Angin dingin berembus kencang, menerpa wajah Aidan yang masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Ia terjatuh ke tanah berbatu dengan napas tersengal. Matanya menatap langit yang aneh—ungu tua dengan bintang-bintang yang tampak lebih besar dari biasanya. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aroma logam dan sesuatu yang asing, sesuatu yang bahkan tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Perlahan, ia bangkit.
"Kemana aku...?" gumamnya.
Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia berada di padang tandus berbatu, dengan pepohonan raksasa berwarna biru gelap yang menjulang tinggi di kejauhan. Beberapa di antaranya memiliki daun yang berkilauan, seolah-olah terbuat dari kristal. Tanah di bawah kakinya tidak seperti tanah biasa—warnanya hitam pekat, seolah telah terbakar oleh sesuatu.
Aidan menelan ludah.
Yang lebih penting, Hazel tidak ada di sini.
"Hazel!" serunya, berharap mendapat jawaban.
Tidak ada balasan. Hanya suara angin yang menggema di tengah kesunyian.
Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua seharusnya masuk ke dalam portal yang sama. Jadi kenapa sekarang ia sendirian?
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap.
—Tangan hitam itu…
—Suaranya yang memanggil namanya…
—Hazel yang menjerit mencoba meraihnya…
Ia mengepalkan tinjunya.
"Tidak mungkin…" gumamnya.
Jika Hazel juga masuk ke dalam portal, maka ada dua kemungkinan: ia terdampar di tempat yang berbeda… atau ia tidak berhasil keluar sama sekali.
Aidan menggeleng keras. Tidak, ia tidak bisa berpikir negatif. Hazel adalah gadis yang kuat. Jika ia masih hidup, maka ia pasti akan mencari cara untuk bertahan.
Ia menghirup napas dalam, berusaha menenangkan pikirannya.
Pertama, aku harus mencari tahu di mana aku berada.
Langkah pertama untuk bertahan hidup di tempat asing adalah memahami lingkungannya.
Dengan langkah mantap, ia mulai berjalan.
---
Jejak Kehidupan
Setelah hampir satu jam berjalan, Aidan mulai menyadari sesuatu—tempat ini tidak benar-benar kosong. Ada tanda-tanda kehidupan di sekelilingnya, meskipun aneh.
Ia menemukan jejak kaki di tanah, tetapi bentuknya bukan jejak kaki manusia. Bentuknya lebih seperti cakar, besar dan tajam.
"Apa ini…?" gumamnya.
Ia berjongkok, memperhatikan jejak itu dengan saksama. Panjangnya hampir dua kali lipat dari telapak kakinya, dan dari kedalamannya, makhluk yang meninggalkannya pasti memiliki tubuh yang sangat berat.
Ia menelan ludah.
Jika makhluk seperti ini ada di sekitar sini… maka ia harus berhati-hati.
Ia melanjutkan perjalanan, kali ini dengan lebih waspada.
Setelah beberapa menit berjalan, ia akhirnya melihat sesuatu di kejauhan—cahaya.
Sebuah harapan mulai muncul di hatinya. Jika ada cahaya, itu berarti ada kehidupan.
Dengan cepat, ia berlari ke arah sumber cahaya itu.
Semakin dekat ia mendekat, semakin jelas bentuknya. Itu adalah sebuah perkampungan kecil yang dikelilingi pagar kayu tinggi. Beberapa obor menyala di gerbangnya, menerangi sekeliling dengan cahaya oranye redup.
Aidan tersenyum lega.
"Akhirnya… seseorang yang bisa kuajak bicara."
Namun, ketika ia hendak melangkah lebih dekat, suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
BRAKKK!!
Tanah bergetar. Sesuatu yang besar sedang bergerak mendekatinya dengan cepat.
Aidan membalikkan tubuhnya.
Dan apa yang dilihatnya membuat napasnya tercekat.
Seekor makhluk raksasa dengan tubuh menyerupai kadal hitam muncul dari balik bukit. Mata merahnya bersinar di tengah kegelapan, dan cakar-cakarnya menghujam tanah dengan setiap langkah yang berat.
Aidan mundur selangkah.
Sial. Itu pasti makhluk yang meninggalkan jejak tadi.
Dan sekarang, ia menjadi targetnya.
---
Dikejar oleh Monster
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah sebelum berlari ke arahnya dengan kecepatan yang mengejutkan.
"Astaga…"
Tanpa berpikir panjang, Aidan berbalik dan berlari sekencang mungkin menuju gerbang desa.
"Hei! Tolong! Buka gerbangnya!" teriaknya.
Beberapa sosok muncul di atas tembok kayu, membawa obor dan senjata. Mereka melihat ke arah Aidan, lalu ke arah makhluk yang mengejarnya.
"Feral Drak!" teriak salah satu dari mereka.
"Tembak!"
Beberapa anak panah meluncur dari atas tembok, menghantam tubuh monster itu. Namun, kulitnya terlalu tebal. Anak panah itu hanya memantul tanpa memberikan luka yang berarti.
Aidan hampir sampai di depan gerbang ketika tiba-tiba, makhluk itu melompat ke arahnya.
SIAL!
Ia melompat ke samping tepat pada saat cakar makhluk itu menghantam tanah tempat ia berdiri sebelumnya.
DOR!
Sebuah ledakan terdengar. Salah satu dari orang di tembok menembakkan sesuatu—sebuah bola api kecil melesat dan meledak di tubuh makhluk itu.
Makhluk itu meraung kesakitan, tetapi belum tumbang.
Salah seorang penjaga desa akhirnya membuka gerbang.
"Masuk sekarang!!"
Aidan tidak berpikir dua kali. Ia melesat masuk ke dalam desa, dan begitu ia melewati gerbang, orang-orang segera menutupnya kembali dan menguncinya dengan balok kayu tebal.
Makhluk itu meraung frustasi di luar, mencakar-cakar gerbang, tetapi akhirnya menyerah dan kembali ke kegelapan.
Aidan terjatuh, napasnya terengah-engah.
"Hampir saja..." gumamnya.
Seorang pria tinggi dengan jubah panjang menghampirinya. Matanya tajam, dengan wajah yang penuh goresan luka.
"Siapa kau, anak muda?" tanyanya dengan suara dalam.
Aidan menatapnya.
Nama? Apa ia harus jujur?
Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya menjawab, "Namaku Aidan. Aku… aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."
Pria itu menatapnya tajam selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas.
"Kau masuk ke tempat yang berbahaya, Aidan," katanya. "Selamat datang di Eldoria."
Aidan mengernyit. "Eldoria?"
Wanita tua yang berdiri di dekat pria itu mengangguk.
"Ya. Dunia ini… bukan dunia yang kau kenal."
Aidan terdiam.
Jadi itu artinya...
Ia benar-benar terjebak di dunia lain.
Dan Hazel bisa saja ada di mana saja di dunia ini.
Ia mengepalkan tangannya.
Apa pun yang terjadi, ia harus menemukannya.
---
Aidan masih berusaha mengatur napasnya setelah kejadian barusan. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena berlari dari monster raksasa, tetapi juga karena tekanan mental akibat semua yang terjadi.
Ia mengangkat kepalanya dan mengamati orang-orang di sekelilingnya.
Penduduk desa menatapnya dengan penuh kewaspadaan. Beberapa dari mereka membawa senjata, sementara yang lain tampak seperti penduduk biasa dengan pakaian sederhana dari kain kasar. Obor-obor di sepanjang jalan utama memberikan cahaya yang cukup untuk memperlihatkan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi di dalam desa ini.
Pria tinggi dengan jubah panjang yang tadi berbicara dengannya masih berdiri di dekatnya, menatapnya dengan tajam.
"Kau dari dunia lain, bukan?" tanyanya langsung.
Aidan terkejut.
"Apa maksudmu?"
Pria itu menyipitkan matanya. "Kami sudah pernah melihat orang sepertimu sebelumnya. Orang-orang yang tiba-tiba muncul di Eldoria, tanpa ingatan tentang bagaimana mereka sampai di sini."
Jantung Aidan berdegup lebih kencang.
"Jadi… aku bukan orang pertama yang mengalami ini?"
Pria itu mengangguk pelan. "Betul. Tapi kebanyakan dari mereka tidak bertahan lama."
Aidan menelan ludah. Kata-kata itu tidak memberi harapan sama sekali.
Wanita tua yang berdiri di samping pria itu mendekat. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan yang mendalam.
"Aku Serena, kepala penyihir di desa ini," katanya. "Dan pria ini adalah Darius, pemimpin desa."
Aidan menatap keduanya.
"Darius, Serena… terima kasih sudah menyelamatkanku," katanya dengan tulus.
Serena menatapnya dengan ekspresi serius. "Kau seharusnya berterima kasih pada takdir. Jika kau tiba di tempat lain, mungkin kau sudah menjadi santapan makhluk liar sekarang."
Aidan merinding. Ia tahu wanita itu tidak bercanda.
Serena kemudian mendekat dan mengamati Aidan dari ujung kepala hingga kaki.
"Hmm… ada aura yang aneh di sekelilingmu," gumamnya.
"Aura?"
Serena mengangguk. "Seperti sisa energi dari sihir kuno. Aku yakin kau melewati portal untuk sampai ke sini."
Aidan terkejut.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena aku pernah mempelajarinya," jawabnya dengan datar. "Tapi itu bukan hal yang biasa. Portal antar dunia tidak mudah dibuka, apalagi untuk manusia biasa sepertimu."
Aidan menelan ludah. Jika portal itu sulit dibuka, lalu siapa yang membukanya? Apakah itu karena kristal yang ia temukan? Ataukah ada kekuatan lain yang mempengaruhinya?
Kemudian, ia teringat sesuatu yang jauh lebih penting.
"Hazel!"
Serena mengerutkan kening. "Hazel?"
Aidan mengangguk cepat. "Aku datang bersama seorang gadis, tapi kami terpisah saat melewati portal! Aku tidak tahu dia ada di mana sekarang!"
Darius dan Serena bertukar pandang.
"Kalau begitu, kita harus mencarinya," kata Darius. "Jika dia juga masuk ke portal, maka ada kemungkinan dia mendarat di tempat lain di Eldoria."
Aidan merasa sedikit lega. Setidaknya, masih ada harapan untuk menemukan Hazel.
"Tapi," lanjut Darius, "kau tidak bisa begitu saja berlari keluar dan mencarinya. Eldoria bukan tempat yang ramah bagi pendatang baru. Jika kau ingin bertahan, kau harus belajar cara hidup di sini."
Aidan menatap Darius.
"Jadi… apa yang harus kulakukan?"
Serena tersenyum kecil. "Kau harus belajar bertarung."
Aidan menelan ludah. Ia memang sering berlatih pedang di dunia asalnya, tetapi bertarung di dunia ini pasti jauh lebih sulit.
---
Pelatihan di Eldoria
Keesokan paginya, Aidan dibawa ke halaman belakang desa, tempat para penjaga berlatih.
Lapangan itu luas, dengan berbagai target panah, boneka kayu untuk latihan pedang, serta arena kecil untuk duel. Para penjaga desa sedang berlatih, mengayunkan pedang mereka dengan disiplin tinggi.
Darius menyerahkan sebilah pedang kayu kepada Aidan.
"Coba tunjukkan kemampuanmu."
Aidan menghela napas dan mengambil posisi. Ia mengayunkan pedangnya beberapa kali, memastikan tubuhnya masih ingat dengan gerakan-gerakan dasar yang pernah ia pelajari.
Darius mengangguk. "Gerakanmu cukup bagus. Tapi di Eldoria, itu tidak cukup."
Aidan mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Darius menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. Tiba-tiba, udara di sekelilingnya bergetar, dan pedangnya bersinar dengan aura biru.
Mata Aidan membesar.
"Apa itu?!"
Darius tersenyum tipis. "Sihir tempur."
Ia melesat maju dengan kecepatan luar biasa, lalu menebas boneka kayu di dekatnya. Pedangnya menembus kayu itu seolah-olah terbuat dari mentega.
Aidan terpana.
Darius menoleh padanya. "Di Eldoria, kekuatan fisik saja tidak cukup. Jika kau ingin bertahan, kau harus belajar mengendalikan energi di dalam tubuhmu."
Aidan menelan ludah.
Belajar bertarung dengan pedang saja sudah sulit, apalagi jika ia harus mempelajari sihir juga?
Namun, ia tidak punya pilihan.
Hazel ada di luar sana, entah di mana. Dan jika ia ingin menemukannya, ia harus menjadi lebih kuat.
Ia mengepalkan tinjunya.
"Aku siap belajar."
Darius tersenyum. "Bagus. Maka mulai hari ini, kau akan menjadi muridku."
---
Sebuah Awal yang Baru
Hari-hari berikutnya di Eldoria bukanlah hal yang mudah bagi Aidan.
Darius melatihnya dengan keras, mengajarkan teknik pedang serta dasar-dasar sihir tempur. Serena juga membantunya memahami tentang energi magis—sesuatu yang awalnya terasa mustahil baginya, tetapi perlahan-lahan ia mulai merasakan keberadaannya.
Namun, di tengah semua latihan itu, satu hal tetap ada di pikirannya.
Hazel.
Ia tidak tahu di mana gadis itu berada, atau apakah ia masih hidup. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri…
Ia akan menemukannya.
Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Dan dengan itu, perjalanan Aidan di dunia Eldoria benar-benar dimulai.
---
To be continued…
---