---
Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Di bawah langit berbintang, Aidan Everhart berdiri di tepi jurang, menatap reruntuhan kuil tua yang tersembunyi di antara pepohonan raksasa. Cahaya bulan menyinari pilar-pilar batu yang dipenuhi ukiran kuno, sebagian besar telah terkikis oleh waktu.
Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena udara dingin yang menusuk, atau mungkin karena firasatnya yang mengatakan bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar puing-puing sejarah.
Di belakangnya, Hazel Whitmore muncul dengan langkah ragu. Gadis berambut pirang itu memeluk dirinya sendiri, mantel panjangnya tidak cukup tebal untuk menahan hawa dingin di tempat ini. Ia menggigit bibir, jelas tidak nyaman dengan situasi mereka saat ini.
"Aidan, kita benar-benar harus ada di sini?" tanyanya dengan nada penuh keraguan.
Aidan tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada reruntuhan. Seolah ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam kegelapan.
"Kita sudah sejauh ini, Hazel," jawabnya akhirnya. "Legenda tentang Gerbang Takdir… semua petunjuk mengarah ke sini."
Hazel menghela napas panjang. "Tapi kau tahu apa yang dikatakan orang-orang desa. Tidak ada yang pernah kembali dari tempat ini."
Aidan tersenyum tipis. "Itu hanya cerita untuk menakuti anak-anak."
Hazel melotot ke arahnya. "Serius? Kita berada di kuil kuno yang ditinggalkan selama ratusan tahun, di tengah hutan yang katanya terkutuk, dan kau pikir ini hanya cerita anak-anak?"
Aidan tertawa kecil, tetapi dalam hatinya, ia tidak bisa sepenuhnya menyangkal ketakutan Hazel.
Sejak kecil, ia telah mendengar kisah tentang Gerbang Takdir—sebuah portal misterius yang konon menghubungkan dunia manusia dengan dimensi lain. Banyak catatan kuno menyebutkan keberadaannya, tetapi tidak ada yang bisa memastikan apakah itu nyata atau sekadar mitos.
Namun, ketika ia menemukan peta rahasia di arsip kerajaan beberapa bulan lalu, instingnya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan langka.
Dan sekarang, setelah perjalanan berhari-hari melalui hutan lebat dan medan berbatu, mereka akhirnya sampai di sini.
Jejak Masa Lalu
Aidan melangkah maju, menyentuh salah satu pilar batu. Ukiran di permukaannya masih jelas, menggambarkan sosok-sosok berjubah dengan tangan terangkat ke langit, seolah-olah mereka sedang melakukan ritual.
"Tidak kusangka ukirannya masih terjaga dengan baik…" gumamnya pelan.
Hazel mendekat dan menyinari ukiran itu dengan senter. "Ini bukan sekadar ukiran biasa… ini seperti mantra kuno."
Aidan mengangguk. "Dan simbol ini… ini bukan dari bahasa yang kita kenal."
Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan buku catatan serta kuas kecil. Dengan hati-hati, ia mulai membersihkan debu yang menutupi ukiran itu.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari dalam kuil.
Dum… Dum… Dum…
Jantung Aidan berdegup kencang. Hazel langsung mundur beberapa langkah, meraih senter dari sakunya dan menyorotkan cahaya ke dalam reruntuhan.
"Aidan… itu apa?"
Aidan tidak menjawab. Ia mengamati sekeliling dengan cermat. Suara itu terdengar seperti detak jantung yang sangat pelan, bergema dari dalam tanah.
Ia melangkah masuk ke dalam reruntuhan. Hazel ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikutinya.
Di tengah kuil, ada sebuah altar batu besar dengan lingkaran sihir kuno yang terukir di permukaannya. Tepat di tengah lingkaran, terdapat sebuah lubang berbentuk segi enam—seperti tempat untuk meletakkan sesuatu.
Aidan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Itu adalah sebuah pecahan kristal biru yang ia temukan di reruntuhan lain beberapa bulan lalu. Bentuknya pas dengan lubang di altar.
"Jangan bilang kau mau—"
Sebelum Hazel bisa menyelesaikan kalimatnya, Aidan sudah memasukkan kristal itu ke dalam lubang.
Gerbang yang Terbuka
WUSHHH!
Angin tiba-tiba berhembus kuat, membuat Hazel berteriak kecil. Cahaya biru menyala dari altar, menyebar ke seluruh ukiran di lantai dan dinding kuil. Simbol-simbol kuno mulai bercahaya, menyinari ruangan dengan sinar yang berdenyut pelan seperti jantung yang berdetak.
Lalu, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Tepat di depan mereka, di tengah altar, sebuah celah hitam muncul di udara. Celah itu membesar, membentuk pusaran energi berwarna biru dan emas.
Mata Aidan membelalak. "Ini… ini benar-benar portal…"
Hazel menelan ludah, tubuhnya menegang. "Kita harus pergi sekarang juga!"
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, suara dalam dari dalam portal bergema.
"Keturunan Everhart… akhirnya kau datang."
Aidan tersentak.
Bagaimana mungkin suara itu mengenali namanya?
Angin semakin kencang. Hazel berusaha menarik Aidan menjauh, tapi tiba-tiba sesuatu keluar dari portal—sebuah tangan hitam dengan jari-jari panjang dan cakar tajam.
"AIDAN! LARI!!"
Terlambat.
Tangan itu mencengkeram Aidan dan menariknya ke dalam pusaran cahaya. Hazel mencoba meraih tangannya, tapi pusaran energi terlalu kuat.
"AIDANNN!!"
Dunia di sekelilingnya berubah menjadi lautan cahaya yang berputar-putar. Tubuhnya terasa ringan, seolah jatuh ke dalam kehampaan. Suara Hazel semakin menjauh, dan akhirnya semuanya menjadi gelap.
Dunia yang Asing
Saat Aidan sadar, ia merasakan dingin yang menusuk.
Ia berbaring di atas tanah berbatu yang keras. Langit di atasnya berwarna ungu tua, dihiasi bintang-bintang yang tampak lebih besar dari biasanya.
Di sekelilingnya, ada pepohonan raksasa dengan daun berkilauan seperti kristal. Udara terasa asing—beraroma logam dan sihir yang kental.
Aidan perlahan bangkit, kepalanya masih berputar.
Ia tidak tahu di mana ia berada.
Tapi satu hal yang pasti…
Ia bukan lagi di dunia yang ia kenal.
---
Aidan membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, kepalanya terasa berat seolah baru saja dihantam gelombang pasang. Saat kesadarannya kembali, ia merasakan sesuatu yang kasar dan dingin di bawah tubuhnya.
Ia meraba tanah itu dengan tangannya. Batu? Tidak, bukan batu biasa. Permukaannya halus, seperti kristal, tetapi terasa hidup, seperti ada energi yang berdenyut di dalamnya.
Ia bangkit perlahan, mencoba memahami di mana ia berada.
Langit di atasnya berwarna ungu tua, jauh lebih gelap daripada malam di dunia asalnya. Bintang-bintang tampak lebih besar dan bercahaya redup, seolah mereka mengawasi dunia ini dengan tatapan dingin. Di sekelilingnya, pepohonan raksasa menjulang tinggi, dengan daun berkilauan seperti kristal biru. Udara terasa lebih padat, membawa aroma logam dan sesuatu yang asing—seperti campuran tanah basah dan sihir yang terjalin dalam satu kesatuan.
Aidan menggigit bibirnya. Ini… bukan dunia yang aku kenal.
Ia mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Kuil… portal… tangan hitam itu…
"Hazel!" Aidan buru-buru berbalik, tetapi Hazel tidak ada di dekatnya. Ia sendiri.
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia mencoba meraih kantongnya dan meraba-raba isinya. Kompas? Tidak ada. Pisau? Hilang. Yang tersisa hanya pakaian di tubuhnya dan liontin kecil berbentuk matahari yang tergantung di lehernya—warisan keluarganya.
"Aku harus mencari tahu di mana aku berada."
Dengan langkah hati-hati, ia mulai berjalan melewati hutan kristal. Tanah di bawahnya bersinar redup saat ia menginjaknya, seolah-olah medan ini merespons keberadaannya. Semakin jauh ia berjalan, semakin jelas ia merasakan sesuatu—sebuah tarikan energi yang samar, membimbingnya ke suatu tempat.
Sosok di Balik Kabut
Setelah beberapa saat berjalan, Aidan tiba di tepi sebuah danau yang airnya berwarna biru tua. Permukaannya begitu jernih hingga ia bisa melihat bayangannya sendiri dengan jelas.
Namun, saat ia menatap bayangannya…
Ia melihat sesuatu di belakangnya.
Sebuah sosok berjubah hitam.
Refleksi di air itu membuat tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak lebih kencang, tetapi ia berusaha tetap tenang. Dengan perlahan, ia berbalik.
Sosok itu berdiri sekitar lima meter darinya. Tinggi, berjubah hitam, tanpa wajah yang terlihat.
Angin bertiup lebih kencang. Daun-daun kristal bergemerisik, seolah dunia ini pun tahu bahwa sesuatu yang berbahaya sedang terjadi.
Aidan menelan ludah. "Siapa kau?"
Tidak ada jawaban.
Sosok itu hanya berdiri diam, tapi Aidan bisa merasakan tatapan tak kasatmata yang menusuk ke dalam jiwanya.
Dan kemudian, suara itu terdengar.
"Keturunan Everhart… kau akhirnya tiba di dunia yang telah menantimu."
Suara itu bergema langsung di dalam kepalanya, seperti bisikan dari entitas yang tidak memiliki tubuh fisik.
Aidan mengepalkan tinjunya. "Apa maksudmu?"
"Takdir telah memilihmu, seperti yang telah terjadi pada leluhurmu. Kini, kau harus melangkah di jalur yang telah ditentukan."
Aidan mengerutkan kening. "Aku tidak peduli dengan takdir. Aku ingin kembali."
Sosok itu tidak bergerak, tetapi atmosfer di sekitar mereka berubah. Udara terasa lebih berat, dan suara gemuruh samar mulai terdengar dari kejauhan.
"Kembali?" suara itu bergema. "Tidak ada jalan kembali. Gerbang telah terbuka, dan kau telah melangkah melewatinya."
Aidan mundur selangkah. "Jadi kau bilang aku terjebak di sini?"
"Bukan terjebak… tapi dipanggil."
Dan sebelum Aidan bisa bertanya lebih lanjut, sosok itu mengangkat tangannya.
WUSHHH!
Gelombang energi melesat ke arahnya, terlalu cepat untuk dihindari. Tubuh Aidan terdorong ke belakang dan terhempas ke tanah.
Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tetapi sebelum ia bisa bangkit, sosok berjubah itu sudah berdiri di atasnya, menatapnya dari balik kegelapan tudungnya.
"Bangkitlah, Keturunan Everhart. Ujian pertamamu dimulai sekarang."
Ujian Pertama – Bayangan dari Masa Lalu
Tanpa peringatan, sosok berjubah itu mengangkat tangannya lagi. Kali ini, bayangan hitam mulai bermunculan di sekeliling mereka, berubah menjadi makhluk-makhluk humanoid dengan mata merah menyala.
Mereka bergerak cepat, mengepung Aidan dalam sekejap.
"Persetan!" Aidan langsung bangkit dan mundur, mencari celah untuk melarikan diri. Tetapi tidak ada jalan keluar—mereka telah mengurungnya dalam lingkaran sempurna.
Salah satu makhluk itu menyerang lebih dulu. Aidan hanya bisa mengangkat tangannya sebagai pertahanan, tetapi sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Begitu makhluk itu menyentuhnya, liontin di lehernya bersinar terang.
Cahaya keemasan meledak dari tubuh Aidan, menghantam makhluk itu dan melemparkannya ke belakang. Yang lain mundur sedikit, seolah terkejut dengan kejadian itu.
Sosok berjubah hitam mengangguk pelan. "Seperti yang kuduga… kau masih belum menyadari kekuatanmu."
Aidan tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia tidak punya waktu untuk berpikir. Salah satu bayangan itu kembali menyerang. Kali ini, refleksnya lebih cepat. Ia menghindar ke samping dan melayangkan pukulan ke dada makhluk itu.
DARRR!
Pukulan itu menghantam tubuh bayangan itu dengan kekuatan lebih besar dari yang ia duga. Makhluk itu langsung hancur menjadi asap hitam.
Aidan terkejut. Aku tidak sekuat ini sebelumnya…
Tetapi ia tidak boleh lengah.
Dua makhluk lainnya menyerang bersamaan. Aidan melompat ke belakang, mengangkat tangannya secara naluriah—dan tiba-tiba, energi keemasan mengalir dari tubuhnya, membentuk sebuah lingkaran cahaya yang menghentikan serangan mereka.
Sosok berjubah hitam tertawa kecil. "Kekuatanmu mulai terbangun… menarik."
Aidan menggertakkan giginya. "Jika kau ingin mengujiku, setidaknya beri aku senjata!"
Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, sebuah pedang muncul di udara. Aidan menangkapnya dengan sigap.
Saat tangannya menyentuh gagang pedang itu, sesuatu dalam dirinya terasa… benar.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia tiba di dunia ini, ia merasa bahwa ia tidak lagi hanya bertahan—tapi mulai melawan.
Dengan satu tarikan napas, ia melangkah maju.
To be continued…
---