Langkah-langkah Aidan menggema saat ia melintasi ambang gerbang yang terbuka. Udara di baliknya terasa berbeda—lebih berat, lebih dingin, seolah-olah ruangan ini terpisah dari dunia luar. Begitu mereka semua masuk, gerbang di belakang mereka menutup dengan sendirinya, meninggalkan kelompok itu dalam cahaya remang-remang dari kristal bercahaya di dinding.
Ruangan di dalamnya luas, jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan. Pilar-pilar tinggi menjulang, menopang langit-langit yang penuh dengan ukiran rumit. Lantai batu di bawah mereka berkilauan, dipenuhi simbol kuno yang tampak hidup dengan cahaya biru samar.
Di tengah ruangan, sebuah altar besar berdiri. Dan di atasnya, terbaring sebuah benda yang tampak seperti sarung tangan logam, berkilauan dengan cahaya mistis.
Eldric menatapnya dengan penuh kehati-hatian. "Itu..." ia berbisik.
Aidan melangkah mendekat, hatinya berdebar. Ada sesuatu tentang benda itu yang terasa familiar, seolah-olah memanggilnya.
"Ini bukan sarung tangan biasa," Sylvaine berkata sambil mengamatinya dengan mata tajam. "Aku bisa merasakan energi yang sangat kuat darinya."
Kael mengangguk. "Dan jika benda ini dijaga oleh makhluk sekuat tadi... itu berarti ini sesuatu yang sangat penting."
Hazel mendekat ke Aidan. "Apa kau yakin ini aman?"
Aidan mengulurkan tangannya, hampir menyentuh sarung tangan itu. Namun sebelum ia sempat mengambilnya, cahaya biru meledak dari altar, mendorongnya mundur beberapa langkah.
Dari dalam cahaya itu, sosok transparan muncul. Seorang pria berjubah panjang dengan mata yang penuh kebijaksanaan, namun juga ketegasan.
Aidan menahan napas. Ia mengenali wajah itu dari lukisan-lukisan di rumah keluarganya.
"Ini tidak mungkin..." gumamnya.
Sosok itu menatapnya. "Aidan Everhart," suaranya dalam dan bergema di seluruh ruangan. "Akhirnya, kau datang."
Percakapan dengan Roh Leluhur
Aidan masih terpaku, sementara yang lain memandang sosok itu dengan kewaspadaan.
Eldric, yang tampaknya menyadari siapa pria itu, langsung berlutut. "Lord Eryndor Everhart... leluhur yang agung."
Kael dan Sylvaine saling bertukar pandang sebelum ikut membungkuk dengan hormat. Hazel, meskipun masih bingung, ikut menunjukkan rasa hormatnya.
Aidan menelan ludah dan melangkah maju. "Jadi kau... adalah Eryndor Everhart?"
Sosok itu mengangguk. "Aku hanyalah bayangan dari masa lalu, penunggu yang ditugaskan untuk menjaga pengetahuan keluarga Everhart agar tidak jatuh ke tangan yang salah."
Ia melangkah mengitari altar, menatap kelompok itu dengan seksama.
"Aidan, kau adalah pewaris terakhir garis keturunan Everhart yang sah. Dan ini..." ia menunjuk sarung tangan di altar, "adalah warisan yang seharusnya kau terima. Gauntlet Astralis—artefak yang hanya bisa digunakan oleh mereka yang memiliki darah Everhart sejati."
Aidan menatap sarung tangan itu dengan penuh takjub. "Apa sebenarnya benda ini?"
Eryndor menghela napas. "Ini adalah kunci, sekaligus senjata. Gauntlet Astralis memiliki kemampuan untuk mengendalikan energi murni, sesuatu yang bahkan para penyihir terhebat pun sulit kuasai. Namun, dengan kekuatan ini datang juga tanggung jawab yang besar. Jika jatuh ke tangan yang salah, dunia ini bisa hancur."
Hazel menggigit bibirnya. "Itulah kenapa benda ini disembunyikan di tempat seperti ini..."
Eryndor menatap Aidan dalam-dalam. "Dan itulah kenapa aku harus menguji apakah kau pantas memilikinya."
Aidan menegang. "Ujian?"
Eryndor mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, ruangan di sekitar mereka berubah. Pilar-pilar menghilang, digantikan oleh medan pertempuran yang luas dengan langit kelam di atasnya. Angin bertiup kencang, membawa suara bisikan yang tidak jelas asalnya.
Di depan Aidan, sesosok bayangan muncul—dirinya sendiri.
Namun, sosok itu tampak lebih gelap, matanya bersinar merah, senyumnya penuh ejekan.
"Hadapi dirimu sendiri, Aidan Everhart," kata Eryndor. "Karena musuh terbesarmu bukanlah makhluk dari luar, melainkan kegelapan yang ada dalam hatimu sendiri."
Pertarungan Melawan Diri Sendiri
Bayangan Aidan menyerang lebih dulu, melesat dengan kecepatan luar biasa. Aidan hampir tidak sempat bereaksi ketika tinju keras melayang ke arah wajahnya. Ia menghindar dengan cepat, tetapi bayangan itu terus menekan dengan serangan bertubi-tubi.
Kael dan yang lain hanya bisa menonton dari kejauhan, seolah ada penghalang tak kasat mata yang mencegah mereka ikut campur.
Aidan menggertakkan giginya, mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan berikutnya. Namun, bayangan itu seperti mengetahui setiap gerakannya, menebak langkahnya sebelum ia sempat mengambil inisiatif.
"Sialan..." Aidan mundur beberapa langkah, dadanya naik turun. "Dia membaca gerakanku seolah dia adalah aku..."
Bayangan itu tersenyum sinis. "Karena aku memang kau."
Dengan kecepatan luar biasa, ia mengangkat tangannya dan meluncurkan bola energi hitam ke arah Aidan.
Aidan tidak sempat menghindar. Ledakan terjadi, membuatnya terhempas ke tanah.
Hazel berteriak, "Aidan!!"
Aidan terbatuk, mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat.
Bayangan itu berjalan mendekat, mengarahkan pedangnya ke leher Aidan.
"Lemah," katanya dingin. "Kau tidak pantas memegang kekuatan Everhart."
Aidan menutup matanya sejenak, mencoba mengatur napasnya.
Lalu, ia teringat sesuatu.
Eldric pernah mengatakan bahwa kekuatan sejati bukan hanya datang dari kekuatan fisik, tetapi juga dari pemahaman diri.
Jika bayangan ini adalah dirinya sendiri... maka bukan kekuatan yang bisa mengalahkannya.
Tapi penerimaan.
Aidan membuka matanya, menatap bayangan itu dengan tenang.
"Aku tidak akan melawanmu," katanya.
Bayangan itu menyipitkan mata. "Apa?"
"Aku tidak akan melawan diriku sendiri," ulang Aidan. "Aku menerima semua bagian diriku, baik kekuatan maupun kelemahannya. Aku tidak akan membiarkan rasa takut menguasai diriku lagi."
Bayangan itu terdiam. Perlahan, ekspresinya berubah dari ejekan menjadi sesuatu yang lain—pemahaman.
Lalu, tubuhnya mulai memudar.
Cahaya biru kembali memenuhi ruangan, dan dalam sekejap, medan pertempuran lenyap, mengembalikan mereka ke dalam ruangan altar.
Eryndor tersenyum bangga. "Kau telah lulus ujian, Aidan Everhart."
Aidan menatap tangannya, lalu melihat ke altar. Gauntlet Astralis kini bersinar lebih terang.
Eryndor melangkah maju. "Sekarang, warisan Everhart adalah milikmu."
Aidan mengambil sarung tangan itu dan mengenakannya. Begitu ia memasangnya di tangan kanan, energi mengalir ke seluruh tubuhnya, dan simbol kuno muncul di lengan dan bahunya.
Kekuatan yang luar biasa memenuhi dirinya.
Namun, di balik semua itu, ia tahu—ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang menantinya.
---
Saat Aidan mengenakan Gauntlet Astralis, kekuatan aneh meresap ke dalam tubuhnya. Rasanya seperti aliran energi mengalir langsung ke nadinya, menghangatkan tubuhnya dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Simbol-simbol kuno menyala di sepanjang lengannya, mengukir cahaya biru keemasan yang berdenyut lembut.
Hazel menatapnya dengan cemas. "Aidan… kau baik-baik saja?"
Aidan mengangkat tangannya, mengepalkan telapak tangannya perlahan. Gauntlet itu terasa ringan, meskipun tampak seperti terbuat dari logam berat. Ia bisa merasakan energi yang mengalir di baliknya—seolah-olah benda ini adalah perpanjangan dari tubuhnya sendiri.
Eryndor Everhart, roh leluhur yang menjaga tempat ini, mengangguk puas. "Gauntlet Astralis telah memilihmu, Aidan. Sekarang, kau harus belajar menggunakannya dengan bijak."
Aidan menatap Eryndor. "Bagaimana cara menggunakannya?"
Eryndor mengulurkan tangannya, dan tiba-tiba, ruangan mulai bergetar. Pilar-pilar batu bergerak ke samping, membuka ruang yang lebih luas. Dalam sekejap, dinding yang tadinya penuh dengan ukiran berubah menjadi lautan bintang yang berputar-putar, seolah mereka berada di tengah dimensi lain.
"Gauntlet ini tidak hanya memberi kekuatan," kata Eryndor. "Ia adalah kunci yang menghubungkanmu dengan sumber energi primordial. Tapi kau harus mampu mengendalikannya."
Aidan menelan ludah. "Bagaimana caranya?"
Eryndor tersenyum samar. "Mari kita lihat apakah kau bisa menemukannya sendiri."
Ujian Kedua – Menguasai Kekuatan
Tiba-tiba, pilar-pilar energi muncul dari lantai, membentuk lingkaran di sekeliling Aidan. Dari dalamnya, sosok-sosok bayangan mulai muncul—makhluk-makhluk humanoid tanpa wajah dengan mata merah menyala.
Eldric segera mencabut pedangnya. "Apa ini?"
Sylvaine mengangkat stafnya, bersiap bertarung, tetapi Eryndor mengangkat tangannya. "Tenang. Ini adalah ujian bagi Aidan. Hanya dia yang bisa menghadapi mereka."
Aidan menarik napas dalam, melihat makhluk-makhluk itu bergerak ke arahnya. Ada lima dari mereka, semuanya bergerak dengan cara yang aneh—meluncur di atas tanah tanpa menggerakkan kaki, seperti bayangan yang hidup.
Salah satu makhluk melompat ke arah Aidan, cakar hitamnya terjulur ke depan. Aidan mengangkat lengannya refleks—dan tiba-tiba, Gauntlet Astralis bersinar terang.
Ledakan energi meledak dari tangannya, mendorong makhluk itu mundur dan menghancurkannya dalam sekejap.
Mata Aidan membesar. "Aku… aku bisa menggunakannya!"
Eryndor tersenyum. "Ya, tapi kau harus lebih dari sekadar menggunakannya. Kau harus menguasainya!"
Makhluk-makhluk lainnya menyerang serentak. Aidan menggerakkan tangannya secara naluriah, dan lingkaran cahaya terbentuk di udara, menciptakan perisai energi yang menangkis serangan mereka.
"Jangan hanya bertahan!" seru Eryndor. "Gunakan energinya, kendalikan dengan kehendakmu!"
Aidan mencoba merasakan aliran energi dalam tubuhnya. Ia memfokuskan pikirannya, membayangkan kekuatan itu mengalir ke telapak tangannya.
Tiba-tiba, lingkaran simbol kuno muncul di tanah di bawah kakinya. Cahaya biru melesat dari Gauntlet Astralis, berubah menjadi bilah energi yang terbentuk di tangannya.
Aidan tidak membuang waktu. Dengan cepat, ia melesat ke depan dan mengayunkan bilah energi itu ke arah makhluk-makhluk bayangan. Dalam satu serangan, mereka terbelah menjadi serpihan-serpihan cahaya sebelum menghilang.
Eryndor mengangguk puas. "Bagus. Kau mulai memahami bagaimana mengendalikan energinya."
Aidan menarik napas panjang. Keringat mengalir di pelipisnya, tetapi ia bisa merasakan tubuhnya lebih ringan, lebih kuat.
Hazel, yang sedari tadi menahan napas, akhirnya bersuara. "Itu luar biasa…"
Kael menyeringai. "Aku tidak tahu apa itu, tapi aku ingin satu juga!"
Eryndor tertawa kecil. "Sayangnya, hanya Everhart yang bisa menggunakannya."
Rahasia Keturunan Everhart
Aidan menatap Gauntlet Astralis, lalu melihat ke arah Eryndor. "Aku punya banyak pertanyaan… tentang keluarga Everhart, tentang warisan ini. Kenapa hanya aku yang bisa menggunakannya?"
Eryndor menatapnya dalam-dalam. "Karena kau adalah satu-satunya Everhart yang tersisa… dan karena darahmu membawa sesuatu yang unik."
Ia mengangkat tangannya, dan cahaya biru mulai membentuk bayangan di udara. Gambaran seorang pria muncul—seseorang yang tampak seperti Aidan, tetapi lebih tua dan lebih garang.
"Ini adalah Alaric Everhart, leluhur kita yang pertama kali menemukan Gerbang Takdir."
Gambar itu berubah, menunjukkan Alaric berdiri di tengah medan perang, melawan makhluk-makhluk aneh dari dunia lain.
"Dulu, dunia kita hampir runtuh karena invasi dari dimensi lain," lanjut Eryndor. "Makhluk-makhluk dari luar batas dunia mencoba memasuki dunia ini melalui celah yang terbuka di Gerbang Takdir. Alaric adalah orang yang menutup gerbang itu… tetapi dengan harga yang mahal."
Gambaran itu menunjukkan Alaric menggunakan Gauntlet Astralis, menciptakan gelombang energi yang menyegel gerbang, tetapi tubuhnya sendiri perlahan memudar.
"Untuk menutup gerbang, ia harus mengorbankan dirinya… menyatukan jiwanya dengan kekuatan astral yang menjaga keseimbangan dunia ini."
Aidan menelan ludah. "Jadi… itulah kenapa Everhart begitu spesial?"
Eryndor mengangguk. "Darah kita membawa jejak energi astral. Itu sebabnya kau bisa menggunakan Gauntlet Astralis… dan itu juga sebabnya banyak pihak yang ingin menguasaimu."
Hazel tampak khawatir. "Jadi… jika Aidan jatuh ke tangan yang salah…"
Eryndor mengangguk serius. "Dunia ini mungkin akan mengalami kehancuran yang sama seperti masa lalu."
Suasana menjadi hening.
Aidan mengepalkan tangannya, merasakan energi dari Gauntlet Astralis.
"Kalau begitu… aku harus menjadi cukup kuat untuk memastikan itu tidak terjadi."
Eryndor tersenyum. "Itulah jawabannya."
Cahaya di ruangan mulai meredup. Sosok Eryndor mulai memudar, tanda bahwa waktunya di sini hampir habis.
"Aidan," kata Eryndor sebelum ia benar-benar menghilang. "Jangan lupakan satu hal."
Aidan mengangguk. "Apa itu?"
Eryndor menatapnya dengan penuh kebijaksanaan. "Kekuatan sejati bukan hanya tentang seberapa besar energimu… tapi tentang bagaimana kau menggunakannya untuk melindungi orang-orang yang berharga bagimu."
Dengan kata-kata terakhir itu, ia lenyap dalam kilauan cahaya.
Gerbang di belakang mereka terbuka kembali, menandakan bahwa ujian telah selesai.
Aidan menatap tangannya sekali lagi. Ia masih belum tahu seberapa besar kekuatan Gauntlet Astralis, tetapi satu hal yang pasti…
Perjalanan ini baru saja dimulai.
To be continued…
---