Chereads / Aidan dan Gerbang Takdir / Chapter 10 - Bab 10

Chapter 10 - Bab 10

Pertarungan antara Aidan dan makhluk kegelapan itu mengguncang seluruh kuil. Cahaya biru dari pedang warisan Everhart beradu dengan bayangan pekat yang menyelimuti makhluk tersebut. Setiap tebasan Aidan meninggalkan jejak bercahaya di udara, memaksa lawannya untuk terus bergerak menghindar.

Kael dan Hazel masih terpaku melihat duel itu, tidak percaya bahwa Aidan mampu bertahan melawan sosok yang begitu kuat.

"Kael! Kita tidak bisa hanya diam!" Hazel berkata, menggenggam tongkat sihirnya erat.

Kael mengangguk, meskipun tubuhnya masih terasa berat akibat serangan sebelumnya. "Aku akan mencari celah! Kau siapkan serangan sihirmu!"

Sementara itu, Aidan terus menyerang dengan pola yang semakin agresif. Ia menebas ke samping, berputar, lalu menebas ke bawah, memaksa makhluk itu mundur. Namun, meskipun terkena beberapa serangan, lawannya tetap tersenyum.

"Kau mulai membuktikan dirimu layak, bocah Everhart." Suara makhluk itu terdengar dalam dan bergema, seakan berasal dari dalam kegelapan itu sendiri.

Aidan tidak menjawab. Napasnya memburu, tetapi tatapannya tetap tajam.

Makhluk itu mengangkat tangannya, dan bayangan di tanah mulai berkumpul menjadi tombak hitam pekat. "Mari kita lihat apakah kau bisa menahan ini."

Dengan gerakan cepat, ia melemparkan tombak itu ke arah Aidan.

SRAK!

Aidan menangkisnya dengan pedangnya, tetapi dampaknya membuatnya terpental ke belakang beberapa meter. Ia menghantam pilar batu sebelum jatuh ke tanah, merasakan sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya.

"Ugh…" Aidan berusaha bangkit, tetapi makhluk itu sudah bergerak.

Dalam sekejap, sosoknya muncul tepat di hadapan Aidan dan menghantamnya dengan pukulan kuat.

BOOM!

Aidan kembali terlempar, tubuhnya menghantam lantai batu dengan keras. Debu berhamburan di sekelilingnya.

"Aidan!!" Hazel berteriak, matanya penuh ketakutan.

Kael menggeram. "Sial, kita harus bertindak sekarang!"

Tanpa ragu, Kael melompat ke depan, mencoba menusukkan belatinya ke punggung makhluk itu. Namun, seolah bisa membaca gerakannya, makhluk itu berbalik dan menangkap tangannya di udara.

"Usaha yang bagus," katanya dingin.

Lalu, ia melemparkan Kael ke samping dengan mudah, membuatnya menghantam dinding kuil.

Hazel yang melihat itu langsung merapal mantra. "Sihir Cahaya: Prism Barrage!"

Dari ujung tongkatnya, beberapa bola cahaya terbentuk dan meluncur ke arah makhluk itu dalam kecepatan tinggi.

Makhluk itu mendengus. Dengan satu gerakan tangan, bayangan pekat membentuk perisai di hadapannya dan menyerap semua serangan sihir Hazel.

Hazel menggertakkan giginya. "Sama sekali tidak berpengaruh…"

Makhluk itu menoleh ke arahnya dan mulai melangkah maju. "Giliranku."

Tangan makhluk itu mengangkat, dan bayangan mulai mengelilingi Hazel, membentuk rantai yang berusaha mengikat tubuhnya.

Hazel mencoba bergerak, tetapi kakinya terasa berat. "Tidak…!"

Saat rantai itu hampir mencengkeramnya—

WUSHH!

Sebuah cahaya biru terang tiba-tiba bersinar dari arah Aidan.

Hazel dan makhluk itu menoleh secara bersamaan.

Aidan kini berdiri tegak, tetapi ada sesuatu yang berbeda darinya. Pedangnya bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan tatapan matanya dipenuhi determinasi yang lebih kuat.

Aura biru yang mengelilinginya semakin menguat, membuat debu di sekelilingnya berputar.

Makhluk itu memperhatikan perubahan ini dengan penuh ketertarikan. "Oh? Kau akhirnya menunjukkan kekuatan aslimu?"

Aidan tidak menjawab. Ia hanya menggenggam pedangnya lebih erat, dan dalam sekejap—

SWOOSH!

Ia menghilang.

Makhluk itu hanya sempat membelalakkan matanya sebelum Aidan muncul di hadapannya dengan kecepatan luar biasa.

Tebasan pertama.

Sebuah luka dalam terbentuk di dada makhluk itu, darah hitam menyembur keluar.

Tebasan kedua.

Salah satu tanduk makhluk itu terpotong, jatuh ke tanah.

Makhluk itu berusaha melawan, tetapi sebelum bisa menyerang balik, Aidan sudah berada di atasnya.

Tebasan ketiga.

Pedang Aidan menembus salah satu sayapnya, membuatnya mengeluarkan raungan kesakitan.

Aidan mendarat di tanah, mengarahkan pedangnya ke makhluk itu yang kini berlutut dengan tubuh penuh luka.

Kael dan Hazel hanya bisa menatap dengan takjub.

"Kekuatan itu…" Kael bergumam.

Hazel menggenggam dadanya, merasa sesuatu bergetar dalam dirinya. "Itu bukan kekuatan biasa…"

Makhluk itu mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya mulai bergetar karena luka yang dideritanya.

"Menarik…" katanya dengan suara serak. "Sepertinya aku harus mundur untuk saat ini."

Tiba-tiba, bayangan mulai berkumpul di sekeliling tubuhnya, membungkusnya seperti kabut hitam yang berputar.

Aidan langsung melangkah maju, bersiap menghabisinya. "Jangan berpikir kau bisa kabur!"

Namun, sebelum ia bisa menyerang lagi, makhluk itu tersenyum lemah.

"Akan ada waktu lain untuk kita bertemu, Aidan Everhart…"

Dan dalam sekejap, sosoknya menghilang, meninggalkan jejak bayangan yang perlahan memudar.

Aidan tetap berdiri di tempatnya, napasnya masih berat.

Kael perlahan berdiri dan berjalan mendekat. "Kau baik-baik saja?"

Aidan menurunkan pedangnya dan mengangguk. "Ya…"

Hazel mendekat dengan wajah khawatir. "Apa yang barusan itu, Aidan? Kekuatannya… itu bukan sihir biasa."

Aidan menatap pedangnya yang masih bersinar samar. "Aku juga tidak tahu… tetapi aku bisa merasakan sesuatu membangkitkan kekuatan ini dari dalam diriku."

Kael mendesah. "Yang jelas, kita berhasil membuatnya mundur… untuk saat ini."

Hazel menatap ke arah tempat di mana makhluk itu menghilang. "Tapi… aku punya firasat ini baru permulaan."

Aidan mengangguk pelan. "Ya… dan kita harus bersiap untuk pertempuran yang lebih besar."

Di langit, bulan merah masih bersinar samar, seolah menjadi pertanda bahwa kegelapan belum sepenuhnya hilang.

Namun satu hal yang pasti—

Aidan Everhart baru saja mengambil langkah pertamanya menuju takdirnya yang sebenarnya.

---

Suasana di kuil masih dipenuhi sisa-sisa energi dari pertarungan tadi. Udara terasa berat, dan aroma ozon bercampur dengan bau darah masih menguar di sekeliling mereka. Batu-batu yang retak akibat pertarungan berserakan di lantai, menciptakan pemandangan yang menunjukkan betapa dahsyatnya pertempuran yang baru saja terjadi.

Aidan masih menggenggam pedangnya dengan erat, meskipun cahaya biru yang menyelimuti bilahnya mulai meredup. Tangannya sedikit gemetar—bukan karena ketakutan, tetapi karena tubuhnya masih beradaptasi dengan energi yang baru saja terbangun dalam dirinya.

Kael berjalan mendekatinya, melihat luka-luka di tubuh Aidan. "Kau yakin baik-baik saja?"

Aidan mengangguk pelan, meskipun napasnya masih berat. "Aku bisa bertahan. Tapi… apa yang terjadi barusan?"

Hazel melangkah maju, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran dan rasa penasaran. Ia menatap pedang yang masih digenggam Aidan, lalu ke arah mata pria itu yang tadi sempat bersinar biru selama pertarungan.

"Itu bukan sihir biasa," katanya pelan. "Aku bisa merasakan auranya… sesuatu telah bangkit dalam dirimu, Aidan."

Aidan menatap pedangnya, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Aku tidak tahu bagaimana, tapi… rasanya seperti ada kekuatan yang mengalir begitu saja dalam tubuhku. Gerakanku lebih cepat, refleksku lebih tajam. Dan pedang ini… rasanya seperti hidup."

Kael menghela napas. "Itu bukan hal yang wajar. Pedang itu jelas memiliki sesuatu yang tersembunyi. Jika memang ini warisan dari keluargamu, mungkin sudah saatnya kau mencari tahu lebih dalam."

Aidan mengangguk. Selama ini, ia hanya menganggap pedang Everhart sebagai pusaka biasa—sebuah peninggalan yang diwarisi turun-temurun. Tapi setelah kejadian tadi, jelas bahwa pedang ini lebih dari sekadar senjata biasa.

Hazel berjongkok dan menggambar pola di tanah dengan jarinya. "Aku ingat sesuatu dari buku yang pernah kubaca di akademi. Ada legenda tentang pedang yang hanya bisa membangkitkan kekuatannya ketika pemiliknya berada dalam situasi hidup dan mati."

Kael mengernyit. "Kau bilang 'membangkitkan kekuatannya'? Jadi sebelum ini, pedang itu belum menunjukkan kekuatan aslinya?"

Hazel mengangguk. "Jika kita melihat dari apa yang terjadi tadi… sepertinya ya."

Aidan menggenggam gagang pedangnya lebih erat. "Kalau begitu, aku harus mencari cara untuk mengendalikan kekuatan ini. Aku tidak bisa mengandalkannya hanya ketika keadaan terdesak."

Hazel menatapnya dengan ragu. "Tapi bagaimana caranya? Jika kekuatan itu bangkit karena insting bertahan hidup, maka kau harus berada dalam situasi serupa lagi untuk membangkitkannya secara sadar."

Kael mendengus. "Jadi maksudmu dia harus terus berada di ambang kematian sampai bisa menguasai kekuatannya?"

Hazel mengangkat bahunya. "Bukan begitu maksudku, tapi… yah, aku juga belum tahu pasti."

Aidan menghela napas. Ia tahu tidak akan mudah memahami kekuatan barunya dalam waktu singkat. Namun, ada satu hal yang jelas—ia harus lebih kuat. Jika tidak, ancaman yang lebih besar bisa saja menghancurkan mereka semua.

Rahasia Kuil yang Belum Terungkap

Kael menendang salah satu batu yang berserakan. "Baiklah, sekarang setelah makhluk itu pergi, apa selanjutnya?"

Hazel menoleh ke arah altar tempat mereka bertarung. "Aku rasa kuil ini masih menyimpan banyak rahasia. Kita tidak boleh pergi sebelum memastikan tidak ada hal penting yang tertinggal."

Aidan mengangguk setuju. "Setuju. Jika Gerbang Takdir benar-benar ada, maka petunjuknya pasti masih tersembunyi di sini."

Mereka bertiga mulai menyisir ruangan, mencari sesuatu yang mungkin berguna. Hazel meneliti dinding-dinding yang dipenuhi ukiran kuno, sementara Kael mengamati lantai, mencari pola atau celah yang mencurigakan.

Aidan sendiri kembali ke altar, tempat ia menemukan pedang itu bergetar seolah merespons sesuatu.

Ia mengangkat pedangnya, memperhatikannya lebih dekat. Ada ukiran halus di sepanjang bilahnya yang sebelumnya tidak terlihat. Namun, kini dengan cahayanya yang redup, ukiran itu tampak berpendar samar.

"Apa ini…?" gumamnya.

Hazel mendekat, mencoba melihat lebih jelas. "Itu bukan sekadar hiasan… ini tulisan kuno."

Kael ikut bergabung, melirik ukiran itu dengan penasaran. "Kau bisa membacanya?"

Hazel menggeleng. "Tidak sepenuhnya. Tapi beberapa simbolnya mirip dengan bahasa sihir kuno yang kupelajari. Aku bisa mencoba menerjemahkannya."

Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah kristal kecil yang digunakan untuk membaca teks kuno. Cahaya dari kristal itu menyinari ukiran di pedang, dan perlahan, huruf-huruf mulai berubah menjadi kata-kata yang bisa mereka pahami.

"Saat takdir memanggil, darah yang terpilih akan membangunkan kekuatan yang tersembunyi. Pedang ini bukan hanya senjata, tetapi juga kunci menuju kebenaran yang telah lama terkubur."

Aidan membaca tulisan itu dengan saksama. "Jadi, pedang ini memang memiliki keterkaitan dengan takdirku…"

Kael menyilangkan tangannya. "Bukan hanya itu. Jika pedang ini adalah kunci, maka masih ada sesuatu yang harus kita cari."

Hazel mengangguk. "Pertanyaannya, kunci untuk membuka apa?"

Suasana kembali hening. Tidak ada yang tahu pasti jawaban dari pertanyaan itu.

Namun, satu hal yang mereka sadari—perjalanan mereka masih panjang.

Aidan menyarungkan pedangnya kembali. "Kita harus terus maju. Semakin cepat kita memahami semua ini, semakin siap kita menghadapi apa pun yang akan datang."

Kael tersenyum kecil. "Kau mulai terdengar seperti pemimpin sekarang."

Hazel ikut tersenyum. "Mungkin memang sudah saatnya Aidan menerima perannya."

Aidan menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Aku tidak tahu apakah aku sudah siap atau belum. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan mundur."

Dengan tekad yang semakin kuat, mereka bertiga meninggalkan altar dan melanjutkan eksplorasi mereka di dalam kuil.

Di balik bayangan yang mengintai dari sudut-sudut ruangan, sesuatu tampak bergerak pelan—sebuah mata merah menyala dalam kegelapan, memperhatikan mereka.

Perjalanan mereka baru saja dimulai.

To be continued…