy.
Mobil akhirnya berhenti di depan villa.
"Dah sampai kita! Ayo turun," kata Cindy sambil mengeluarkan ponselnya.
"Tuut… tuut… Halo, Kak Ros? Aku sudah di depan, cepat sini."
Tak lama, seorang wanita bernama Kak Ros muncul dari pintu utama.
"Eh, ada tamu, ya?" Kak Ros menyapa ramah sambil menjabat tangan Nabila.
"Ini Kak Ros yang menjaga villa. Kalau ada apa-apa, langsung tanya beliau, ya," Cindy memperkenalkan.
Mereka bertiga berjalan menuju kamar yang telah disiapkan. Cindy membuka pintu dan mempersilakan Nabila masuk.
"Nah, ini kamar kau," katanya sambil tersenyum.
Nabila tersenyum lega melihat suasana nyaman di dalam kamar itu.
"Terima kasih, Cin. Kamarnya bagus sekali," ucapnya.
Kak Ros, yang masih berdiri di pintu, berkata, "Sebelah kamar ini ada Rizky."
Cindy spontan terkejut.
"Eh, Rizky? Sejak kapan dia di sini, Kak?"
"Baru tadi pagi dia sampai. Tapi sekarang dia lagi keluar belanja sama kawan-kawannya," jawab Kak Ros.
Cindy melirik Nabila dengan senyum menggoda.
"Wah, macam jodoh saja, ya!" celetuknya.
"Ih, apa sih, Cin!" sahut Nabila, mukanya langsung merona.
Berpisah Sementara
"Oke, Nab, aku tak bisa lama-lama. Aku nak pergi dulu. Kasih peluk aku dulu," kata Cindy sambil membuka tangannya.
Nabila memeluk erat sahabatnya itu.
"Hati-hati di jalan, ya, Cin. Terima kasih banyak."
"Sudahlah, tak payah kau ucap terima kasih!" balas Cindy sambil terkekeh, lalu melangkah pergi meninggalkan Nabila yang kini tersenyum tenang di kamarnya.