Hembusan angin malam terasa dingin dan menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan debu dari reruntuhan Benteng Durnholde. Aidan berdiri dengan jantung berdebar, matanya tajam menatap bayangan-bayangan yang bergerak cepat di luar.
"Berapa banyak mereka?" tanya Kael, mengencangkan pegangan pada tongkat sihirnya.
Sylvaine melirik ke luar dari celah dinding yang runtuh. "Lima… sepuluh… tidak, lebih banyak."
Arden menghela napas pelan, meraih pedangnya yang bersandar di dinding. "Ordo Maledictum tidak pernah mengirim pasukan kecil. Jika mereka tahu kita di sini, mereka akan memastikan kita tidak keluar hidup-hidup."
Hazel mengangkat busurnya, siap dengan anak panah yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. "Kalau begitu, kita tidak boleh membiarkan mereka mendekat."
Tiba-tiba—
DUARR!
Sebuah ledakan menghantam salah satu dinding benteng, menghancurkannya menjadi puing-puing. Asap dan debu memenuhi udara, diiringi oleh suara langkah kaki cepat yang mendekat.
Dari balik asap, sosok-sosok berjubah hitam muncul, mata mereka bersinar merah seperti bara api. Mereka membawa berbagai senjata—pedang, belati, dan beberapa dari mereka bahkan mengendalikan sihir hitam yang berputar di tangan mereka.
Pemimpin mereka, seorang pria tinggi dengan topeng perak dan jubah ungu gelap, melangkah maju. Suaranya terdengar dingin dan penuh keyakinan.
"Kami akhirnya bertemu, Aidan Everhart."
Aidan merasakan bulu kuduknya berdiri. "Siapa kau?"
Pria itu tertawa pelan. "Kau akan segera tahu."
Tanpa peringatan, dia mengangkat tangannya.
WUSSH!
Sebuah pusaran api ungu melesat ke arah Aidan dan yang lain. Eldric dengan cepat mengangkat tangannya, menciptakan perisai sihir yang menahan serangan itu.
"Bersiaplah!" seru Arden. "Kita tidak punya pilihan selain melawan!"
Pertempuran di Reruntuhan
Sylvaine bergerak lebih dulu, melesat dengan kecepatan luar biasa. Pedangnya berkilauan saat ia menebas salah satu anggota Ordo, membuat darah gelap muncrat ke udara.
Hazel menembakkan panah bertubi-tubi, setiap anak panah bersinar dengan sihir cahaya, menembus tubuh para musuh yang mencoba mendekat.
Aidan sendiri merasakan kekuatan dalam dirinya membara. Ia menghunus pedang sihirnya dan maju menerjang pemimpin bertopeng.
CLANG!
Pedang mereka beradu, menghasilkan percikan cahaya.
"Kau cepat belajar," gumam pria itu. "Tapi belum cukup."
Ia mendorong Aidan mundur dengan kekuatan luar biasa, membuatnya terhuyung. Namun, Aidan segera menyeimbangkan diri dan menyerang kembali.
Di sisi lain medan pertempuran, Kael menyalakan sihir petirnya, menghancurkan musuh yang mendekatinya. Eldric terus memperkuat pertahanan, melindungi mereka dari serangan sihir hitam.
Namun, jumlah mereka terlalu banyak.
Arden mengertakkan gigi. "Kita tidak bisa bertahan di sini selamanya. Kita harus keluar!"
Aidan melihat sekeliling. Mereka memang berhasil melawan, tapi musuh terus berdatangan.
Lalu, pemimpin Ordo itu mengangkat tangannya lagi.
"Kali ini, kau tidak akan bisa menahannya."
Dari langit, pusaran energi ungu berputar, menciptakan tekanan luar biasa. Tanah di bawah mereka mulai bergetar.
Hazel berteriak. "Aidan, kita harus pergi sekarang!"
Aidan menggertakkan giginya. Tapi sebelum ia bisa bergerak—
Pemimpin Ordo itu mengayunkan tangannya ke bawah.
Ledakan besar menghantam benteng, membuat reruntuhan berjatuhan. Tanah di bawah mereka mulai runtuh.
Aidan kehilangan keseimbangan, jatuh ke dalam kegelapan.
Di Ambang Kematian
Semuanya terasa gelap.
Aidan membuka matanya perlahan, kepalanya berdenyut karena benturan keras. Ia berbaring di bawah tanah, di dalam ruangan gelap yang dipenuhi reruntuhan.
Di kejauhan, ia bisa mendengar suara pertempuran di atas.
Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa berat.
Lalu, ia mendengar suara langkah mendekat.
Seseorang ada di sini bersamanya.
Aidan mengangkat kepalanya, dan matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Itu adalah…
---
Aidan menahan napas. Sosok di hadapannya berdiri di antara bayangan reruntuhan, tubuhnya diselimuti jubah gelap yang robek di beberapa bagian. Cahaya redup dari atas hanya memperlihatkan siluetnya, tapi Aidan bisa merasakan aura kuat yang terpancar darinya.
"Kau akhirnya jatuh juga, Aidan Everhart."
Suara itu… dalam, tenang, tapi mengandung nada ancaman terselubung.
Aidan mencoba bangkit, meskipun tubuhnya masih terasa berat akibat benturan. Tangannya meraba pedangnya yang tergeletak di samping, bersiap jika orang ini berniat menyerangnya.
"Siapa kau?" tanya Aidan, suaranya serak.
Sosok itu melangkah lebih dekat, memperlihatkan wajahnya yang tersembunyi di balik bayangan. Rambut hitam panjang tergerai, matanya berwarna merah gelap—seperti bara api yang hampir padam.
"Kau tidak mengenaliku?" pria itu menyeringai, menunjukkan sedikit taringnya. "Ah, tentu saja. Kita belum pernah bertemu secara langsung… tapi namaku pasti pernah kau dengar."
Aidan mengerutkan kening. Ada sesuatu yang familiar dari pria ini, tapi ia tidak bisa langsung mengingatnya.
Pria itu berjongkok di depannya, menatapnya dengan pandangan tajam. "Aku adalah Lucien Valdric, tangan kanan Ordo Maledictum."
Aidan membelalak. Nama itu…
Lucien Valdric adalah seorang penyihir kegelapan yang dikenal sebagai salah satu petarung terkuat di Ordo Maledictum. Menurut catatan yang pernah ia baca, Lucien menghilang bertahun-tahun lalu setelah sebuah ritual besar yang gagal. Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Tapi sekarang, dia ada di sini.
Aidan menggenggam pedangnya lebih erat. "Jadi, kau yang memimpin serangan ini?"
Lucien tertawa kecil. "Oh, tidak. Aku hanya bagian dari rencana yang lebih besar."
Ia berdiri dan mengangkat tangannya ke udara. Sejenak kemudian, bayangan hitam mulai merayap di lantai, seperti tinta yang meresap ke dalam tanah. Aura gelap memenuhi udara, membuat Aidan merasakan tekanan luar biasa di dadanya.
"Kau memiliki sesuatu yang kami butuhkan, Aidan," kata Lucien. "Dan aku datang untuk mengambilnya."
Aidan langsung siaga. "Apa maksudmu?"
Lucien tersenyum miring. "Kau sudah tahu jawabannya."
Tiba-tiba, bayangan di sekitar mereka mulai bergerak. Dari dalam kegelapan, muncul sosok-sosok humanoid tanpa wajah, tubuh mereka seolah terbuat dari asap pekat. Mereka melangkah dengan gerakan melayang, mata kosong mereka berkilau merah.
Wraiths.
Makhluk-makhluk yang tercipta dari sihir gelap, tidak memiliki bentuk fisik yang jelas, tetapi mampu menyerang dengan kecepatan mengerikan.
Aidan segera bersiap, meskipun kepalanya masih berdenyut. Ia tidak punya pilihan selain bertarung.
Salah satu Wraith melesat ke arahnya. Dengan refleks cepat, Aidan mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang energi biru yang membelah bayangan itu menjadi dua.
Tapi makhluk itu hanya menghilang sesaat sebelum terbentuk kembali.
"Astaga…" gumam Aidan.
Lucien terkekeh. "Kau tidak bisa membunuh mereka dengan cara biasa."
Tiba-tiba, sebuah Wraith muncul tepat di belakangnya, cakarnya hampir mengenai punggung Aidan—
CLANG!
Sebuah pedang lain menahan serangan itu.
Aidan menoleh dengan cepat.
"Hazel?!"
Hazel berdiri di sampingnya, napasnya memburu, busurnya tergantung di punggung, sementara ia kini menggunakan belati untuk melawan.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya cepat, tanpa mengalihkan pandangannya dari Wraith di depannya.
Aidan mengangguk. "Bagaimana kau menemukanku?"
"Aku mendengar reruntuhan runtuh, lalu melihat celah ini. Kael dan yang lainnya masih di atas, tapi aku harus memastikan kau selamat," jawab Hazel.
Lucien menghela napas, tampak sedikit bosan. "Menarik. Tapi itu tidak akan mengubah apapun."
Dengan satu gerakan tangan, Lucien melemparkan gelombang sihir hitam ke arah mereka. Aidan dan Hazel langsung melompat ke samping, menghindari serangan itu.
"Ini buruk," kata Hazel. "Dia jauh lebih kuat daripada yang kita hadapi sebelumnya."
Aidan menggeram. "Kita harus mencari celah."
Lucien melangkah maju, aura gelap di sekelilingnya semakin pekat.
"Tapi sayangnya… aku tidak akan memberimu kesempatan."
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka mulai retak.
Aidan dan Hazel tersentak. Mereka harus keluar dari sini sekarang—atau mereka akan terkubur hidup-hidup.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, Lucien mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Dan dalam sekejap, semuanya menjadi gelap.
Aidan dan Hazel kini menghadapi musuh yang jauh lebih berbahaya. Apa yang sebenarnya diinginkan Lucien? Dan bagaimana mereka bisa keluar dari situasi ini? ....
To be continued…
---