Lorong kuil semakin gelap seiring langkah Aidan, Hazel, dan Kael yang perlahan menembus kegelapan. Cahaya dari obor di tangan Kael bergetar, bayangannya menari di sepanjang dinding batu yang dipenuhi ukiran kuno. Udara di tempat ini dingin dan berat, seperti ada sesuatu yang mengintai mereka dalam keheningan.
"Aku tidak suka tempat ini," gumam Hazel, menggigil meski tidak ada angin yang berembus.
Aidan menatap ukiran di dinding. Gambar-gambar itu menggambarkan sosok-sosok berjubah, mengangkat tangan ke langit, seakan sedang melakukan ritual. Di antara mereka, ada sosok yang lebih besar, dikelilingi api dan bayangan.
Kael menyipitkan mata. "Mereka menyembah sesuatu… atau seseorang."
Hazel mengamati lebih dekat. "Tunggu, simbol ini… aku pernah melihatnya di buku sihir kuno." Ia menunjuk ukiran berbentuk lingkaran dengan tanda aneh di tengahnya. "Ini adalah lambang dari Ordo Maledictus—kelompok penyihir yang menghilang ratusan tahun lalu."
Aidan mengernyit. "Apa hubungan mereka dengan tempat ini?"
Hazel menghela napas. "Menurut legenda, mereka melakukan ritual terlarang untuk membuka gerbang ke dunia lain. Tapi setelah percobaan terakhir mereka, seluruh ordo lenyap begitu saja."
Aidan menatap ke depan, perasaannya semakin tidak enak. "Kalau begitu, kita harus berhati-hati."
Pintu yang Terkunci
Mereka tiba di ujung lorong, di mana sebuah pintu batu besar berdiri. Pintu itu dipenuhi simbol sihir yang berkilauan samar dalam kegelapan. Aidan mencoba mendorongnya, tapi tidak bergerak sama sekali.
"Ini pasti segel sihir," kata Hazel, mengamati ukiran di permukaan pintu. "Tapi aku bisa mencoba membukanya."
Kael bersandar di dinding, mengawasi sekitar. "Cepatlah. Aku tidak suka berada di sini terlalu lama."
Hazel mulai merapal mantra, tangannya bersinar dengan cahaya biru lembut. Perlahan, simbol di pintu mulai berubah warna, dari merah gelap menjadi keemasan. Tapi sebelum mantra selesai, sesuatu bergerak di belakang mereka.
Aidan langsung berbalik, mengangkat pedangnya. "Ada sesuatu di sini."
Kael menghunus belatinya. "Kita tidak sendirian."
Dari kegelapan lorong, sosok-sosok hitam mulai bermunculan. Mata mereka bersinar merah, dan tubuh mereka tampak berdenyut seperti bayangan hidup.
"Bayangan lagi?!" seru Hazel panik.
Tapi Aidan tahu, ini bukan sekadar bayangan seperti sebelumnya.
Makhluk-makhluk itu bergerak lebih cepat, lebih nyata. Mereka tidak hanya ilusi, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.
Pertarungan di Lorong Kegelapan
Kael melesat maju, belatinya berkilat saat ia menebas salah satu makhluk. Kali ini, serangannya berhasil—bayangan itu meledak menjadi asap hitam.
"Sekarang bisa dihancurkan!" Kael berseru.
Hazel mengangkat tangannya, menciptakan bola api yang melesat ke arah beberapa makhluk bayangan. Api itu membakar mereka, membuat jeritan mengerikan bergema di seluruh lorong.
Aidan tidak membuang waktu. Ia menerjang, pedangnya berkilat saat menebas dua makhluk sekaligus. Mereka menghilang dalam sekejap, tapi jumlah mereka terus bertambah.
Salah satu bayangan melompat ke arah Hazel, cakarnya siap mencabik.
"Hazel!" Aidan berteriak.
Seketika, pedang Aidan bersinar dengan cahaya biru saat ia mengayunkannya ke arah makhluk itu. Dalam satu tebasan, bayangan itu hancur, dan Hazel jatuh terduduk, napasnya memburu.
"Aku baik-baik saja…" katanya, meski jelas masih shock.
Kael membalikkan badan, menebas makhluk lain yang mendekat. "Mereka terus muncul! Kita harus cepat!"
Hazel menggigit bibirnya. "Aku butuh waktu untuk menyelesaikan mantra ini!"
Aidan mengangguk. "Kami akan melindungimu. Lanjutkan!"
Hazel mengangkat tangannya lagi, fokus ke pintu batu di depan mereka. Cahaya biru dari mantranya semakin kuat, menyelimuti pintu yang perlahan mulai terbuka.
Sementara itu, Aidan dan Kael terus bertarung. Darah Aidan berdesir cepat, adrenalin membakar setiap ototnya saat ia mengayunkan pedangnya tanpa henti.
Kemudian, sesuatu terjadi.
Saat Hazel mengucapkan kata terakhir dalam mantranya, seluruh ruangan bergetar hebat. Cahaya keemasan meledak dari pintu batu, menerangi seluruh lorong.
Makhluk-makhluk bayangan itu menjerit, tubuh mereka menghilang dalam kilatan cahaya.
Kemudian… keheningan.
Pintu di depan mereka terbuka, memperlihatkan ruangan gelap di baliknya.
Hazel terhuyung, wajahnya pucat. "Aku berhasil…"
Aidan membantunya berdiri. "Bagus. Sekarang kita lihat apa yang ada di dalamnya."
Kael melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Aidan dan Hazel.
Begitu mereka memasuki ruangan, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka terdiam.
Di tengah ruangan, ada sebuah peti batu raksasa. Di atasnya, terdapat lambang yang sama seperti yang mereka lihat di dinding lorong tadi.
Lambang Ordo Maledictus.
"Aku tidak suka ini…" kata Hazel pelan.
Aidan berjalan mendekat. Ia bisa merasakan sesuatu… energi yang begitu kuat, seolah sesuatu di dalam peti itu masih hidup.
Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh…
Peti batu itu mulai bergetar.
---
Peti batu di hadapan mereka terus bergetar, memancarkan aura gelap yang semakin kuat. Ukiran-ukiran kuno di permukaannya mulai bersinar merah, seolah ada sesuatu di dalamnya yang ingin keluar.
Aidan menegang, tangannya menggenggam erat pedangnya. Hazel menelan ludah, sementara Kael sudah bersiap dengan belatinya.
"Lakukan sesuatu!" Hazel berseru, mundur beberapa langkah.
Kael mendekat ke peti batu, mengamati simbol-simbol yang bersinar di permukaannya. "Ini bukan sekadar peti… ini segel."
"Segel untuk apa?" tanya Aidan, suaranya tegang.
Kael menghela napas. "Untuk sesuatu yang tidak seharusnya dilepaskan."
Peti yang Terbuka
Tiba-tiba, suara retakan terdengar.
Peti itu mulai terbelah, retakan menyebar seperti jaring laba-laba di permukaannya.
Cahaya merah keluar dari celah-celahnya, dan tekanan udara di ruangan berubah drastis. Rasanya seperti gravitasi menjadi lebih berat, membuat mereka sulit bernapas.
"Jangan biarkan terbuka sepenuhnya!" Aidan melompat maju, mencoba menahan tutup peti dengan tangannya. Tapi begitu ia menyentuhnya, sebuah kekuatan tak terlihat melemparkannya ke belakang.
"Aidan!" Hazel bergegas menghampirinya, tapi ia juga terdorong mundur oleh energi misterius.
Kael mengatupkan rahangnya. "Sial… ini tidak bisa dihentikan."
Kemudian, sesuatu keluar dari dalam peti.
Bangkitnya Kegelapan
Kabut hitam menyembur ke luar, menyelimuti seluruh ruangan dengan aura mencekam. Dari dalam peti, perlahan muncul sosok humanoid yang tinggi, tubuhnya diselimuti jubah hitam yang berkibar seperti asap.
Matanya bersinar merah, dan di tangannya ada tongkat panjang dengan simbol aneh yang berdenyut seperti nadi.
Suara berat dan dalam keluar dari sosok itu.
"Akhirnya… setelah berabad-abad…"
Aidan menggertakkan giginya. "Siapa kau?"
Sosok itu menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang mengerikan.
"Aku? Aku adalah Sang Pengawal Kegelapan… penjaga Gerbang Takdir yang sesungguhnya."
Hazel membeku di tempatnya. "Tidak… ini tidak mungkin…"
Kael menatap sosok itu dengan ekspresi serius. "Kita harus membunuhnya sebelum dia mendapatkan kekuatannya kembali."
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, sosok itu mengangkat tangannya.
Dalam sekejap, bayangan menyelimuti ruangan, dan mereka bertiga merasa seperti ditarik ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Aidan mencoba melawan, tapi tubuhnya terasa kaku.
Lalu, suara itu berbicara lagi.
"Kalian telah membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkubur…"
Sebuah ledakan energi meledak dari tubuhnya, mendorong mereka bertiga ke belakang.
Saat Aidan mencoba bangkit, ia menyadari sesuatu…
Sosok itu telah menghilang.
Konsekuensi dari Kesalahan
Ruangan itu kembali sunyi, hanya menyisakan mereka bertiga yang tergeletak di lantai.
Hazel berusaha duduk, napasnya tersengal. "Kita baru saja membebaskan sesuatu yang sangat berbahaya…"
Aidan meninju lantai dengan frustrasi. "Sial! Aku seharusnya lebih berhati-hati!"
Kael berdiri dengan wajah suram. "Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri sekarang. Kita harus menemukan makhluk itu sebelum dia menghancurkan dunia ini."
Aidan mengepalkan tinjunya. "Ya… kita harus menghentikannya."
Mereka bertiga saling bertatapan.
Sebuah kesalahan telah terjadi…
Dan sekarang, mereka harus menanggung akibatnya.
To be continued…
---