Chereads / Aidan dan Gerbang Takdir / Chapter 5 - Bab 5

Chapter 5 - Bab 5

Aidan terhempas ke tanah keras dengan napas tersengal. Jatuh dari portal bukanlah pengalaman yang menyenangkan, tetapi setidaknya kali ini ia mendarat tanpa cedera serius. Hazel terjatuh tidak jauh darinya, sementara Lyra dengan sigap bangkit, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin ada di sekitar mereka.

Udara di tempat ini berbeda. Lebih berat, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menyelimuti seluruh wilayah. Langit di atas mereka berwarna merah gelap dengan garis-garis cahaya biru yang berpendar di kejauhan.

Aidan berusaha mengatur napasnya dan membantu Hazel berdiri.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Hazel mengangguk, meskipun wajahnya masih pucat. "Ya… tapi di mana kita sekarang?"

Lyra menyipitkan mata, mengamati sekeliling. "Ini bukan tempat yang kukenal. Tapi jelas… bukan dunia kita."

Aidan memperhatikan lingkungan mereka. Tanah di bawah mereka berwarna hitam legam, seperti terbakar, dan ada reruntuhan bangunan tua di sekitar mereka. Udara berbau logam dan sulfur, membuat setiap tarikan napas terasa sedikit menyakitkan.

Mereka berada di tengah reruntuhan kota yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Beberapa pilar besar masih berdiri, tetapi sebagian besar bangunan telah runtuh menjadi puing-puing.

"Apa ini dunia yang sama dengan tempatku terjatuh pertama kali?" gumam Aidan.

Ia mencoba mengingat perjalanannya sejak pertama kali masuk ke portal. Tempat ini memang terasa berbeda dibandingkan dengan hutan yang ia temui sebelumnya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di kejauhan.

Lyra langsung menghunus belatinya, sementara Aidan mencengkeram pedangnya lebih erat.

Dari balik reruntuhan, sosok manusia muncul. Mereka mengenakan pakaian yang terlihat seperti seragam perang, tetapi sudah lusuh dan compang-camping. Wajah mereka penuh goresan dan luka, menunjukkan bahwa mereka telah melalui pertempuran panjang.

Salah satu dari mereka, seorang pria dengan janggut tipis dan mata tajam, mengangkat tangan sebagai tanda damai.

"Kalian bukan dari sini, bukan?" suaranya serak, tetapi jelas penuh kewaspadaan.

Aidan ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya. Kami terseret ke tempat ini melalui portal."

Pria itu saling bertukar pandang dengan rekan-rekannya, sebelum kembali menatap mereka. "Kalau begitu, kalian dalam bahaya."

Hazel menelan ludah. "Apa maksudmu?"

Pria itu mendekat sedikit, tetapi tetap menjaga jarak aman. "Tempat ini adalah perbatasan terakhir. Kami menyebutnya 'Ambang Senja.' Ini adalah medan perang antara dua kekuatan besar yang sedang bertarung demi menguasai dunia ini."

Aidan mengerutkan kening. "Dua kekuatan?"

Pria itu mengangguk. "Kaum Seraphim dan kaum Abyssal. Sejak bertahun-tahun lalu, perang mereka telah menghancurkan hampir semua wilayah di dunia ini. Sekarang, yang tersisa hanyalah reruntuhan… dan kami, para penyintas."

Hazel menggigit bibirnya. "Lalu… bagaimana dengan kita? Apa yang akan terjadi pada kita jika kita tetap di sini?"

Pria itu menatap mereka lekat-lekat. "Jika kalian ditemukan oleh salah satu dari dua faksi itu… kalian harus memilih. Bergabung dengan salah satu pihak, atau mati."

Aidan merasakan ketegangan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dunia ini lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan.

Tetapi di balik semua itu, ada satu hal yang mengganggu pikirannya.

Mengapa ia terseret ke dalam dunia ini?

Dan yang lebih penting…

Apa hubungannya dengan perang yang sedang berlangsung di sini?

---

Aidan menatap pria di depannya dengan penuh kewaspadaan. Kata-katanya masih menggema di dalam kepalanya—perang antara dua kekuatan besar, Seraphim dan Abyssal. Dunia ini bukan hanya sekadar tempat asing, tetapi juga medan pertempuran yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Aidan, suaranya tenang namun tegas.

Pria itu menghela napas panjang. "Kami tidak tahu kapan tepatnya perang ini dimulai. Sebagian besar dari kami lahir di tengah kehancuran ini. Yang kami tahu hanyalah bahwa Seraphim dan Abyssal telah bertarung selama berabad-abad, dan setiap kali salah satu pihak hampir menang, keseimbangan kembali berubah."

Aidan melirik Hazel dan Lyra, mencoba membaca ekspresi mereka. Hazel masih tampak cemas, sementara Lyra terlihat lebih waspada daripada sebelumnya.

"Apa yang menyebabkan perang ini?" tanya Hazel.

Pria itu ragu sejenak sebelum menjawab, "Kekuatan. Seraphim percaya bahwa mereka adalah penguasa sah dunia ini, makhluk-makhluk yang membawa cahaya dan keteraturan. Abyssal, di sisi lain, adalah makhluk kegelapan yang menginginkan kebebasan tanpa batas. Mereka bertarung bukan hanya demi kekuasaan, tetapi juga demi ideologi mereka masing-masing."

Aidan menyipitkan matanya. "Dan kalian? Kalian bukan bagian dari salah satu faksi itu?"

Pria itu tersenyum pahit. "Kami adalah mereka yang terjebak di tengah. Kami yang kehilangan rumah, keluarga, dan kehidupan kami karena perang mereka. Kami tidak bisa melawan mereka secara langsung, tetapi kami juga tidak bisa bergabung dengan salah satu pihak tanpa mengkhianati diri kami sendiri."

Suasana menjadi sunyi sejenak.

Lyra melangkah maju. "Jika memang perang ini telah berlangsung selama ratusan tahun, bagaimana kalian bisa bertahan?"

Pria itu menatapnya tajam. "Dengan bersembunyi, berpindah-pindah, dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk bertahan hidup. Kami bukan pejuang, kami hanya orang-orang yang ingin tetap hidup di dunia yang telah melupakan kami."

Aidan merasakan kepalan tangannya mengencang. Dunia ini begitu berbeda dari tempat asalnya. Jika apa yang dikatakan pria ini benar, maka ia dan teman-temannya berada dalam bahaya besar.

"Di mana tempat teraman di dunia ini?" tanyanya.

Pria itu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Tempat teraman? Tidak ada yang benar-benar aman di sini. Tapi jika kau ingin menghindari pertempuran langsung, kami bisa membawamu ke perkemahan kami. Itu bukan tempat yang sempurna, tetapi setidaknya lebih baik daripada berkeliaran sendirian di reruntuhan ini."

Aidan bertukar pandang dengan Hazel dan Lyra. Tidak ada pilihan lain.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Bawa kami ke sana."

Pria itu mengangguk dan memberi isyarat kepada yang lain untuk bergerak. Mereka mulai berjalan melalui puing-puing kota yang hancur, melewati jalanan yang ditumbuhi tanaman liar dan bangunan yang hampir roboh.

Saat mereka berjalan, Aidan memperhatikan sekeliling. Ada tanda-tanda pertempuran di mana-mana—bekas luka di tanah, dinding yang hangus terbakar, bahkan sisa-sisa armor yang telah ditinggalkan begitu saja.

"Seberapa sering pertempuran terjadi di sini?" tanyanya.

Pria itu tidak langsung menjawab, tetapi salah satu orang di belakangnya menjawab dengan nada getir, "Sering. Kadang kami bisa melewati beberapa bulan dengan tenang, tetapi kadang perang meletus begitu cepat hingga kami tidak sempat melarikan diri."

Aidan mengangguk pelan. Dunia ini benar-benar brutal.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar yang tersembunyi di balik bukit berbatu. Di dalamnya, ada puluhan orang—laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak. Beberapa dari mereka sedang memperbaiki pakaian, yang lain menyiapkan makanan dari bahan seadanya.

Ketika Aidan dan yang lainnya masuk, beberapa orang langsung menatap mereka dengan curiga.

"Siapa mereka?" seorang pria tua dengan jubah lusuh bertanya dengan suara berat.

"Orang luar," jawab pria yang membawa Aidan. "Mereka terseret ke dunia ini melalui portal. Sepertinya mereka juga bukan bagian dari Abyssal maupun Seraphim."

Pria tua itu mengamati Aidan dengan seksama. "Apa kau punya alasan untuk datang ke dunia kami?"

Aidan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tidak. Aku tidak pernah berniat untuk datang ke sini. Aku hanya mencari jawaban tentang Gerbang Takdir, dan entah bagaimana aku berakhir di sini."

Pria tua itu mengangguk perlahan, seolah memahami sesuatu. "Gerbang Takdir… sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu."

Aidan menegang. "Kau mengenalnya?"

"Ya," pria tua itu menghela napas panjang. "Dan jika kau benar-benar terseret ke dunia ini karena gerbang itu, maka takdirmu jauh lebih besar dari yang kau bayangkan."

Hazel menatap Aidan dengan khawatir, sementara Lyra terlihat semakin tertarik.

"Apa maksudmu?" tanya Aidan.

Pria tua itu tidak langsung menjawab. Ia menatap nyala api di depannya, seolah mengingat sesuatu dari masa lalu.

"Ada banyak legenda tentang Gerbang Takdir," katanya pelan. "Sebagian besar menganggapnya sebagai mitos, tetapi mereka yang benar-benar memahami sejarah dunia ini tahu bahwa gerbang itu adalah sesuatu yang nyata. Dan mereka yang dipilih oleh gerbang… memiliki peran yang sangat penting dalam keseimbangan dunia."

Aidan merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Peran seperti apa?"

Pria tua itu menatapnya dengan serius. "Itu yang harus kau temukan sendiri."

Aidan mengepalkan tangannya. Ia tidak suka jawaban yang samar. Tetapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, suara teriakan terdengar dari luar gua.

"SERAPHIM! MEREKA MENYERANG!"

Semua orang di dalam gua langsung panik. Beberapa orang tua segera membawa anak-anak ke tempat yang lebih aman, sementara para pria muda mengangkat senjata seadanya.

Aidan bergegas keluar bersama Lyra dan Hazel. Dari kejauhan, ia bisa melihat cahaya terang mendekat dengan cepat—barisan prajurit bersayap putih dengan armor berkilauan, membawa tombak yang bersinar dengan energi suci.

Seraphim telah menemukan mereka.

Lyra langsung menghunus belatinya, sementara Hazel mencengkeram tongkat sihirnya dengan erat.

"Ini bukan saatnya berdebat!" seru Lyra. "Kita harus bertarung atau kabur!"

Aidan menatap pasukan yang mendekat, pikirannya bekerja cepat.

Dunia ini berada di ambang kehancuran.

Dan sekarang, ia berada tepat di tengah-tengahnya.

To be continued…