Chereads / Aidan dan Gerbang Takdir / Chapter 25 - Bab 25

Chapter 25 - Bab 25

Aidan melangkah melalui hutan yang tak pernah ia kenal, dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi dengan dedaunan yang berwarna keemasan, menciptakan cahaya remang-remang yang aneh. Setiap langkah yang ia ambil bergema di udara, seolah mengundang perhatian dari sesuatu yang tak terlihat. Namun, meskipun udara di sekitar terasa tegang, ia terus maju, bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang takdir yang kini tergantung di atas pundaknya.

Selama perjalanan yang terasa lama, Aidan merasakan kehadiran yang mengawasi dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ia lihat, tetapi bisa ia rasakan. Sebuah tekanan halus di udara, yang terus meningkat seiring ia melangkah lebih jauh ke dalam hutan ini. Rasanya seperti bayangan gelap yang terus mengintainya, siap untuk menyergap kapan saja.

Ia menoleh ke belakang, namun tidak ada apa-apa di sana. Hanya hutan yang lebat dan sunyi. Namun, instingnya berkata lain. Ada sesuatu yang salah di sini. Ada sesuatu yang sedang memantau pergerakannya. Aidan menambah kecepatan langkahnya, tetap waspada, meskipun mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takut yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.

Tiba-tiba, sebuah suara menggema di udara, merasuk ke dalam pikirannya, begitu jelas dan jernih. "Kau tidak akan bisa lari, Aidan."

Suara itu penuh dengan kekuatan, namun juga mengandung ancaman. Aidan berhenti sejenak, memusatkan perhatian. Ia tahu ini bukan suara penjaga Gerbang, melainkan sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya. Dalam sekejap, tubuhnya terdiam, mendengarkan dengan seksama.

"Apa yang kau inginkan dariku?" suara Aidan terhambur keluar, mencoba menunjukkan ketegasan meski hatinya berdebar.

Bayangan gelap itu mulai muncul di antara pepohonan. Perlahan, sosok tinggi dengan jubah hitam melangkah keluar dari kegelapan, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Hanya sepasang mata merah menyala yang tampak, menyorot Aidan dengan tatapan tajam yang penuh kebencian.

"Takdirmu sudah ditentukan, Aidan," kata sosok itu, suaranya mengerikan dan membuat bulu kuduk Aidan merinding. "Kau bukan satu-satunya yang telah dipilih. Ada yang lebih kuat darimu, lebih gelap… dan mereka akan datang untuk menuntut hak mereka."

Aidan menggertakkan giginya, tubuhnya siap menghadapi apapun yang akan datang. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikan takdirku. Ini adalah milikku."

Sosok itu tertawa pelan, suara yang dingin dan tak menyenangkan. "Miliki apa yang kau inginkan, Aidan. Tapi jangan berharap hidupmu akan tetap utuh setelahnya. Kau baru saja memulai perjalanan ini, dan akan ada lebih banyak bayangan yang akan mengikuti setiap langkahmu."

Dengan gerakan cepat, sosok itu menghilang kembali ke dalam bayang-bayang hutan, meninggalkan Aidan dengan perasaan yang semakin berat di dada. Sesuatu yang sangat kuat sedang mengincarnya, dan kali ini bukan hanya sekedar ujian, tetapi pertempuran yang sebenarnya.

Aidan menatap ke arah tempat sosok itu hilang, lalu menundukkan kepalanya. Ada rasa takut yang berusaha ia sembunyikan, namun ia tahu tak ada pilihan lain selain melanjutkan perjalanan ini. Bayangan itu mungkin adalah pertanda dari kegelapan yang lebih besar, ancaman yang lebih menakutkan, namun ia tidak bisa mundur. Takdirnya sudah digariskan, dan tak ada tempat untuk bersembunyi.

Dalam perjalanan yang panjang ini, Aidan tahu bahwa musuhnya tak hanya datang dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam wujud kekuatan gelap yang tersembunyi di balik dimensi yang tak terlihat. Semua ini, semua yang ia alami, hanyalah awal dari sebuah pertarungan yang lebih besar. Jika ia ingin mengubah takdir, ia harus bersiap menghadapi apa pun yang datang, bahkan jika itu berarti melawan kegelapan yang mengancam dunia dan segala isinya.

Dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya, Aidan melangkah maju, menantang ketakutan yang mengintainya, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

---

Aidan mengatur napasnya, berusaha menenangkan pikiran yang dipenuhi keraguan. Sosok yang menghilang begitu saja itu meninggalkan perasaan aneh di dalam dirinya. Perasaan bahwa ia tengah diperhatikan oleh sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, dan lebih kuat dari yang ia bisa bayangkan. Bayangan itu, dengan mata merah yang menyala, jelas bukan musuh biasa. Rasanya, itu bukan hanya ancaman, tetapi suatu peringatan bahwa ada kekuatan yang sedang menunggunya.

Ia melangkah lebih jauh, berusaha untuk tetap tenang meskipun hati dan tubuhnya mulai diliputi kegelisahan. Hutan semakin gelap, dan angin yang berdesir di antara pepohonan hanya menambah suasana mencekam. Namun, Aidan tahu bahwa ia tak bisa berhenti sekarang. Setiap langkahnya membawa dirinya lebih dekat kepada kebenaran yang harus ia temui, meskipun harga yang harus dibayar mungkin lebih tinggi daripada yang ia perkirakan.

Beberapa langkah ke depan, Aidan merasakan sesuatu yang berbeda. Tanpa peringatan, tanah di bawah kakinya mulai bergetar, dan suara gemuruh terdengar dari bawah tanah. Aidan berhenti, menoleh ke arah suara itu. Ada sesuatu yang datang, sesuatu yang besar.

Seketika, tanah di bawahnya pecah, dan dari dalam kegelapan, sebuah makhluk raksasa muncul. Tubuhnya dipenuhi dengan duri-duri hitam, dan matanya bersinar merah menyala seperti bara api. Makhluk itu mengeluarkan raungan keras, menggetarkan udara di sekitar mereka. Aidan melangkah mundur, waspada, sementara pedangnya tergenggam erat di tangan.

"Apa ini?" gumam Aidan, matanya menyipit menatap makhluk itu yang perlahan mendekat.

Makhluk itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju, setiap gerakannya mengeluarkan suara berderak dari tubuhnya yang terbuat dari batu dan api. Aidan bisa merasakan hawa panas yang semakin kuat, seperti ada api yang mengalir melalui tubuh makhluk itu.

Namun, meskipun besar dan menakutkan, Aidan tahu ia harus melawan. Ia mengangkat pedangnya, menghadap makhluk itu dengan penuh kewaspadaan.

"Aku tidak akan mundur," ujar Aidan dengan suara penuh tekad. "Aku tidak tahu siapa yang mengirimmu, tetapi aku akan menghentikanmu di sini."

Makhluk itu berhenti beberapa langkah dari Aidan, mengangkat kepalanya yang besar, mengeluarkan suara gemuruh yang membuat pohon-pohon di sekitar mereka bergoyang. Kemudian, dengan gerakan cepat, ia menyerang. Tangan raksasanya yang dipenuhi api menghantam ke arah Aidan.

Aidan menghindar dengan gesit, namun serangan itu terlalu cepat, hampir saja mengenai tubuhnya. Ia terhuyung mundur, tetapi berhasil mengatur keseimbangan. Pedangnya terangkat, dan ia mengarahkan serangan balasan ke arah tubuh makhluk itu. Namun, pedangnya hanya menyentuh permukaan batu yang keras dan mengeluarkan percikan api.

"Sial!" geram Aidan, merasa frustrasi. "Serangan biasa tidak cukup."

Makhluk itu melangkah lebih dekat, mendekatkan cengkeramannya yang penuh api. Aidan menyadari bahwa ia harus menggunakan lebih dari sekadar kekuatan fisik. Dalam benaknya, kata-kata Lucien kembali bergema, tentang kekuatan dalam darahnya, tentang takdir yang sedang mengikutinya.

"Apa yang harus kulakukan?" bisik Aidan pada dirinya sendiri. Ia merasakan energi dalam dirinya berdenyut. Suatu kekuatan yang ia tak bisa sepenuhnya mengerti, tetapi rasanya semakin kuat, semakin nyata. Rasa itu, yang terhubung dengan darah Everhart.

Dengan segenap tenaga, Aidan memejamkan matanya sejenak, menenangkan pikirannya. Ia mencoba fokus pada energi itu, merasakannya mengalir melalui dirinya. Dalam sekejap, pedangnya mulai bersinar dengan cahaya keemasan yang menyilaukan, seolah merespons kekuatan yang bangkit dalam dirinya.

Saat makhluk itu menyerang lagi, Aidan memusatkan energi pada pedangnya, dan dengan satu ayunan tajam, pedangnya menembus udara dan menyentuh tubuh makhluk itu. Namun kali ini, serangan itu tidak sia-sia. Pedang yang bersinar keemasan itu menembus dinding batu makhluk tersebut, membuatnya mengeluarkan raungan kesakitan yang menggema di hutan.

Aidan tidak berhenti di situ. Dengan cepat, ia melanjutkan serangannya, kali ini lebih terfokus, lebih kuat. Setiap tebasan pedangnya semakin menghancurkan tubuh makhluk itu. Cahaya keemasan yang memancar dari pedangnya seolah membakar apa pun yang bersentuhan dengannya.

Akhirnya, dengan satu serangan terakhir yang memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada dalam dirinya, Aidan menebas leher makhluk itu. Tubuh raksasa itu hancur menjadi serpihan batu dan api yang meledak, menyebar ke segala arah.

Aidan terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Tubuhnya terasa kelelahan, tetapi ada rasa lega yang mengalir di dalam dirinya. Ia berhasil menghentikan makhluk itu, namun ia tahu ini bukan akhir. Makhluk itu hanyalah penghalang kecil dibandingkan dengan apa yang akan ia hadapi nanti.

Hazel yang sejak tadi mengamati dari kejauhan berlari mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Aidan, kau baik-baik saja?" tanyanya, sambil memegang bahunya.

Aidan mengangguk, meskipun tubuhnya masih terasa lelah. "Aku… aku baik-baik saja. Tapi kita harus segera pergi. Ini hanya permulaan."

Hazel menatapnya dengan ragu. "Apa yang sedang terjadi, Aidan? Siapa yang mengirimkan makhluk itu?"

Aidan hanya bisa menggelengkan kepala, merasa bingung. "Aku tidak tahu. Tapi kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bergerak, dan aku harus mencari tahu apa itu."

Mereka berdua berbalik dan mulai berjalan menjauh dari reruntuhan makhluk itu, berusaha menghindari perhatian lebih jauh. Namun, Aidan tahu bahwa bayangan yang mengintainya belum berakhir. Sebuah kekuatan yang lebih besar, lebih gelap, sedang menunggunya di ujung perjalanan ini.

Dan kali ini, ia tidak akan bisa lari dari takdir yang sudah ditentukan.

---

To be continued...

---Salam Takdir---