Aidan mengikuti wanita berambut ungu itu melewati reruntuhan kota yang sunyi. Langkah mereka nyaris tanpa suara, hanya ditemani hembusan angin dingin yang membawa aroma logam dan abu. Langit merah darah di atas mereka tidak berubah, seakan mengawasi perjalanan mereka dengan diam.
Wanita itu berjalan dengan cepat dan terlatih, seolah sudah hafal setiap sudut tempat ini. Aidan tetap waspada, mengamati sekitar, tetapi juga mencuri-curi pandang ke arah wanita yang baru saja menyelamatkannya.
Rambut panjangnya yang berwarna ungu keperakan berkibar halus saat ia melangkah. Ia mengenakan jubah gelap dengan aksen perak yang tampak elegan, dan di punggungnya tersampir busur besar yang memancarkan cahaya samar.
Aidan akhirnya memecah keheningan.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku tadi," katanya.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, suaranya dingin dan tegas.
"Kau bukan dari sini."
Aidan mengangguk. "Ya… aku juga tidak tahu bagaimana bisa sampai ke dunia ini."
Wanita itu menatapnya dari ujung mata. "Dari dunia mana asalmu?"
Aidan menghela napas. "Aku berasal dari Eilondia, dari dunia manusia."
Mata wanita itu sedikit menyipit, seolah sedang menilai kejujuran Aidan.
"Apa kau seorang penyihir?" tanyanya lagi.
Aidan menggeleng. "Tidak. Aku hanya seorang petualang yang terjebak dalam situasi yang tidak kusangka."
Wanita itu tetap diam, tetapi ekspresinya sedikit melunak.
"Kita hampir sampai," katanya.
Aidan menoleh ke depan dan melihat bahwa mereka telah mencapai sebuah jalan setapak yang menurun ke dalam lembah yang dipenuhi kabut tipis. Di tengah lembah itu, berdiri sebuah benteng hitam yang megah tetapi terlihat usang.
Menara-menara runcingnya menjulang tinggi, dan dinding batu yang kokoh tampak telah mengalami banyak pertempuran. Cahaya ungu samar berpendar di beberapa titik, memberi kesan bahwa tempat itu tidak sepenuhnya ditinggalkan.
Saat mereka semakin dekat, Aidan menyadari bahwa ada sosok-sosok berjaga di atas tembok. Siluet mereka terlihat seperti manusia, tetapi dengan aura yang berbeda.
Wanita itu mempercepat langkahnya. "Tetap di dekatku dan jangan membuat gerakan mencurigakan."
Aidan mengangguk, meski masih penuh pertanyaan tentang tempat ini.
Saat mereka tiba di depan gerbang besi besar, dua penjaga bersenjata tombak menatap Aidan dengan penuh curiga.
"Siapa dia?" salah satu dari mereka bertanya dengan suara berat.
"Seorang pendatang dari dunia lain," jawab wanita itu. "Aku membawanya ke dalam. Dia butuh jawaban."
Para penjaga saling berpandangan, lalu akhirnya membuka gerbang dengan suara berderit keras.
Wanita itu melangkah masuk, dan Aidan mengikutinya.
Begitu mereka memasuki benteng, udara di dalam terasa berbeda. Hangat, tetapi juga penuh dengan tekanan magis yang aneh.
Aidan mengamati sekelilingnya. Di dalam benteng ini, ada banyak orang—mereka mengenakan pakaian gelap dengan simbol yang sama di dada mereka, sebuah lambang berbentuk bulan sabit dengan tiga garis lurus di tengahnya.
Mereka menatap Aidan dengan tatapan penuh kewaspadaan.
"Ikut aku," kata wanita itu lagi, melangkah lebih dalam ke dalam benteng.
Aidan mengikutinya, menyadari bahwa di sinilah dia mungkin akan menemukan jawaban tentang dunia ini—dan tentang baga
imana cara kembali ke dunianya sendiri.
---
Aidan mengikuti wanita berambut ungu itu melewati lorong-lorong benteng yang diterangi cahaya kristal biru yang menempel di dinding. Udara di dalam sini lebih hangat daripada di luar, tetapi tetap membawa aura magis yang asing. Langkah kaki mereka menggema di sepanjang lantai batu yang halus, menciptakan suasana yang semakin menegangkan.
"Di mana kita?" tanya Aidan akhirnya.
Wanita itu meliriknya sekilas sebelum menjawab, "Benteng Arkanis. Salah satu tempat perlindungan terakhir bagi kaum kami."
Aidan mengerutkan kening. "Kaum kalian?"
Wanita itu tidak menjawab langsung. Ia terus berjalan hingga mereka tiba di sebuah pintu besar berwarna hitam dengan ukiran simbol bulan sabit dan tiga garis lurus di tengahnya—simbol yang sama yang ia lihat di jubah para penghuni benteng ini.
Wanita itu menempelkan tangannya ke pintu, dan simbol di permukaannya bersinar sebelum pintu itu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan sebuah ruangan besar yang dipenuhi rak buku tinggi, meja-meja panjang, dan beberapa orang yang tampak sedang sibuk membaca atau meneliti sesuatu.
"Ikut aku," kata wanita itu lagi, melangkah masuk.
Aidan mengikutinya dengan rasa penasaran. Tempat ini mirip seperti perpustakaan kuno, tetapi dengan atmosfer yang lebih menekan. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja bundar yang dipenuhi gulungan perkamen dan peta-peta tua.
Seorang pria tua dengan janggut abu-abu pendek duduk di sana, mengenakan jubah hitam dengan aksen perak. Matanya tajam meskipun usianya terlihat sudah lanjut.
Wanita berambut ungu itu berhenti di depan meja dan berbicara dengan nada hormat. "Master Eldric, aku menemukan seseorang dari dunia lain."
Pria tua itu—Eldric—mengangkat alisnya dan menatap Aidan dengan penuh selidik.
"Menarik…" gumamnya. "Sudah lama sejak terakhir kali seorang asing menginjakkan kaki di dunia ini."
Aidan menelan ludah. "Tolong, aku tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Yang kuingat hanya… portal yang terbuka, lalu aku terhisap ke dalamnya."
Eldric mengelus janggutnya. "Portal, ya? Ceritakan lebih rinci."
Aidan mengambil napas dalam dan menjelaskan semuanya—tentang reruntuhan kuil, simbol-simbol yang menyala, suara misterius yang memanggilnya, hingga tangan hitam yang menariknya masuk.
Saat ia selesai bercerita, ruangan menjadi sunyi. Eldric bertukar pandang dengan wanita berambut ungu itu, lalu menghela napas berat.
"Sepertinya kau bukan hanya sekadar orang asing yang tersesat," katanya dengan suara dalam.
Aidan mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Eldric berdiri dari kursinya, berjalan perlahan menuju rak buku di sisi ruangan. Ia menarik sebuah kitab tua dan membukanya, menunjukkan sebuah gambar di salah satu halamannya.
Di sana, tergambar seorang pria berpakaian jubah panjang, berdiri di depan sebuah portal yang mirip dengan yang Aidan lihat. Simbol yang sama terukir di sekelilingnya.
"Ini adalah catatan kuno tentang Gerbang Takdir," kata Eldric. "Sebuah portal yang hanya terbuka bagi mereka yang ditakdirkan untuk sesuatu yang besar… atau mengerikan."
Aidan merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Jadi… aku ditarik ke sini bukan karena kebetulan?"
Eldric menatapnya dengan serius. "Tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini."
Wanita berambut ungu itu akhirnya angkat bicara. "Aku sudah menduga bahwa dia bukan orang biasa."
Eldric menutup kitabnya dan kembali menatap Aidan. "Jika kau benar-benar melewati Gerbang Takdir, maka ada sesuatu yang menunggumu di sini. Dan kau harus menemukannya… sebelum sesuatu yang lain menemukannya terlebih dahulu."
Aidan menggigit bibir. Ia merasa seperti bidak dalam permainan yang tidak ia pahami.
Tetapi satu hal yang ia tahu…
Ia tidak bisa kembali sebelum menemukan jawabannya.
To be continued…
---
Salam Takdir dan Salam Damai