Udara di benteng terasa semakin mencekam seiring dengan senja yang perlahan menyelimuti seluruh wilayah. Setelah latihan yang melelahkan dan pertemuan rahasia dengan Eldric, Aidan merasa bahwa dunia ini semakin memperlihatkan sisi gelapnya. Tak hanya ancaman makhluk bayangan yang terus mengintai, tetapi bisikan legenda Bayangan Takdir kini menjadi nyata, mengusik tiap langkahnya.
Di halaman latihan, Aidan duduk di bawah pohon tua yang tumbuh di sudut benteng. Tubuhnya masih memar, dan tiap napas yang ia tarik terasa berat bagai membawa beban takdir yang tak bisa dihindari. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat kembali setiap kata yang diucapkan oleh Eldric dan Sylvaine tentang "Bayangan Takdir".
"Saatnya membuktikan bahwa aku bukan sekadar bidak dalam permainan ini," gumamnya pada diri sendiri.
Tepat saat itu, suara derap langkah terdengar dari lorong utama. Kael dan Hazel segera mendekat, disusul oleh Sylvaine yang wajahnya serius.
"Kesempatan itu tidak datang dua kali, Aidan," ujar Sylvaine dengan nada tegas. "Kau harus menghadapi bayangan itu, menaklukkan kegelapan dalam dirimu, agar takdir bisa berpihak padamu."
Hazel menggenggam tangan Aidan. "Kita semua di sini untuk mendukungmu. Tapi kau harus tahu, pertarungan ini bukan hanya melawan makhluk yang mengincar nyawamu—ini juga soal membuktikan siapa dirimu sebenarnya."
Aidan membuka mata, menatap kedua temannya. "Aku tak ingin lari lagi. Aku ingin tahu apa arti warisan ini. Aku harus menghadapi Bayangan Takdir, walau itu berarti aku harus mengorbankan segalanya."
Suasana menjadi hening sesaat, hanya diiringi rintihan angin yang menyapu halaman benteng. Tak lama kemudian, dari balik dinding batu yang retak, terdengar suara berat yang menggetarkan.
"Kau masih berani, Keturunan Everhart?" suara itu menggema, seolah berasal dari jauh dan dekat sekaligus.
Semua mata tertuju ke arah pintu lorong yang kini terbuka lebar. Dari sana, muncul sesosok bayangan tinggi, dengan mata merah menyala yang tajam. Wujudnya samar, namun aura kegelapan yang menyertainya terasa sangat nyata. Bayangan itu melangkah mantap, setiap gerakannya penuh keyakinan dan ancaman.
Kael segera melangkah ke depan, menghunus belati ganda. "Inilah dia… Bayangan Takdir. Sudah terlalu lama kau mengganggu kedamaian kami!"
Bayangan itu tertawa serak, suaranya menggema bak petir di kejauhan. "Kau pikir kau bisa menghalangiku? Aku adalah penjaga keseimbangan dunia ini. Aku datang bukan untuk membunuh, tetapi untuk mengingatkanmu bahwa takdir tidak bisa dihindari."
Aidan mengangguk pelan, merasakan energi dalam dirinya menggelora. "Takdir memang tak terelakkan, tapi aku memilih untuk menentukan nasibku sendiri."
Di saat itulah, Sylvaine maju, mengangkat tangannya dan mulai merapal mantra yang terdengar kuno dan menggetarkan. Cahaya biru keunguan mulai mengalir dari jari-jarinya, membentuk lingkaran pelindung di sekeliling Aidan, Hazel, dan Kael. Eldric, yang sempat mengamati dari balik tirai tirai perpustakaan, juga muncul dengan langkah pelan, matanya serius.
"Pertempuran ini bukan hanya tentang kekuatan jasmani atau sihir, tapi tentang keberanian untuk menerima takdir dan mengubahnya," ujar Eldric dengan suara dalam yang tenang namun mengandung kekuatan.
Bayangan Takdir mengerutkan kening, seolah tersinggung oleh kata-kata itu. "Kau semua adalah penantang, tak sadar betapa rapuhnya dunia yang kau sandang."
Pertempuran pun pecah. Kael dengan gesit menebas bayangan-bayangan kecil yang menyembul dari balik tirai kegelapan, sementara Hazel mengarahkan serangan sihir cahaya untuk menghancurkan formasi bayangan yang mencoba menyelimuti mereka. Aidan, di tengah pertempuran, merasakan kekuatan warisan Everhart mengalir lebih deras dari sebelumnya. Pedangnya berkilat menyinari lorong dengan pancaran cahaya biru, seolah hidup dan menuntun setiap ayunan.
Aidan maju dengan penuh tekad. Setiap gerakannya dipenuhi keinginan untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi korban dari nasib yang sudah dituliskan. Dengan satu gerakan tebas yang tepat, ia menebas ke arah Bayangan Takdir, mengayunkan pedangnya seolah ingin memotong kegelapan itu menjadi serpihan-serpihan kecil.
Bayangan Takdir tertahan sesaat, seolah terkejut oleh keberanian Aidan. "Kau… memiliki kekuatan yang belum pernah kulihat sebelumnya!" teriaknya. Namun, saat ia mencoba membalas serangan, Aidan menggunakan momentum dari setiap luka dan rasa sakit yang pernah ia rasakan untuk menghantam kembali dengan kekuatan yang tak terbantahkan.
Dalam detik-detik yang menegangkan, pertempuran berubah menjadi pertarungan jiwa. Setiap ayunan pedang Aidan disertai dengan teriakan yang penuh amarah dan harapan, setiap mantra yang diucapkan Hazel menggetarkan udara, dan Kael menebas bayangan dengan presisi yang mematikan. Sementara itu, Sylvaine dan Eldric mendekati sisi Bayangan Takdir, mencoba menyalurkan kekuatan kuno yang tersimpan dalam dinding-dinding benteng.
Semakin lama, aura di sekitar Aidan tampak semakin menyala. Warisan Everhart yang selama ini tersembunyi kini bangkit, membalut dirinya dalam lapisan cahaya yang hampir membutakan. Dengan satu teriakan, Aidan melangkah maju, mengayunkan pedangnya ke arah inti Bayangan Takdir.
Sebuah ledakan energi terjadi, membuat seluruh benteng berguncang hebat. Cahaya biru dan merah bercampur dalam pertempuran yang seolah tak ada habisnya. Bayangan Takdir mengeluarkan teriakan yang menakutkan, sebelum akhirnya, dengan kekuatan terakhirnya, ia terhuyung dan mulai larut dalam kegelapan.
Ketika debu pertempuran mulai mereda, Aidan berdiri di sana dengan napas terengah, pedangnya masih memancarkan cahaya biru yang lembut. Di sekelilingnya, teman-temannya—Hazel, Kael, Sylvaine, dan bahkan Eldric—menatapnya dengan penuh kekaguman dan kelegaan.
"Akan selalu ada bayangan yang mengintai, Aidan," kata Eldric dengan suara tenang namun penuh makna. "Tapi hari ini, kau telah menunjukkan bahwa cahaya yang kau bawa lebih kuat daripada kegelapan yang mencoba menenggelamkanmu."
Aidan menunduk, menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya. "Aku tahu perjuangan ini belum berakhir. Aku hanya berharap, dengan kekuatan ini, aku bisa melindungi orang-orang yang kucintai dan mengungkap rahasia Gerbang Takdir."
Hazel mendekat, menggenggam tangannya. "Kita akan terus bersama, Aidan. Kita akan menemukan jawabannya, tidak peduli seberapa besar bayangan itu."
Kael tersenyum getir, menepuk bahu Aidan. "Kau telah menjadi pemimpin sejati, Keturunan Everhart. Namun, perjalanan kita masih panjang."
Aidan mengangguk, menatap langit yang kini mulai berubah warna, dari merah darah menjadi kelabu senja. "Aku siap menghadapi apapun. Takdir mungkin telah memilih jalanku, tapi aku yang akan menentukan seberapa jauh aku berjalan."
Di kejauhan, sejenak sebelum kabut kegelapan sepenuhnya menghilang, sesosok bayangan kecil tampak mengintai dari balik reruntuhan. Mata merahnya menyala, dan seolah-olah ia mencatat setiap gerakan Aidan.
Pertempuran jiwa dan cahaya telah membawa perubahan besar di benteng ini, namun Aidan tahu bahwa kegelapan yang lebih besar menanti di luar sana.
Sementara Aidan dan rekan-rekannya beristirahat sejenak, mereka menyadari bahwa jalan menuju kebenaran Gerbang Takdir masih penuh dengan rahasia dan bahaya. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat kepada jawaban, tetapi juga semakin memancing amarah dan dendam dari kekuatan yang telah lama tersembunyi.
Aidan menatap pedangnya, melihat kilauan cahaya yang seolah mengingatkannya pada janji dan harapan. "Ini baru permulaan," bisiknya. "Kita harus terus maju, meski bayangan itu masih mengintai."
Di balik tembok-tembok benteng, di mana waktu tampak berhenti sejenak, kegelapan mulai menyelimuti sudut-sudut yang belum tersentuh oleh cahaya. Bayangan Takdir mungkin telah runtuh hari ini, tetapi benih-benih kegelapan yang ditinggalkannya masih tumbuh, menunggu momen untuk bangkit kembali.
Dan di sinilah, di ambang pertempuran yang belum usai, Aidan dan rekan-rekannya bersumpah untuk melangkah lebih jauh, menggali lebih dalam rahasia yang terkubur, dan menantang takdir yang seakan telah dituliskan sebelumnya.
To be continued…
---