Aidan merasakan udara di dalam ruangan itu semakin berat setelah mendengar kata-kata Eldric. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa portal itu membawanya ke sini? Apa yang menunggunya di dunia ini?
Wanita berambut ungu itu menatap Eldric. "Apa yang harus kita lakukan, Master?"
Eldric menghela napas, lalu menatap Aidan dalam-dalam. "Kau harus belajar bertahan di dunia ini. Dunia yang asing bagimu, penuh bahaya yang bahkan belum kau pahami. Jika kau benar-benar dipilih oleh Gerbang Takdir, maka kau harus bersiap menghadapi apa pun yang akan datang."
Aidan mengepalkan tangannya. "Lalu, bagaimana aku bisa mulai memahami dunia ini?"
Wanita itu tersenyum tipis. "Aku bisa mengajarkanmu. Namaku Sylvaine. Aku akan memastikan kau tidak mati konyol dalam waktu dekat."
Aidan menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah."
Eldric tampak puas dengan jawabannya. "Besok pagi, Sylvaine akan mulai melatihmu. Untuk sekarang, kau butuh istirahat."
---
Malam yang Gelisah
Aidan dibawa ke sebuah kamar kecil di dalam benteng. Tidak banyak perabotan di dalamnya—hanya tempat tidur sederhana, meja kayu, dan lilin yang redup menerangi ruangan.
Ia duduk di tepi tempat tidur, pikirannya masih berputar.
Bagaimana dengan Hazel? Apakah ia masih selamat?
Ia tidak tahu apakah waktu di dunia ini berjalan sama seperti di dunianya. Apakah Hazel masih mencarinya? Apakah ia juga terjebak di tempat lain?
Aidan menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya terlalu banyak berpikir. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah bertahan.
Ia merebahkan diri, mencoba memejamkan mata.
Tetapi tidurnya tidak berlangsung lama.
Suara aneh terdengar di luar jendela.
Aidan membuka matanya. Napasnya tertahan.
Bayangan bergerak di luar sana.
Pelan-pelan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, mengintip keluar.
Sosok itu berdiri di sana.
Sebuah bayangan tinggi, dengan mata merah menyala di kegelapan.
Aidan menelan ludah.
Ia merasa seolah makhluk itu menatap langsung ke dalam jiwanya.
Kemudian, suara itu terdengar—parau dan dalam.
"Kau… tidak seharusnya ada di sini."
Aidan mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang.
Dan tiba-tiba—bayangan itu menghilang.
Dingin merayap ke tulang-tulangnya.
Ia baru saja tiba di dunia ini…
Tapi sesuatu sudah mengawasinya.
---
Rahasia yang Tersembunyi
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Matahari ungu di langit dunia ini bersinar dengan cahaya yang tidak terlalu menyilaukan, memberikan kesan aneh pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.
Aidan duduk di tepi tempat tidur, masih memikirkan sosok misterius yang dilihatnya semalam. Apakah itu sekadar bayangan, atau makhluk nyata yang mengintainya?
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Aidan, bangun! Latihan akan segera dimulai!" Suara Sylvaine terdengar dari luar.
Aidan menghela napas, lalu berdiri dan membuka pintu. Sylvaine sudah berdiri di sana, mengenakan pakaian bertarung berwarna hitam dengan jubah ungu yang melambai tertiup angin.
"Ayo, kita mulai dari dasar," katanya sambil melangkah pergi.
---
Latihan yang Berat
Di halaman belakang benteng, Aidan melihat beberapa prajurit berlatih menggunakan pedang dan tombak. Benturan logam terdengar nyaring di udara, disertai teriakan para prajurit yang saling bertukar serangan.
Sylvaine melemparkan sebilah pedang kayu ke arahnya. Aidan menangkapnya dengan sedikit canggung.
"Kita mulai dengan dasar pertahanan," kata Sylvaine. "Pegang pedangmu dengan benar. Jangan tegang."
Aidan mencoba mengatur posisi tangannya. Tetapi sebelum ia bisa bersiap, Sylvaine sudah mengayunkan pedangnya ke arahnya.
Aidan terkejut dan buru-buru mengangkat pedangnya untuk menangkis. Benturan keras membuat lengannya bergetar.
"Kau terlalu lambat," kata Sylvaine. "Jika ini pertempuran sungguhan, kau sudah mati."
Aidan menggerutu pelan. "Setidaknya beri aku waktu untuk bersiap."
"Tidak ada persiapan dalam pertempuran nyata," jawab Sylvaine dingin. "Musuh tidak akan memberimu kesempatan untuk bersiap."
Latihan itu berlangsung selama beberapa jam. Setiap serangan Sylvaine terasa semakin cepat dan kuat, sementara Aidan berusaha keras hanya untuk menangkisnya.
Tubuhnya mulai lelah, tetapi Sylvaine tidak memberi kelonggaran.
"Jangan berpikir terlalu banyak," katanya. "Percayalah pada instingmu."
Aidan mengatur napasnya, lalu mencoba bertindak lebih cepat. Kali ini, ia berhasil menangkis serangan Sylvaine dengan lebih baik.
Sylvaine tersenyum tipis. "Bagus. Tapi masih jauh dari cukup."
---
Malam yang Tak Tenang
Setelah latihan berakhir, Aidan kembali ke kamarnya dengan tubuh lelah dan penuh memar.
Namun, saat ia hendak merebahkan diri di tempat tidur, ia merasakan sesuatu yang aneh.
Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari biasanya.
Ia menoleh ke jendela.
Bayangan itu kembali.
Tetapi kali ini, tidak hanya berdiri diam.
Mata merahnya bersinar lebih terang.
Dan ia mulai bergerak.
Mendekati jendela…
Aidan langsung mengambil pedang kayu di sampingnya.
Tetapi saat ia berkedip—bayangan itu menghilang lagi.
Namun, sebuah suara bergema di pikirannya.
"Aku akan menunggumu…"
Aidan merasakan bulu kuduknya meremang.
Ia tidak tahu siapa atau apa makhluk itu.
Tetapi satu hal yang pasti…
Makhluk itu menginginkannya mati.
---
Aidan terdiam di tempatnya, masih memegang pedang kayu dengan erat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Udara di kamarnya terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang tidak kasat mata menyelimutinya.
Ia mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya. Namun, suara itu masih terngiang di kepalanya.
"Aku akan menunggumu…"
Itu bukan sekadar ilusi atau halusinasi. Bayangan itu nyata. Dan lebih buruk lagi, ia tahu Aidan ada di sini.
DOR!
Suara ketukan keras di pintu mengejutkannya. Aidan refleks mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi ancaman.
"Aidan!" suara Sylvaine terdengar dari balik pintu.
Aidan menghela napas lega dan buru-buru membuka pintu. Sylvaine berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi serius.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Aidan ragu sejenak sebelum mengangguk. "Ya… hanya sedikit gelisah."
Sylvaine menyipitkan mata. "Aku merasakan sesuatu di sekitarmu. Ada energi gelap yang tidak biasa."
Aidan menelan ludah. "Jadi kau juga merasakannya?"
Sylvaine mengangguk. "Apa yang terjadi?"
Aidan ragu sejenak, tetapi akhirnya menceritakan tentang bayangan bermata merah yang ia lihat semalam, dan bagaimana makhluk itu seakan mengawasinya.
Sylvaine mendengarkan dengan serius, lalu menghela napas. "Kalau itu yang terjadi, kita tidak bisa mengabaikannya."
Aidan menatapnya. "Apa kau tahu makhluk apa itu?"
Sylvaine berpikir sejenak. "Aku punya beberapa dugaan… tapi aku harus memastikan lebih dulu."
Ia menoleh ke arah lorong. "Ikut aku. Kita harus melaporkan ini pada Eldric."
---
Pertemuan Rahasia
Aidan mengikuti Sylvaine melewati koridor panjang yang sepi. Lilin-lilin di dinding menerangi jalan mereka dengan cahaya redup, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding batu benteng.
Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan kecil yang tampaknya adalah perpustakaan pribadi Eldric. Lelaki tua itu duduk di kursi kayu dengan sebuah buku besar terbuka di depannya.
Eldric mengangkat wajahnya ketika mereka masuk. "Kalian datang larut malam… Ada apa?"
Sylvaine menatap Aidan, memberi isyarat agar ia menjelaskan.
Aidan menghela napas dan mulai menceritakan semuanya—tentang bayangan bermata merah, perasaan diawasi, dan suara yang berbisik di kepalanya.
Eldric mendengarkan dengan wajah serius. Setelah Aidan selesai berbicara, ia menutup bukunya dengan pelan.
"Aku sudah menduganya," katanya.
Aidan mengernyit. "Maksudmu?"
Eldric menatapnya tajam. "Ada sesuatu yang mengikutimu sejak kau tiba di dunia ini. Sesuatu yang seharusnya tidak berada di sini."
Aidan merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa itu?"
Eldric terdiam sejenak sebelum menjawab.
"Bayangan Takdir."
Aidan mengerutkan kening. "Bayangan Takdir?"
Eldric mengangguk. "Legenda kuno menyebutkan bahwa mereka adalah entitas yang muncul ketika keseimbangan dunia terganggu. Mereka bukan sekadar roh atau iblis biasa. Mereka adalah penjaga rahasia dunia ini—tetapi bukan penjaga dalam arti yang baik."
Sylvaine menyilangkan tangan. "Mereka muncul ketika seseorang yang tidak seharusnya ada di sini mulai mempengaruhi takdir dunia ini. Dan sekarang, Aidan, mereka menganggapmu sebagai ancaman."
Aidan merasa dadanya semakin berat. "Jadi… mereka ingin membunuhku?"
Eldric mengangguk perlahan. "Atau lebih buruk lagi—mengambil alih jiwamu."
Ruangan itu terasa semakin sunyi.
Aidan mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan?"
Eldric menatapnya dalam-dalam. "Kau harus bersiap. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan."
---
Latihan yang Lebih Keras
Keesokan paginya, latihan Aidan menjadi lebih berat dari sebelumnya. Sylvaine tidak memberi kesempatan sedikit pun untuknya beristirahat.
"Gerakkan kakimu lebih cepat!" teriak Sylvaine sambil menyerang Aidan dengan pedang kayunya.
Aidan berusaha menangkis, tetapi serangan Sylvaine terlalu cepat. Pedang kayu itu menghantam bahunya, membuatnya terhuyung ke belakang.
"Argh!"
"Jangan fokus pada rasa sakit!" Sylvaine menegurnya. "Musuhmu tidak akan peduli apakah kau kesakitan atau tidak."
Aidan menggeram, lalu kembali berdiri.
Ia tahu bahwa Sylvaine keras bukan tanpa alasan. Jika Bayangan Takdir benar-benar mengincarnya, maka ia harus lebih kuat dari ini.
Latihan terus berlanjut hingga matahari mulai terbenam. Tubuh Aidan penuh memar, tetapi matanya tetap tajam.
Sylvaine akhirnya mengangguk puas. "Kau mulai membaik. Tapi masih jauh dari cukup."
Aidan menghela napas lelah. "Aku tahu…"
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu.
Sebuah tatapan dari kejauhan.
Ia menoleh.
Di balik tembok benteng, di bawah cahaya senja, sepasang mata merah mengawasinya dari bayang-bayang.
Aidan menggigit bibir.
Mereka masih ada di sana.
Dan mereka masih menunggunya.
To be continued…
---Salam Takdir---