Chereads / Aidan dan Gerbang Takdir / Chapter 3 - Bab 3

Chapter 3 - Bab 3

Aidan menghela napas panjang, berdiri di tengah halaman latihan yang luas. Selama beberapa hari terakhir, ia telah beradaptasi dengan kehidupan di Desa Eldenwald. Orang-orang di sana menerimanya setelah ia menunjukkan bahwa dirinya bukan ancaman. Namun, pikirannya tidak pernah lepas dari satu hal—Hazel.

Dia menghilang begitu saja setelah Aidan tersedot ke dalam portal. Apakah dia juga terbawa ke dunia ini? Jika ya, di mana dia sekarang? Ataukah dia masih berada di dunia asal mereka?

Misi yang Tak Terduga

Pagi itu, Aidan duduk di teras penginapan kecil tempatnya tinggal sementara. Di depannya, Reynar—pria berambut perak yang menjadi mentornya—sedang menyeruput teh hangat.

"Kau kelihatan gelisah, Nak," ujar Reynar, menatap Aidan dengan penuh arti.

Aidan mengusap wajahnya. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan temanku. Aku harus mencari tahu apakah dia ada di dunia ini atau tidak."

Reynar meletakkan cangkirnya dan mengangguk. "Aku mengerti. Sebenarnya, aku baru saja menerima kabar yang mungkin bisa membantumu."

Aidan menegakkan punggungnya. "Kabar apa?"

"Salah satu kelompok penjaga desa yang baru kembali dari perjalanan mengatakan bahwa mereka mendengar rumor tentang seorang gadis misterius yang ditemukan di hutan utara, dekat reruntuhan kuno."

Mata Aidan melebar. "Hazel! Itu pasti dia! Di mana tepatnya?"

Reynar mengangkat tangan, memberi isyarat agar Aidan tenang. "Rumor ini berasal dari sebuah kota bernama Velderon, sekitar tiga hari perjalanan dari sini."

Aidan langsung berdiri. "Aku akan pergi sekarang!"

Reynar menghela napas. "Kau tidak bisa sembarangan. Perjalanan ke Velderon tidak mudah. Hutan utara penuh dengan binatang buas, bandit, dan mungkin makhluk lain yang lebih berbahaya."

"Tapi aku tidak bisa tinggal diam."

Reynar memandangnya beberapa saat, lalu tersenyum kecil. "Baiklah. Kalau kau memang bertekad, aku akan membantumu bersiap. Tapi kau harus membawa seseorang bersamamu."

Aidan berpikir sejenak. Ia memang membutuhkan seseorang yang mengenal daerah ini.

"Aku akan mencari teman perjalanan," ujarnya.

Perjalanan Dimulai

Beberapa jam kemudian, Aidan telah mengumpulkan perbekalan dan mencari seseorang yang bisa menemaninya. Reynar mengenalkannya pada seorang wanita bernama Lyra, seorang petarung bayaran yang sudah terbiasa dengan perjalanan berbahaya.

Lyra memiliki rambut cokelat pendek, tatapan tajam, dan membawa dua belati di pinggangnya.

"Jadi, kau ingin pergi ke Velderon?" tanyanya sambil menyilangkan tangan.

Aidan mengangguk. "Aku mencari seseorang yang mungkin ada di sana."

Lyra mendengus. "Aku bisa membawamu ke sana, tapi aku tidak akan bertanggung jawab kalau kau mati di tengah jalan."

Aidan tersenyum tipis. "Aku akan menjaga diriku sendiri."

Lyra menatapnya sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita berangkat besok pagi."

Keesokan harinya, mereka meninggalkan desa dan memulai perjalanan melewati hutan utara.

Hutan yang Berbahaya

Hari pertama berjalan dengan cukup lancar. Mereka melewati jalan setapak yang jarang dilalui orang dan hanya bertemu beberapa hewan liar yang tidak terlalu berbahaya.

Namun, di malam hari, saat mereka beristirahat di dekat sungai kecil, sesuatu terjadi.

Suara ranting patah membuat Aidan langsung waspada. Lyra menghunus belatinya.

Dari balik semak-semak, beberapa sosok muncul. Mereka adalah pria bertampang kasar dengan senjata seadanya—bandit.

"Sial," gumam Lyra. "Aku sudah menduga hutan ini tidak aman."

Pemimpin bandit, seorang pria tinggi dengan bekas luka di wajahnya, menyeringai. "Apa yang kita punya di sini? Seorang pemuda dan seorang gadis cantik? Mungkin kalian punya sesuatu yang berharga?"

Aidan menatap mereka tajam. "Kami tidak mencari masalah."

Bandit itu tertawa. "Sayangnya, kami sedang mencari masalah."

Tanpa peringatan, salah satu bandit menyerang dengan belatinya. Aidan menghindar dan membalas dengan pukulan ke perut lawannya, membuatnya terhuyung.

Lyra bergerak dengan gesit, menebas salah satu bandit dengan belatinya.

Pertarungan berlangsung cepat. Aidan menggunakan teknik dasar yang diajarkan Reynar, menghindari serangan dan membalas dengan serangan yang efektif.

Dalam beberapa menit, para bandit menyadari bahwa mereka telah meremehkan lawannya. Setelah kehilangan beberapa orang, mereka melarikan diri ke dalam kegelapan.

Lyra menghela napas. "Itu hampir saja."

Aidan membersihkan darah di tangannya. "Kita harus lebih berhati-hati."

Mereka melanjutkan perjalanan keesokan paginya, dengan kewaspadaan lebih tinggi.

Kota Velderon dan Kabar Tentang Hazel

Tiga hari kemudian, mereka akhirnya tiba di Velderon. Kota ini lebih besar dari Desa Eldenwald, dengan dinding batu kokoh dan pasar yang ramai.

Aidan segera mencari informasi tentang Hazel. Ia pergi ke penginapan dan bertanya kepada pemiliknya.

"Seorang gadis misterius? Hmm… Aku pernah mendengar ada seorang gadis ditemukan di reruntuhan kuno beberapa hari yang lalu. Dia sekarang dirawat oleh seorang tabib di bagian barat kota."

Aidan segera pergi ke tempat yang dimaksud. Di sana, seorang wanita tua menyambutnya.

"Kau mencari gadis yang ditemukan di reruntuhan?"

Aidan mengangguk. "Apakah dia masih di sini?"

Wanita itu menghela napas. "Sayangnya, dia menghilang kemarin malam."

Aidan merasakan dadanya mencelos. "Apa maksud Anda? Menghilang?"

"Seseorang menculiknya. Tidak ada yang tahu siapa yang melakukannya, tapi ada saksi yang melihat beberapa pria berjubah membawanya ke arah utara."

Aidan mengepalkan tangannya. Hazel ada di dunia ini. Tapi sekarang, dia telah diculik.

"Aku harus menemukannya," gumamnya.

Lyra menatapnya. "Kita butuh rencana."

Aidan mengangguk. "Ya… tapi aku tidak akan berhenti sampai menemukannya."

---

Aidan berdiri mematung di depan rumah tabib itu. Pikirannya kacau. Baru saja ia merasa lega karena mengetahui Hazel ada di dunia ini, sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa dia telah diculik.

Wanita tua itu, tabib yang merawat Hazel, menghela napas dalam. "Aku tidak tahu siapa mereka, tapi beberapa orang melihat mereka pergi ke arah reruntuhan tua di utara. Tempat itu sudah lama ditinggalkan dan katanya dihuni oleh makhluk-makhluk kegelapan."

Aidan menatap Lyra dengan tekad di matanya. "Kita harus pergi ke sana."

Lyra melipat tangan di dadanya. "Itu mungkin jebakan."

Aidan mengepalkan tinjunya. "Aku tidak peduli."

Lyra mendesah, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi kita butuh persiapan."

Mereka kembali ke pasar untuk membeli perlengkapan tambahan—obor, tali, dan beberapa ramuan penyembuh. Aidan juga membeli pedang baru, karena senjata yang ia miliki sebelumnya sudah mulai tumpul.

Setelah semuanya siap, mereka berangkat menuju reruntuhan tua di utara.

---

Hutan yang Sunyi

Matahari hampir tenggelam ketika mereka memasuki hutan lebat di utara Velderon. Suasana terasa mencekam. Tidak ada suara burung atau hewan lain, hanya angin yang berbisik di antara pepohonan tua.

"Aku tidak suka tempat ini," gumam Lyra, tangannya selalu siap di dekat gagang belatinya.

Aidan tetap diam, fokus mencari jejak yang bisa mengarahkannya ke Hazel.

Beberapa saat kemudian, mereka menemukan sesuatu di tanah—bekas tapak kaki manusia.

"Ini jejak mereka," kata Aidan. "Dan masih baru."

Lyra berjongkok, memperhatikan jejak itu dengan seksama. "Ada sekitar lima atau enam orang. Mereka membawa sesuatu yang berat… mungkin Hazel."

Mereka mengikuti jejak itu, semakin jauh ke dalam hutan. Suasana semakin gelap, dan mereka menyalakan obor.

Aidan mulai merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada yang mengawasi mereka dari dalam kegelapan.

Tiba-tiba, semak-semak di sebelah kiri mereka bergoyang. Aidan dan Lyra langsung bersiap menyerang.

Dari bayangan pepohonan, sosok humanoid muncul. Tubuhnya kurus kering, kulitnya berwarna abu-abu gelap dengan mata yang bersinar merah. Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah.

"Shadow Wraith," bisik Lyra. "Makhluk yang menghuni tempat-tempat terkutuk."

Makhluk itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, menyerang Aidan lebih dulu. Aidan menangkis dengan pedangnya, tapi serangan itu begitu kuat hingga ia terdorong ke belakang.

Lyra melompat dan menyerang dari samping, belatinya menebas punggung makhluk itu, tetapi tidak cukup dalam untuk melukainya.

Makhluk itu mengeluarkan suara melengking, lalu menghilang dalam kabut hitam.

Aidan mengatur napasnya. "Apa itu?"

"Mereka tidak bisa dibunuh dengan senjata biasa," ujar Lyra. "Kita harus bergerak cepat sebelum lebih banyak yang datang."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih berhati-hati.

---

Reruntuhan yang Menyimpan Rahasia

Setelah satu jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di depan reruntuhan tua. Bangunan batu besar itu sudah tertutup lumut dan hampir runtuh. Pilar-pilarnya retak, dan patung-patung yang menghiasi tempat itu sudah hancur.

Di depan pintu masuk utama, mereka melihat dua pria berjubah hitam berdiri seperti penjaga.

"Mereka pasti bagian dari kelompok yang menculik Hazel," bisik Aidan.

"Kita bisa menyerang diam-diam," usul Lyra.

Aidan mengangguk. Dengan hati-hati, mereka menyelinap melalui bayangan.

Lyra bergerak lebih dulu. Ia melemparkan pisau kecil yang menancap tepat di leher salah satu penjaga. Pria itu terjatuh tanpa suara.

Aidan melompat ke depan dan menyerang penjaga kedua. Pria itu sempat mengangkat senjatanya, tapi Aidan lebih cepat. Pedangnya menebas dada lawannya, membuatnya roboh.

Setelah memastikan keadaan aman, mereka masuk ke dalam reruntuhan.

Di dalam, mereka menemukan lorong-lorong batu yang panjang dan gelap. Cahaya obor mereka menerangi dinding yang dipenuhi ukiran aneh.

Aidan merasakan sesuatu yang familiar—ukiran ini mirip dengan yang ia temukan di kuil tempat ia pertama kali membuka portal.

"Tempat ini mungkin ada hubungannya dengan Gerbang Takdir," katanya pelan.

Lyra menatapnya. "Kau pikir mereka membawa Hazel ke sini karena alasan itu?"

"Sangat mungkin."

Mereka berjalan lebih jauh ke dalam reruntuhan, hingga akhirnya mereka mendengar suara samar—suara seseorang yang merintih.

Aidan langsung berlari ke arah suara itu.

Di dalam sebuah ruangan besar, Hazel tergeletak di lantai, tubuhnya terikat rantai.

"Hazel!" Aidan berlari mendekatinya.

Gadis itu membuka matanya dengan lemah. "Aidan… kau datang…"

Namun sebelum Aidan bisa membebaskannya, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka.

Dari pintu lain, beberapa pria berjubah hitam muncul, dipimpin oleh seorang pria tinggi dengan topeng emas.

"Kami sudah menunggumu," kata pria itu dengan suara dingin.

Aidan mencabut pedangnya. "Siapa kalian?"

Pria itu tersenyum di balik topengnya. "Kami adalah penjaga kebenaran. Dan kau… adalah kunci dari takdir yang lebih besar."

Aidan tidak mengerti maksudnya, tetapi satu hal yang pasti—dia harus bertarung untuk menyelamatkan Hazel.

To be continued…

---