Langkah kaki Aidan, Hazel, dan Kael bergema di sepanjang lorong batu kuil yang dingin dan lembap. Cahaya redup dari obor yang mereka bawa menciptakan bayangan panjang di dinding, memperlihatkan relief-relief kuno yang tampak seperti menyimpan cerita yang belum terungkap.
"Aku merasa tempat ini lebih besar dari yang kita kira," gumam Hazel sambil mengamati ukiran yang mereka lewati. "Bisa saja ada ruangan lain yang belum kita temukan."
Kael mendengus. "Itu kalau kita bisa keluar dari sini hidup-hidup."
Aidan tetap diam, pikirannya masih tertuju pada pedangnya yang kini terasa berbeda. Meskipun cahayanya telah meredup, ada energi yang terus berdenyut di dalamnya, seolah menunggu sesuatu.
Mereka terus berjalan hingga lorong bercabang menjadi dua. Di hadapan mereka, ada dua jalan—satu menuju ke kiri dengan dinding yang dipenuhi akar-akar tua, sementara yang lain menurun ke kanan, mengarah ke kegelapan yang lebih dalam.
"Jalan mana yang kita pilih?" tanya Hazel.
Aidan menutup matanya sejenak, mencoba merasakan sesuatu. Entah mengapa, ada tarikan aneh yang membawanya ke arah kanan.
"Kita ke kanan," putusnya.
Kael mengangkat alis. "Kau yakin? Yang ke kanan itu tampak seperti jalan menuju tempat yang lebih buruk."
Aidan mengangguk. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kita harus ke sana."
Hazel dan Kael saling berpandangan, lalu mengangguk. Tanpa banyak bicara, mereka melanjutkan perjalanan ke lorong kanan, menuruni tangga batu yang licin dan curam.
Saat mereka semakin dalam, suhu di sekeliling perlahan menurun. Napas mereka kini tampak seperti uap di udara.
Lalu, mereka tiba di sebuah ruangan luas.
Ruangan yang Tersembunyi
Ruangan itu lebih besar dari yang mereka perkirakan, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran berbentuk lingkaran sihir. Di tengahnya, terdapat sebuah altar batu besar yang tampak seperti tempat ritual kuno.
Namun yang lebih menarik perhatian adalah sosok berdiri di ujung ruangan.
Seorang pria berambut panjang, mengenakan jubah hitam, berdiri diam di sana. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi sepasang mata merah menyala tampak mengintai mereka dari kegelapan.
Aidan segera menggenggam pedangnya. Hazel dan Kael juga langsung siaga.
Pria itu perlahan melangkah maju. Suara langkahnya terdengar seperti bisikan halus di dalam ruangan.
"Keturunan Everhart… akhirnya kau datang," katanya dengan suara dalam dan bergema.
Aidan menegang. Itu adalah kata-kata yang sama yang ia dengar saat pertama kali ditarik ke dunia ini.
"Siapa kau?" tanyanya dengan nada waspada.
Pria itu tersenyum samar. "Namaku tidak penting. Yang perlu kau tahu adalah… aku telah menunggumu."
Kael menggeram. "Menunggu untuk apa? Membunuhnya?"
Pria itu terkekeh kecil. "Jika aku ingin membunuh kalian, aku sudah melakukannya sejak tadi."
Hazel mempersempit matanya, mencoba menganalisis aura pria itu. "Kau bukan manusia… kan?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke samping, memperlihatkan sesuatu yang sebelumnya tertutup bayangan—sebuah cermin besar dengan bingkai emas, berdiri tegak di belakangnya.
Di permukaan cermin, terlihat bayangan samar yang terus bergerak, seolah ada sesuatu di dalamnya yang ingin keluar.
"Inilah yang kalian cari," kata pria itu sambil menunjuk cermin. "Gerbang Takdir."
Aidan terkejut. "Gerbang Takdir…?"
Pria itu mengangguk. "Namun, ini bukan sekadar gerbang biasa. Ini adalah kunci menuju kebenaran dunia ini. Dan kau, Aidan Everhart, adalah satu-satunya yang bisa membukanya."
Aidan menatap cermin itu dengan perasaan campur aduk.
Apa sebenarnya yang tersembunyi dibalik Gerbang Takdir?
Dan… apakah ia siap untuk mengetahuinya?
---
Aidan berdiri di depan Gerbang Takdir, menatap permukaan cermin besar yang tampak bergetar seolah-olah ada sesuatu yang terperangkap di dalamnya. Cahaya dari obor yang mereka bawa hanya mampu menerangi sebagian kecil dari ruangan luas ini, sementara sisanya tetap dalam kegelapan yang seolah hidup.
Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka masih tersenyum tipis. Sorot matanya tetap tajam, seakan sedang mengamati Aidan, membaca pikirannya.
Hazel menyipitkan mata, rasa tidak percaya memenuhi wajahnya. "Gerbang Takdir? Kau bilang ini adalah kunci menuju kebenaran dunia ini… Apa maksudmu?"
Pria itu menatap Hazel sejenak sebelum kembali mengarahkan perhatiannya ke Aidan. "Dunia ini… bukan seperti yang kalian kira. Ada rahasia besar yang telah lama disembunyikan. Dan hanya Everhart yang bisa mengungkapnya."
Aidan mengerutkan kening. "Apa hubungannya keluargaku dengan ini semua?"
Pria itu terkekeh. "Banyak hal, Nak. Tapi… aku tidak akan memberitahumu semuanya begitu saja. Ada harga yang harus kau bayar untuk mendapatkan jawaban."
Kael, yang sedari tadi diam dengan ekspresi tak sabar, mendengus. "Aku tidak suka orang yang berbicara dengan teka-teki. Kalau kau tahu sesuatu, katakan saja."
Pria itu mengangkat bahu. "Baiklah… Jika kau ingin tahu kebenaran, maka bukalah gerbang ini."
Aidan merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia melirik ke arah Hazel dan Kael, mencari kepastian.
"Aidan…" Hazel berbisik, jelas tidak nyaman dengan situasi ini. "Kau yakin ingin melakukan ini?"
Aidan menelan ludah. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk maju. Apakah ini takdir yang sudah ditentukan untuknya?
Dengan hati-hati, ia mengangkat tangan dan menyentuh permukaan cermin.
---
Gerbang yang Terbuka
Begitu jari-jarinya menyentuh permukaan cermin, simbol-simbol aneh mulai bermunculan di sekeliling bingkai emasnya. Cahaya biru keunguan berpendar, dan udara di sekitar mereka mulai bergetar hebat.
Suara-suara berbisik memenuhi ruangan. Suara itu bukan berasal dari satu orang, melainkan banyak… seolah ada makhluk tak kasatmata yang sedang mengamati mereka.
Mendadak, cermin itu bergetar semakin keras, dan sebuah celah perlahan terbuka di tengahnya, memperlihatkan sesuatu di baliknya.
Sebuah dunia yang lain.
Langit berwarna merah darah, pepohonan hitam dengan daun seperti bayangan, dan tanah tandus yang dipenuhi reruntuhan.
Aidan merasakan sesuatu yang sangat kuat menariknya ke dalam gerbang.
"Aidan!" Hazel berteriak, mencoba meraih tangannya, tapi sudah terlambat.
Sebuah kekuatan tak terlihat menyeret Aidan melewati cermin, membuatnya jatuh ke dalam dunia lain.
Hazel dan Kael hanya bisa melihatnya menghilang ke dalam kegelapan.
Pria berjubah hitam itu menyeringai. "Selamat datang di kebenaran, Aidan Everhart."
---
Dunia Asing yang Menyambut
Saat Aidan membuka matanya, hal pertama yang ia rasakan adalah udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya. Ia terbaring di atas tanah berbatu, di bawah langit yang kelam.
Langit di atasnya bukan lagi langit yang biasa ia kenal. Warna merah darah membentang luas, dengan awan hitam yang berputar perlahan. Cahaya aneh yang entah berasal dari mana menerangi lanskap yang asing ini.
Ia perlahan bangkit, kepalanya masih berputar akibat transisi yang tiba-tiba. Sekelilingnya tampak sunyi, tetapi perasaan waspada langsung muncul dalam dirinya.
"Di mana aku…?" gumamnya.
Ia mengamati sekeliling. Tanah di sekitarnya dipenuhi reruntuhan, mirip seperti bekas kota tua yang sudah lama ditinggalkan. Batu-batu besar berserakan, beberapa di antaranya masih menunjukkan sisa-sisa ukiran kuno.
Namun, hal yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah menara hitam yang menjulang di kejauhan.
Menara itu tampak begitu mencolok di antara kehancuran yang ada, seolah menjadi pusat dari dunia ini. Cahaya ungu samar berdenyut di puncaknya, seakan-akan sesuatu di dalamnya sedang hidup.
Aidan menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Baiklah… Aku harus mencari tahu di mana aku berada."
---
Jejak di Tanah Asing
Ia mulai berjalan, langkahnya hati-hati. Setiap batu yang diinjak terasa kasar dan dingin, seakan menyimpan sisa-sisa energi dari masa lalu.
Tidak butuh waktu lama sebelum ia menyadari bahwa ia tidak sendiri di sini.
Di kejauhan, di balik reruntuhan, sesuatu bergerak.
Aidan segera berjongkok, menyembunyikan dirinya di balik puing-puing bangunan. Ia mengintip perlahan.
Sosok itu tampak tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia biasa. Tubuhnya ditutupi jubah hitam yang berkibar oleh angin yang berembus pelan. Tapi yang paling menakutkan adalah tangannya—panjang, dengan jari-jari kurus seperti cakar.
Aidan menahan napas.
Makhluk itu tampak berjalan perlahan, mengendus udara seakan mencari sesuatu.
"Apakah dia mencariku…?"
Aidan berpikir cepat. Jika makhluk itu melihatnya, ia tidak tahu apakah bisa melawan atau tidak.
Ia mundur perlahan, berusaha mencari tempat yang lebih aman. Namun, saat ia melangkah, kakinya tanpa sengaja menginjak pecahan batu.
KRAK!
Suara kecil itu terdengar sangat keras di tengah keheningan.
Makhluk itu langsung berhenti.
Kepalanya berputar 180 derajat, menatap langsung ke arah Aidan.
Mata makhluk itu bersinar merah terang.
Aidan langsung berdiri, bersiap untuk melarikan diri.
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah, lalu bergerak dengan kecepatan luar biasa ke arahnya.
"Brengsek!" Aidan berlari sekencang yang ia bisa, melompati puing-puing yang menghalangi jalannya.
Namun, makhluk itu jauh lebih cepat.
Saat ia hampir tersudut, tiba-tiba…
SWOOSH!
Sebuah anak panah berwarna biru melesat dari kejauhan, menembus dada makhluk itu.
Makhluk itu mengeluarkan jeritan mengerikan sebelum tubuhnya meledak menjadi asap hitam.
Aidan terkejut, matanya mencari-cari sosok yang menolongnya.
Dari bayangan reruntuhan, seseorang muncul.
Seorang wanita.
Ia mengenakan jubah berwarna gelap dengan aksen perak. Rambut panjangnya yang berwarna ungu keperakan melambai tertiup angin. Di punggungnya, ada busur besar yang tampak seperti terbuat dari kristal.
Tatapannya dingin, penuh kewaspadaan.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara tajam.
Aidan mengangkat tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia tidak berniat menyerang.
"Aku… Aidan Everhart. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."
Wanita itu mempersempit matanya, tampaknya menimbang kata-kata Aidan.
Kemudian, ia berbicara lagi.
"Jika kau memang bukan musuh, ikutlah denganku. Tempat ini tidak aman."
Aidan ragu sejenak, tetapi melihat kondisi dunia ini, ia sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain.
"Baiklah…" katanya akhirnya.
Wanita itu berbalik, mulai berjalan ke arah yang lebih gelap.
Aidan mengikuti.
Dan dengan begitu, perjalanan barunya di dunia yang asing ini pun dimulai.
To be continued…